Dalam beberapa hari terakhir ini, publik dibuat tercengang oleh kejadian konflik SARA yang terjadi di India. Memang konflik ini jelas mencabik-cabik hati kita semua, terlebih umat Muslim yang menjadi korban. Sebagaimana diketahui dan viral di media sosial bahwa sebagian kubu ekstrim mayoritas Hindu melakukan aksi kekerasan terhadap minoritas Muslim India.
Tidak hanya fasilitas umum dan tempat ibadah seperti Masjid yang “diluluh lantahkan”, melainkan konflik tersebut juga merenggut setidaknya 30 nyawa warga minoritas Muslim. Atribut Islam menjadi sasaran amukan. Ini tidak hanya mengerikan, namun juga amat sangat disayangkan peristiwa seperti ini terjadi.
Kita tentu saja sepakat bahwa aksi brutal yang nir-kemanusiaan tersebut merupakan aksi terkutuk sehingga sudah sepatutnya tindakan semacam itu dikutuk dunia. Indonesia melalui beberapa pejabat negara juga mengambil sikap mengutuk aksi mayoritas Hindu yang menebas minoritas Muslim India.
Setiap peristiwa yang memakan korban sudah pasti banyak menimbulkan simpati dan emosi masyarakat, terlebih yang menjadi korban adalah mereka yang memiliki kesamaan dalam hal agama misalnya. Momentum konflik di India itu, oleh oknum di Indonesia, dimanfaatkan betul oleh mereka untuk menyulut emosi (provokasi) Muslim Indonesia untuk memberikan kesan bahwa konflik yang terjadi di India harus dibalas oleh Muslim Indonesia.
Seolah oknum yang gemar menyebar informasi yang bermuatan provokasi atas kejadian konflik sektarian di Indonesia ingin menggiring masyarakat untuk ‘membenci’ Hindu yang minoritas di Indonesia. Dalam bahasa lainnya, ingin ‘meng-impor’ konflik India ke Indonesia.
Baca Juga : Genosida India, Politik Identitas dan Upaya Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan
Hal itu terlihat, diantaranya, penggalangan massa untuk melakukan aksi di beberapa titik, misalnya di kedubes India yang berada di Indonesia. Memang cara seperti ini terlihat sebagai salah satu bentuk rasa solidaritas kepada saudara yang ada di India yang mendapatkan perlakuan buruk, agar pemerintah Indonesia bertindak, paling tidak turut menyelesaikan konflik di India dengan cara diplomasi dan lainnya.
Namun, penulis yakin bahwa aksi tersebut tidak akan bersih dari upaya provokasi massa yang mengarah pada sikap dan pandangan sinis terhadap agama lain. Inilah yang harus diperhatikan agar apa yang terjadi di India tidak lantas dijadikan alasan untuk melakukan yang yang sama terhadap agama lain di Indonesia.
Dengan demikian, masyarakat harus jeli dalam memandang konflik yang terjadi di negara lain. Bahwa mereka yang berada di India adalah sauadara kita, adalah sebuah kebenaran umum. Namun, sekali lagi, masyarakat harus pandai dalam menyikapi konflik sektarian dalam artian marilah ambil hikmahnya atas konflik tersebut. Bahwa Muslim Indonesia jangan sampai melakukan hal sama, dalam artian membalas agama Hindu di Indonesia. Cara semacam ini tidak hanya konyol melainkan juga termasuk cara menyikap persoalan orang bodoh.
Merawat Solidaritas Kebangsaan
Oknum atau kelompok yang memanfaatkan kejadian di India untuk menyulut emosi masyarakat Muslim Indonesia sudah bertebaran di media sosial. Oleh karena itu, masyarakat harus mulai cerdas menyikapi provokasi itu dengan mengambil sikap tidak ikut-ikutan termakan provokasi dan tetap merawat persaudaraan dalam bingkai NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Makmur (2018) menjelaskan bahwa dalam pandangan kelompok mayoritas, terdapat sebuah cara berpikir yang bisa saja melintas kapan saja terkait hasrat mereka untuk selalu berkuasa, superioritas, dan arogansi sehingga ingin meindas dan memarginalisasi yang minoritas. Artinya, sebagai moyaritas, terkadang terbetik di kepala mereka akan hal yang buruk, namun semua itu akan berlalu begitu saja—dalam artian hanya sebatas angan-angan belum sampai turun dalam sebuah tindakan—ketika ada kesepakatan bersama yang menjadi keyakinan dan komitmen bersama. Di sinilah diperlukan yang namanya visi yang sama.
Dalam konteks Indonesia, Pancasila menjadi simbol dan pengikat semua golongan, agama, dan lainnya agar tetap satu visi dan tujuan. Lantas semua itu ditelurkan dalam filosofi Bhinneka Tunggal Ika, meskipun berbeda-beda, tatap satu tujuan. Inilah yang harus terus digaungkan agar solidaritas kebangsaan kuat, tidak mempan diterjang oleh provokasi ‘recehan’ seperti konflik di India belakangan ini.
Belajar dari Konflik India
Konflik SARA yang memanas di India belakangan ini sesungguhnya merupakan ujian atas keragaman komposisi rakyat India itu sendiri. Jika mereka tidak bisa keluar atau masing-masing kelompok masih tetap mengedepankan ego sektariannya, maka India akan mengalami kemunduran.
Sebaliknya. Jika India mampu keluar dan menyelesaikan konflik tersebut, maka India akan menjadi negara yang kuat dan maju. Sebab, tidak ada negara yang maju di dunia ini jika ia tidak mementingkan kepentingan bersama dan mengakomodasi semua kelompok, golongan, agama dan lainnya. Karena maju itu butuh banyak dukungan dan sokongan dari semua pihak.
Indonesia, sebagai negara yang jauh lebih beragam dari India, juga pernah mendapatkan ujian serupa, yakni konflik sektarian. Tetapi Indonesia berhasil keluar dari ujian tersebut karena memiliki panduan bersama tentang hidup dalam perbedaan. Meskipun kini simpul-simpul persatuan dan bersaudaraan itu masih mendapatkan serangan dari berbagai macam sisi dan cara, namun semua itu selalu dan akan selalu bisa teratasi.
Korban berjatuhan dan banyak fasilitas yang rusak serta masih banyak kerugian lain atas konflik yang terjadi di India sudah selayaknya dijadikan sebagai pelajaran penting bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali untuk tetap saling menghargai, toleransi, dan memperkuat tali persaudaraan. Jangan semata-mata ditinjau dari segi agama saja, melainkan harus lebih dewasa, yakni dengan sudut pandang persaudaraan keagamaan.
Jika kita memandang konflik di India sebagai konflik agama, maka sudah otomatis apa yang ada dibenak kita adalah menganggap bahwa Hindu itu kejam terhadap Muslim. Sikap sinis terhadap agama akan muncul. Jika demikian yang terjadi, maka konflik akan merambah tidak hanya di India saja, melainkan di daerah yang ada Muslim dan Hindu.
Oleh sebab itu, marilah kita pandang dari sisi yang lebih elegan dan berdampak positif terhadap umat. Kecamlah perbuatan, jangan kecam agama seseorang. Karena pada dasarnya, tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, apalagi sampai membunuh nyawa orang. Dengan demikian, Hindu dan Islam, juga agama lain, sesungguhnya ada untuk saling bekerja sama dalam kebaikan dan menjunjung tinggi perdamaian dan persaudaraan.
Jika demikian yang terjadi, maka tidak akan terjadi peristiwa impor kekerasan oleh daerah atau negara lain, termasuk Indonesia. Karena pada dasarnya, konflik India yang bermuatan SARA akibat pemeluk agama tersebut berkehendak diluar ajaran agama mereka sendiri. Terakhir, karena mengimpor konflik sekatrian seperti yang terjadi di India ke Indonesia sangat mudah sekali. Hanya dengan terus menyebar informasi bermuatan provokasi akan mudah menyulut emosi dan energi. Oleh sebab itu, stop provokasi dan menyebarkan berita yang mengarah pada menyulut perpecahan antar anak bangsa. Kita harus selalu menutup ruang oknum dan kelompok yang dapat merontokkan sendi-sendi persatuan dan persaudaraan di Indonesia.
This post was last modified on 4 Maret 2020 1:25 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…