Narasi

IWD: Mewaspadai Geliat “Radikalisme Perempuan” di Ruang Publik

Selamat memperingati International Woman’s Day (IWD) bagi para perempuan di seluruh dunia. Tema IWD tahun ini adalah #ChooseToChallenge, yang bisa dimaknai sebagai memilih tantangan. Banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan, salah satunya tantangan yang cukup berat bagi perempuan saat ini adalah menggeliatnya radikalisasi perempuan yang mengarah pada kekerasan di ruang publik.   

Sebagaimana Dalam diskusi webinar dari The Center for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR) bertajuk Intoleransi dan Ekstremisme di Media Sosial, Minggu (14/2). Mantan Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) periode 2007-2020, Brigjen Pol. Hamli memaparkan hasil riset BNPT pada tahun 2020 yang menyebutkan bahwa perempuan ternyata lebih berpotensi terpapar paham radikalisme dibandingkan dengan laki-laki. Persentase perempuan yang terpapar paham radikalisme mencapai 12,3 persen, sedangkan laki-laki sebesar 12,1 persen.

Radikalisme di kalangan perempuan menjadi momok yang menakutkan. Pasalnya, perempuan menjadi media utama pembelajaran seorang anak dan lekat sekali dengannya. Jika banyak perempuan yang terpapar radikalisme yang mengarah kepada ekstrimisme, bagaimana kemudian dengan nasib anak-anak?.

Biasanya ciri dari radikalisme di kalangan perempuan berawal dari paham yang ekslusif, kemudian mengarah kepada perubahan perilaku dan fashion yang tertutup (cadar/burqa). Dalam hal ini saya tidak bermaksud mengeneralisasi bahwa orang yang bercadat itu adalah radikal. Namun, bisa kita sepakati bahwa eks kombatan teroris (perempuan) yang ada di Suriah, ketika kekalahan ISIS tahun 2018, hampir semuanya menggunakan cadar. Hal ini kemudian menjadi identitas kelompok yang cukup legitimate untuk menandai kalangan mereka.       

Dalam konteks ini, bersamaan dengan peringatan IWD, di Swiss menggelar referendum untuk memutuskan mengenai larangan penggunaan cadar di tempat umum. Banyak dari para pemilih setuju aturan tersebut diterapkan di sana. Dilansir AFP dan CNN, Senin (8/3/2021), hasil resmi menunjukkan terdapat 51,21 persen pemilih yang mendukung proposal tersebut. Yang konsekuesni hukumnya berarti cadar akan dilarang di semua tempat yang dapat diakses publik, termasuk di jalan, di kantor umum, di transportasi umum, di restoran, toko, dan di pedesaan Swiss.

Peristiwa refererendum anti cadar di Swiss terjadi sebagai upaya pemerintah menanggapi terjadinya perdebatan bertahun-tahun tentang Cadar di ruang publik. Menyusul larangan serupa di negara-negara Eropa lainnya dan di beberapa negara mayoritas Muslim. Meskipun perempuan yang mengenakan cadar cukup langka di ruang publik Swiss. Pelarangan cadar di Swiss ini tidak spesifik menyebut Islam sebagai bagian darinya, tetapi secara luas disebut sebagai “pelarangan burqa”.

Sebelumnya, poster kampanye dan meme di media sosial bertuliskan “Hentikan Islam Radikal!” dan “Hentikan ekstremisme!”, yang menampilkan seorang wanita dengan niqab atau cadar hitam, telah terpampang di ruang maya dan publik Swiss. Hal ini menunjukkan upaya warga negara dan pemerintah sekuler Swiss untuk terus menjunjung tinggi era keterbukaan sebagai bagian dari ciri modernitas.

Dalam konteks ini, publik di Indonesia perlu mewaspadai gerakan radikalisme di kalangan perempuan seperti yang telah dilakukan oleh Swiss. Kondisi ruang publik Indonesia pada gilirannya memang cukup menghawatirkan di tengah maraknya narasi radikal yang provokatif, khususnya di ruang maya/digital. Sampai-sampai Kiai Said Aqil Sirodj menghimbau pemerintah untuk mentakedown atau memblokir situs-situs salafi-wahabi yang dalam sejarahnya menjadi biang dari radikalisme dan terorisme global.

Akhirnya, dalam momentum IWD 2021 ini, mari kita bersama-sama mengedukasi dan memberdayakan perempuan agar tidak terpapar doktrin teologis yang ekslusif. Sehingga kedepan, perempuan bisa menjadi pilar pembebasan dalam kungkungan paham radikal teroristik di ruang publik. Semoga.      

This post was last modified on 9 Maret 2021 1:34 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

23 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

23 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

23 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago