Narasi

Jangan Impor AL Aqsha Ke Indonesia

Kasus panas di Timur Tengah telah lama dibawa ke Indonesia sehingga melahirkan respon minimal dua hal; pergi berperang dan mencipta peperangan. Atas dasar nilai-nilai persaudaraan dalam Islam, ada beberapa orang yang pergi ke Timur Tengah untuk membantu umat Islam yang sedang didera perang. Mereka ikut memanggul bedil dan menjinjing bom untuk membunuh mereka yang telah berbuat jahat kepada umat Islam. Diantara mereka ada yang terbunuh di medan perang yang kemudian disebut syahid. Ada pula yang selamat hingga pulang ke Indonesia.

Mereka yang pulang ke Indonesia tidak hanya membawa jiwa dan raganya dengan selamat. Namun juga membawa ideologi dan teologi peperangannya ke negri yang damai ini. Dari sini mulai timbul masalah baru. Yakni menganggap orang-orang di luar dirinya sebagai musuh sebagaimana di medan perang. Riak ketegangan sosial akan mulai tampak ketika sampai melakukan aksi-aksi ala peperangan di negri yang damai seperti Indonesia ini. Begitu juga jiwa yang terbiasa membunuh orang dalam peperangan menjadi candu yang membuat dirinya ketagihan. Lahirlah aksi pengeboman dimana-mana.

Kasus masjid al Aqsha yang terjadi akhir-akhir ini bisa memperuncing persoalan dalam negri. Pada awalnya, pihak Palestina melakukan pembunuhan terhadap tiga polisi Israel yang sedang berjaga di masjid al Aqsha. Kemudian Israel melakukan perlawanan dan bahkan melakukan blokade di depan masjid al Aqsha. Selanjutnya, siapapun yang masuk ke masjid al Aqsha harus melwati metal detektor untuk mengidentifikasi senjata tajam atau bom. Israel hawatir warganya menjadi korban kembali. Sikap Israel ini banjir protes dari berbagai Negara tidak terkecuali Indonesia.

Masjid al Aqsha merupakan masjid yang disucikan oleh umat Islam. Karena ia memiliki peran sentral dalam kisah isra’ mi’raj Nabi. Selain dalam al Qur’an, masjid al Aqsha juga sering disebutkan dalam beberapa hadits. Ada nuansa islami ketika umat Islam shalat di dalamnya. Karena masjid al Aqsha sebagai tempat yang disucikan, tentu tergolong sensetif apabila dikotori oleh pihak mana pun, apalagi oleh Israel yang di benak umat Islam sebagai pembantai warga Palestina. Dan sayangnya, umat Islam tidak banyak yang menyadari bahwa masjid al Aqsha juga tergolong tempat yang dianggap suci oleh agama lain khususnya Yahudi dan Nashrani. Sehingga tidak mungkin mereka melakukan aksi-aksi kotor kepada masjid al Aqsha.

Nah, ketegangan yang ada di al Aqsha Palestina ini berpotensi diimpor ke Indonesia oleh sebagian umat Islam untuk menciptakan ketegangan kembali sebagaimana beberapa kasus perang di Timur Tengah yang telah lalu. Dan terus terang saja, sebenarnya membawa nuansa perang ke wilayah damai itu tergolong dilarang dalam Islam. Perlu diketahui bahwa peperangan pada masa Nabi tidak satu pun yang terjadi di dalam kota dimana warga sipil tinggal. Bahkan dalam “al Kharraj” Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim menjelaskan bahwa Nabi melarang membunuh musuh di depan anak-anak dan perempuan. Oleh karenanya, jika perang tidak bisa dihindari maka harus dilaksanakan di luar wilayah damai.

Dalam kitab yang sama, Abu Yusuf Ya’qub juga menjelaskan bahwa hal yang harus dilaksanakan oleh umat Islam ketika mendengar ada wilayah yang didera peperangan atau penindasan adalah menyelematkan warga sipil dan menaklukkan penindas. Umar ibn al Khatthab sebagaimana dikisahkan oleh Abu Yusuf Ya’qub pernah mengatakan, “sungguh membebaskan satu orang tawanan dari tangan orang-orang dhalim lebih aku sukai dari pada keberhasilan menguasai seluruh jazirah Arab.” Perkataan Umar ini disebabkan peperangan terjadi disebabkan upaya membebaskan manusia dari cengkraman penjajahan dan kejahatan yang dilakukan oleh pihak qabilah pada waktu itu.

Dalam “Futuhul Buldan”, Abul Abbas Ahmad mengatakan bahwa Umar ibn al Khatthab sangat berhati-hati dalam menempatkan tentaranya. Umar menciptakan jarak pemisah antara warga sipil dengan tentara. Karena latihan militer yang dilalui oleh tentara sangat berbeda dengan pola pikir masyarakat sipil pada umumnya. Ini artinya, Islam sangat membedakan antara wilayah damai dan wilayah perang berikut masyarakat yang ada di dalamnya. Jika negara sudah dalam kondisi damai maka tidak boleh diciptakan peperangan. Karena kedamaian itu lebih utama. Al suhlhu khair, demikian firman Allah.

Oleh sebab itu, kita harus menghentikan impor kekerasan dari Timur Tengah yang dilanda perang. Sebaliknya dengan cara apapun, kita harus mengekspor kedamaian ke seluruh alam sehingga tidak ada kerusakan di muka bumi ini. Masjid al Aqsha memang harus tetap dihormati dan disucikan tetapi nuansa ketegangan dan peperangannya tidak boleh disebar di negri ini. Wallahu a’lam.

Abdul Muiz Ghazali

Pegiat sosial-keagamaan dan aktif mengajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Cirebon.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago