Narasi

Jihad Melawan Penguasa Dzalim, Bagaimana Caranya?

Hiruk pikuk kondisi nasional saat ini sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan. Kebijakan terbaru tentang pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja akhirnya memancing emosi dan mosi rakyat terhadap penguasa. Di sisi lain, banyak massa mudah terprovokasi sehingga niat mulia untuk memperjuangkan berujung pada keresahan baru di tengah masyarakat.

Demonstrasi adalah bagian dari instrument menyampaikan aspirasi masyarakat. Sebagai negara yang demokratis, penyampaian aspirasi dan tuntutan adalah sesuatu yang harus diwadahi dan dihormati. Demonstrasi adalah bagian dari cara rakyat memberikan masukan, kritik dan aspirasi. Boleh menyampaikan mosi, tetapi tidak boleh terbakar emosi yang bisa merusak apapun.

Dalam Islam, melawan penguasa yang dzalim diwajibkan. Menyampaikan pendapat dan masukan adalah bagian dari nasehat yang harus dilakukan. Bahkan dalam Islam, menyuarakan kebenaran di depan penguasa yang dzalim adalah sebagian dari bentuk jihad yang paling utama.

Rasulullah bersabda : “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang dzalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).

Sebagai bentuk jihad tentu harus mempunyai aturan. Jihad melalui perang melawan orang kafir pun penuh dengan aturan. Perusakan dan kekerasan terhadap bukan objek peperangan  sangat dilarang meskipun dalam jihad perang melawan musuh-musuh Allah. Dalam perang pun misalnya, perempuan, anak-anak, orang tua, tumbuhan, rumah ibadah dan fasilitas lain dilarang untuk dirusak.

Karena itulah, dalam konteks melawan penguasa yang dzalim sebagai bentuk jihad juga tidak boleh menghalalkan segala cara. Melawan penguasa dzalim dengan memberikan nasehat dan perkataan kebenaran juga harus memperhatikan etika dan cara. Pertama, Bukan dengan mencapai kebenaran lalu semua cara menjadi halal termasuk merusak dan melakukan kekerasan. Tentu perlawanan demikian bukan bagian dari cara-cara Islami.

Kedua, perlawanan dengan memberikan nasehat, masukan dan perkataan kebenaran juga bukan berarti tidak mengindahkan etika lisan dan pembicaraan. Memaki, mencaci, dan berkata kotor bukan bagian dari etika dalam menyampaikan kebenaran.

Ingatlah ketika Nabi Musa dan Harun diutus oleh Allah untuk memberikan peringatan kepada Fir’aun, sang penguasa yang paling dzalim. Allah SWT berfirman :

Artinya: Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas; Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata – kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut. (QS. Thaha : 43-44)

Dalam konteks ayat di atas, Fir’aun saja yang kezalimnya sudah sungguh jelas dimuka bumi serta mengingkari ajaran Allah, namun etika yang ingin diajarkan oleh Qur’an melalui cerita Nabi Musa dan Harun adalah menasehatinya dengan kata-kata yang lemah lembut.

Ketiga, memberikan perlawanan bukan berarti keluar dari ketaatan kepada pemimpin. Jika ada satu kesalahan kebijakan yang dilakukan pemimpin bukan berarti suatu pengabsahan untuk membangkan kepada pemimpin.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata :

“Masyarakat tidak bisa jadi baik jika hidup tanpa pemimpin, baik pemimpin tersebut adalah orang yang sholih ataupun orang yang zalim.” Ada yang menyanggah beliau terkait dengan kalimat ‘ataupun orang yang zalim. ‘Ali menjelaskan, “Bahkan dengan sebab penguasa yang zalim jalan-jalan terasa aman, rakyat bisa dengan tenang mengerjakan shalat dan berhaji ke Ka’bah.” (Tafsir Al Kabir wa Mafatih Al Ghaib karya Muhammad Ar Razi 13: 204).

Dari lbnu Abbas Ra bahwasanya Rasulullah  bersabda, ” Barang siapa membenci sesuatu hal dari pemimpin mukmminnya, maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya siapa yang keluar dari ketaatan kepada penguasa mukmin walau sejengkal, niscaya ia mati seperti cara mati orang jahiliyah.” (HR. Muttafaq ‘alaih). Melawan penguasa dzalim memang bagian dari perintah agama. Akan tetapi, perlawanan harus memiliki aturan bukan berarti menghalalkan segala cara apalagi merusak dan menimbulkan kepanikan baru di tengah masyarakat.

This post was last modified on 8 Desember 2020 12:06 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

13 jam ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

13 jam ago

Patriotisme Inklusif: Saat Iman yang Kuat Melahirkan Rasa Aman bagi Sesama

Diskursus publik kita belakangan ini diuji oleh sebuah polemik yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan. Rencana…

13 jam ago

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

2 hari ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

2 hari ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

2 hari ago