Di zaman ketika hoaks dan provokasi menjadi arus dominan dalam dunia maya, kita dihadapkan pada tiga pilihan. Pilihan pertama ialah ikut arus dan menjadi bagian dari fenomena semburan hoaks dan ujaran kebencian serta provokasi tersebut. Caranya bisa bermacam-macam, antara lain sebagai penikmat pasif, yakni sekadar membaca atau menonton konten berbau provokasi dan ujaran kebencian. Bisa pula dengan berperan sebagai penikmat aktif yang tidak hanya sekadar menonton, namun juga menyebarluaskannya kepada khalayak.
Pilihan kedua, ialah bersikap apatis, alias tidak mau tahu pada fenomena hoaks. Sikap apatis ini cenderung netral, alias tidak mengonsumsi konten hoaks, ujaran kebencian atau provokasi, namun juga tidak melakukan apa pun untuk menangkalnya. Sedangkan pilihan ketiga ialah bersikap anti pada sebaran hoaks, provokasi dan ujaran kebencian dengan berperan dan berpartisipasi aktif dalam menangkal penyebarannya sekaligus dengan kesadaran penuh berusaha melawannya dengan narasi tandingan. Berbeda dengan pilihan kedua yang cenderung apatis, pilihan ketiga ini lebih menunjukkan kesadaran dan agresifitas untuk menangkal hoaks dan menjernihkan kembali informasi yang keruh oleh provokasi dan ujaran kebencian.
Ironisnya, di lapangan sikap masyarakat terhadap hoaks lebih banyak mengarah pada pilihan pertama dan kedua. Sedangkan pilihan ketiga, cenderung menjadi kaum minoritas. Hal ini sebenarnya bisa dimaklumi. Menjadi warganet yang melawan hoaks dan provokasi bukanlah sesuatu yang mudah. Di tengah arus deras gelombang hoaks dan provokasi, terutama di media sosial, sikap aktif dan kritis tentu akan menghadapi banyak tantangan. Dalam banyak kasus, banyak individu yang melawan hoaks dan ujaran kebencian di medsos justru mendapat perundungan daring (cyber bullying) dari warganet lain. Hal inilah yang membuat masyarakat kerap bersikap apatis, menghadapi serbuan hoaks dan provokasi. Kelompok apatis ini sebenarnya paham bahwa informasi hoaks dan konten ujaran kebencian itu berbahaya, namun mereka acap tidak memiliki stamina dan keberanian untuk melawannya.
Dalam konteks inilah, jihad literasi melawan provokasi tidak cukup hanya dengan menumbuhkan kesadaran berinternet dan bermedsos yang sehat dan bijak. Lebih penting dari itu ialah bagaimana membangun kesadaran sekaligus keberanian untuk melawan akun-akun penebar hoaks dan provokasi serta memproduksi konten tandingan yang menjernihkan, mencerahkan dan menyejukkan. Sikap apatis alias tidak peduli pada narasi provokatif dan hoaks yang merajalela di media sosial adalah angin segar bagi para kaum tuna moral perusak bangsa. Mereka, para penyebar hoaks itu akan merasa di atas angin jika tidak ada kekuatan yang melawan praktik kotor tersebut.
Membangun Jejaring Anti-Provokasi di Medsos
Disinilah pentingnya upaya membangun jejaring komunitas anti-hoaks dan provokasi di media sosial. Gagasan ini sebenarnya bukan sepenuhnya baru dan sudah banyak dipraktikkan di berbagai kanal media sosial. Di media sosial Facebook misalnya, terdapat sejumlah akun fanpage yang didedikasikan untuk melawan hoaks, ujaran kebencian dan provokasi. Untuk menyebut beberapa di antaranya, Forum Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH), Indonesian Hoax Buster, Forum Anti Hoaks Indonesia dan sejumlah akun fanpage lainnya. Sayangnya, keberadaan akun-akun anti-hoaks dan provokasi ini secara perbandingan kalah jauh dengan jumlah akun-akun yang dikenal sebagai penyebar hoaks dan provokasi.
Maka, ibarat perang, kelompok anti-hoaks bisa dibilang kalah jauh dengan kaum penyebar hoaks. Bisa dibayangkan, ada ratusan bahkan ribuan akun penyebar hoaks dan provokasi yang saban hari memproduksi berita palsu dan fitnah dan memviralkannya dalam hitungan menit. Hasil survei Mastel (2017) mendapati fakta bahwa 44 persen warganet mendapatkan berita hoaks setidaknya satu kali setiap harinya. Di saat yang sama, kelompok anti-hoaks dengan jumlah yang tidak besar merasa kewalahan harus mengklarifikasi hoaks dan provokasi yang membanjiri kanal-kanal media sosial. Maka, membangun jejaring warganet anti hoaks dan ujaran kebencian di media sosial ialah sebuah keharusan.
Di era masyarakat jaringan (network society) seperti saat ini, diperlukan upaya nyata untuk memberantas penyakit digital seperti sebaran hoaks, fitnah, ujaran kebencian dan provokasi. Sejauh ini, pemerintah telah melakukan sejumlah hal strategis terkait pemberantasan hoaks di media sosial. Antara lain membentuk sejumlah lembaga yang khusus memberantas hoaks dan provokasi di dunia maya. Pemerintah juga mengembangkan berbagai teknologi aplikasi yang bisa digunakan untuk mengecek kebenaran atas sebuah informasi. Di saat yang sama, pemerintah juga tidak pernah lelah mengembangkan literasi digital kepada masyarakat. Kini, tinggal bagaimana publik mengafirmasi langkah strategis itu dengan membangun jejaring di dunia maya.
Kelompok rasional dan kritis di negeri ini sebenarnya cukup besar, bahkan mayoritas. Sayangnya mereka kerap memilih peran sebagai mayoritas yang diam (silent majority). Pilihan sebagai silent majority itu tidak relevan dengan kondisi sekarang ketika para penyebar hoaks dan provokasi telah berhasil membangun jaringan yang solid dan terstuktur di dunia maya. Sikap diam dan apatisme hanya akan membuat mereka merasa jemawa. Maka, individu yang memiliki kesadaran tentang bahaya hoaks dan provokasi harus berjejaring dan bersinergi. Membangun jejaring masyarakat anti-hoaks di media sosial ialah bagian penting dari jihad literasi melawan provokasi. Dengan terbentuknya jejaring tersebut, kita yakin gempuran hoaks dan provokasi bisa dianulir dari ruang virtual kita.
This post was last modified on 7 November 2020 5:49 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…