Narasi

Jihad Menjaga Keragaman sebagai Sunnatullah

Dahulu, kehadiran sosok ini begitu menakutkan dan menyeramkan. Wajar saja, sebab aktivitas kesehariannya adalah menebarkan teror dan  kebencian kepada pihak lain. Jihad (dalam arti yang sangat sempit dan kaku) menjadi salah satu dorongan kuat mengapa dia melakukan hal tersebut. Tetapi sekarang, sosok itu telah berubah. Kini, dia sudah bertaubat dan bermetamorfosis menjadi pribadi yang hangat dan menyenangkan. Jihad pun tidak lagi dipahami sekedar berperang dan membunuh. Ya, orang tersebut adalah Ali Fauzi. Sejak ditangkap pemerintah Filipina dan menjalani hukuman di Indonesia, Ali Fauzi memang telah berubah. Dia menyadari bahwa aksi-aksi teror yang pernah dilakukannya bukanlah jihad. Kini,  Ali Fauzi kini menjadi Ketua Yayasan Lingkar Perdamaian. Yayasan  ini didirikan oleh mantan  napi teroris dan mantan kombatan. Tujuan dibentuknya yayasan ini adalah untuk mencegah agar tidak ada lagi napi teroris yang kembali berulah.

Dilansir tempo.co, pada Jumat 21 Juli 2017, Ali Fauzi kembali mengajak teman-temannya (mantan kombatan dan napi teroris) mengucapkan cinta setia kepada NKRI. Dalam  ikrarnya, mereka menyatakan “Ini adalah sebuah upaya kami mengubah cara pandang dan perilaku. Dulu kami berlawanan dengan polisi, namun sekarang berkawan. Dulu ingin runtuhkan NKRI, sekarang kami ingin setia membangun NKRI bersama-sama”. Ikrar tersebut juga dihadiri oleh Kepala BNPT Irjen Pol Suhardi Alius.

Apa yang dilakukan Ali Fauzi tentu bisa dikategorikan sebagai jihad. Sebab dia bersungguh-sungguh untuk melakukannya. Dan justru jihad seperti inilah yang kita inginkan. Jihad untuk terus-menerus menyebarkan manfaat dan kebaikan untuk orang lain. Bukan jihad yang sering dipelintir dan disalahpahami sebagai berperang melawan pihak lain. Kita pun bisa mencontoh Ali Fauzi dengan cara berjihad dalam arti positif. Salah satu yang dapat dilakukan adalah berjihad untuk menjaga keragaman di Indonesia. Mengapa hal ini penting? Sebab keragaman adalah sunnatullah yang tidak bisa ditolak. Perbedaan adalah karunia dari Allah SWT. Sehingga keragaman perlu disyukuri dan bukan untuk dikutuki. Islam tidak henti-hentinya mengarahkan agar manusia sadar dengan realitas yang berbeda.

Sebagai bukti, bisa dilihat pada surah ar-Rum ayat 22. Allah SWT berfirman “Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda orang-orang yang mengetahui.” Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan bahwa manusia memiliki beragam bahasa. Ada yang menggunakan bahasa Arab, Tartar, Kurdi, Indian, Afrika, dsb. Mereka terdiri dari berbagai bangsa seperti Sicilia, Armen, Kurdi, Tartar, dll. Jumlah bahasa Bani Adam sangatlah beragam. Begitupun wargan kulitnya. Masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda.

Sementara pada surah al-Hujurat ayat 13, Allah SWT bersabda “Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian kami jadikan kamu suku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paing mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”

Dalam konteks Indonesia, ayat-ayat tersebut sungguh sangat relevan. Sebab bangsa ini diberikan tingkat kemajemukan yang luar biasa. Beragam bahasa dan warna kulit bisa ditemui di sini. Dari ujung Sumatera sampai ujung Papua, terdapat perbedaan yang sangat mencolok. Akan tetapi perbedaan ini tidak perlu dipandang sebagai jurang pemisah. Bahkan kita perlu mengambil hikmah dari keragaman ini. Sebab Allah tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Pasti ada maksud tersembunyi dibalik hal tersebut. Nah, manusia harus memikirkan bagaimana mengolah keragaman tersebut agar bisa memberikan manfaat untuk semua pihak. Selain itu, manusia pun harus terus-menerus menyebar cinta kasihnya untuk sesama.  Nasir al-Din al-Thusi, seperti dikutip Mulyadhi Kartanegara (2017:230-231), menjelaskan kata” insan” bukan berasal dari kata “nisyan” seperti dalam  ungkapan “al-insan mahall al-khata’ wa al-nisyan”. Tetapi berasal dari kata uns yang berarti “rasa akrab” atau “intimasi”. Intimasi adalah rasa cinta antar manusia yang hadir begitu saja secara alamiah. Dan tuhan menciptakan rasa cinta untuk memelihara kehidupan manusia.

Maka, mari kita bersungguh-sungguh (berjihad) menjaga keragaman -khususnya di Indonesia- sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan bermartabat. Sehingga kita tidak lagi diributkan dengan perselisihan akibat perbedaan.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Sekolah Damai BNPT : Memutus Mata Rantai Radikalisme Sejak Dini

Bahaya intoleransi, perundungan, dan kekerasan bukan lagi hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga mengakibatkan konsekuensi…

1 hari ago

Dari Papan Kapur sampai Layar Sentuh: Mengurai Materialitas Intoleransi

Perubahan faktor-faktor material dalam dunia pendidikan merefleksikan pergeseran ruang-ruang temu dan arena toleransi masyarakat. Jarang…

1 hari ago

Pengajaran Agama yang Inklusif sebagai Konstruksi Sekolah Damai

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Duta Damai BNPT telah berinisiasi untuk membangun Sekolah…

1 hari ago

Hari Pendidikan Nasional dan Upaya Membangun Sekolah yang Damai dari Intoleransi, Bullying dan Kekerasan

Hari Pendidikan Nasional yang akan diperingati pada tanggal 2 Mei 2024 menjadi momentum penting untuk…

1 hari ago

Role Model Pendidikan Karakter Anti-Kekerasan Ala Pesantren

Al-Qur’an merupakan firman Allah azza wa jalla yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya, yang…

1 hari ago

Merdeka Belajar; Merdeka dari Tiga Dosa Besar Pendidikan

Sekolah idealnya menjadi rumah kedua bagi anak-anak. Namun, ironisnya belum semua sekolah memberikan rasa aman…

2 hari ago