Keagamaan

Jadikan Istigfar sebagai benteng melawan kekerasan

Istigfar atau meminta ampun kepada Allah atas segala kesalahan, kekeliruan dan kekhilafan yang dilakukan merupakan sebuah perbuatan yang dianjurkan kepada orang-orang mukmin agar selalu meminta ampun kepada Allah dan mengharap ampunan  atas segala dosa dan kekeliruan yang dilakukan dalam kesehariannya. Dosa-dosa itu cukup banyak jenisnya apakah dosa karena menyakiti hati sesama, membohongi orang lain atau menipu atau melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap perintah Allah Swt. Semua jenis dosa ini menjadi kewajiban kita untuk selalu memohon ampun kepada Allah swt setiap saat.

Rasulullah Saw setiap hari kurang lebih 100 kali beristigfar kepada Allah memohon ampunan segala dosa dan kekeliruan yang telah dilakukan. Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah Saw kenapa harus beristigfar sampai 100 kali setiap hari bukankah rasulullah maksum dan telah diampuni dosa-dosanya dan dijamin masuk syurga? tapi masih terus meminta permohonan ampun. Rasulullah menjawab bahwa sesungguhnya nikmat Allah yang diberikan kepada umat manusia sangatlah besar dan tidak bisa dihitung sebagaimana disebutkan dalam Alquran “Bahwa sesungguhnya jika engkau menghitung-hitung nikmat Allah maka engkau tidak akan mampu menghitungnya” ayat. Karena nikmat yang begitu besar yang telah diberikan oleh Allah kepada setiap hambanya maka sepatutnya disyukuri melalui perbuatan baik terhadap Allah.   Rasulullah Saw menegaskan bahwa sesungguhnya nikmat yang diberikan oleh Allah kepadaku belum sepadan dengan nilai-nilai kebaikan yang aku lakukan kepada umat manusia karena itulah aku harus selalu meminta ampun kepada Allah agar mengampuni kesalahan dan khilafan serta keterbatasan dalam memberikan kebaikan kepada makhluknya.

Dalam riwayat lain juga dikisahkan bahwa di hari kiamat di padang mahsyar, Allah Swt memanggil seseorang agar segera masuk ke Syurga karena nikmat Allah. Namun orang itu membantah dan mengatakan Ya Allah sesungguhnya aku masuk syurga bukan karena nikmat dan kehendakMu akan tetapi karena amal baikku di dunia mulai sholat dan lain sebagainya itulah yang membawaku masuk syurga. Allah-pun menentang dan memerintahkan kepada Malaikat agar menimbang dan membanding nikmat Allah yang telah diberikan kepada orang itu dengan amal baiknya. Malaikat lalu menimbang mata dan penglihatannya, ternyata masih jauh lebih berat nikmat Allah daripada amal baik orang itu. Allah pun memerintahkan Malaikat agar menarik orang itu masuk ke dalam neraka. Iapun sadar dan mengakui bahwa ia masuk ke dalam syurga bukan karena amal baiknya akan tetapi karena nikmat dan kehendak Allah Swt.

Karena itu, Rasulullah tiada henti-hentinya beristigfar kepada Allah karena nikmat yang telah diberikan kepadanya belum seimbang dengan pengabdiannya kepada makhluk Tuhan padahal semua orang telah mengetahui bagaimana perjuangan yang dialami oleh Rasullullah Saw mulai dari kecil sampai besar dan mulai dari Mekkah sampai Madina dalam mengembangkan dan memperkenalkan Islam kepada bangsa Arab bahwa islam adalah  agama yang  rahmatan lil alamin.

Bagaimana dengan kita? Apakah setiap saat kita beristigfar sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw? Jawaban bisa iya bisa tidak. Namun dari kisah tersebut diatas yang perlu digaris bawahi bahwa sesungguhnya kita belum menyadari sepenuhnya seberapa besar kebaikan yang telah kita berikan kepada mahluk tuhan di muka bumi ini bahkan tidak menutup kemungkinan diantara kita justru banyak melakukan kerusakan baik kerusakan terhada diri sendiri maupun kerusakan terhadap orang lain. Kita masih terbatas pada sholat, puasa, zakat dan ibadah-ibadah lainnya tetapi telah merasa bangga dan puas bahkan tampil sebagai orang yang paling beriman dan bersih, menghakimi sesamanya sebagai orang kafir, thogut, ahlul bid’ah dan lain-lain sebagainya padahal ia sendiri belum memberikan kebaikan apapun terhadap sesamanya dan mahluk lainnya.

Inilah sebuah ironi bagi sebagian diantara kita karena belum sepenuhnya menjadi muslim yang Kaffah sebagaimana yang diingginkan oleh Alquran bahwa ‘Masuklah ke dalam Islam secara kaffah” tapi sudah mentang-mentang mengaku sebagai pahlawan, syuhada dan lain-lain sebagainya dan yang lebih mengerihkan lagi jika menganggap membunuh atau membom sesamanya muslim atau bunuh diri sebagai perbuatan syahid. Wallahu a’lam bisshawab.

 

 

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago