Narasi

Jihad Sipil sebagai Upaya Cegah Terorisme

Mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Setidaknya itulah yang mesti diterapkan dalam menangani fenomena terorisme. Cara-cara penindakan yang telah dilakukan pemerintah melalui tangan aparatnya, terbukti tidak bisa melenyapkan terorisme. Memang, hal itu bisa memberikan efek jera bagi pelaku. Bahkan, beberapa pelaku telah berhasil kembali kepada kehidupan biasanya dan meninggalkan dunia gelap terorisme.

Akan tetapi, penindakan terhadap terorisme tidak serta merta bisa melenyapkannya. Satu pelaku atau aksi terorisme ditindak, muncul aksi-aksi lain dalam berbagai bentuk teror. Dari sinilah, disadari bahwa pemerintah tidak bisa kerja sendiri. Justru, yang jauh lebih penting adalah keterlibatan masyarakat. Jika pemerintah melakukan penindakan, maka masyarakat sipil melakukan upaya preventif, pencegahan.

Menurut Analis Kebijakan Divisi Humas Polri Kombes Sulistyo Pudjo Hartono, ada tiga faktor yang melarati munculnya terorisme. Pertama, tersentuh. Kekerasan-kekerasan yang menimpa muslim di belahan dunia lain, kerap membuat muslim Indonesia tersentuh. Memang ada banyak ekspresi perhatian, dari melakukan penggalangan dana, pengiriman relawan kemanusiaan, dan tidak menutup kemungkinan juga keinginan seseorang untuk ikut jihad di sana. Karena pada konflik di belahan dunia lain, dalam pandangannya, adalah konflik antara non-muslim dan muslim, maka boleh jadi ia akan melenyapkan non-muslim di daerahnya sendiri.

Kedua, adanya komunitas garis keras. Kita mesti mewaspadai gerakan kelompok garis keras ini. Pasalnya, gerakannya cukup halus dan sulit dideteksi. Ada banyak agen garis keras yang mampu bersosial di masyarakat dengan baik, sehingga bisa menutupi misi mereka yang sebenarnya cukup meresahkan. Dalam Ilusi Negara Islam, disebutkan bahwa ciri kelompok garis keras adalah tidak mau menerima perbedaan, dan menganggap kebenaran versinya sebagai kebenaran mutlak.

Ketiga, ideologi yang terlegitimasi dan mengakar. (liputan6.com) Ini pula yang mesti kita waspadai. Gerakan garis keras biasanya menggunakan media apapun untuk melakukan indoktrinasi. Misalnya, dengan menampilkan penderitaan muslim di Palestina atau Suriah atau negara muslim lainnya. Mereka coba menarik konflik di tempat tersebut ke dalam pertarungan antar agama. Korban-korban muslim pun mereka tampilkan, sehingga bisa menarik simpati muslim yang menyaksikannya, baik melalui tulisan, video, maupun gambar.

Adalah Yusuf Qardhawi, cendekiawan muslim masa lalu yang hingga kini cukup berpengaruh. Beliau cukup banyak menelurkan karya ilmiah, salah satunya adalah buku Fiqih Jihad. Dalam buku tersebut, dikatakan bahwa tidak hanya tentara atau militer saja yang diwajibkan untuk berjihad. Melainkan juga masyarakat sipil. Hanya saja, ranah jihadnya yang berbeda.

Jika militer bertugas untuk menjamin keamanan negara dari invasi negara atau kelompok lain yang mengancam, maka warga sipil lebih kepada upaya-upaya jihad yang sifatnya soft. Pendeknya, tentara melakukan dengan cara penindakan, masyarakat sipil dengan jalan pencegahan. Yusuf Qardhawi menyebutnya dengan istilah jihad sipil. Jihad sipil adalah jihad untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, menangani problematikanya, memenuhi tuntutan moral dan materinya, serta membangkitkannya dalam segala bidang, sehingga dapat meraih kedudukan terhormat. (Yusuf Qardhawi: 2010)

Di sinilah pentingnya kesadaran masyarakat akan tugasnya. Bahwa terorisme adalah musuh bersama yang mesti diwaspadai dan dilawan. Bukan pelakunya atau orang yang terindikasi bersimpati dengan aksi teror yang dijauhi. Melainkan, segenap elemen masyarakat mesti mampu melakukan pendekatan emosional-kultural kepada orang tersebut. Bukan ditolak, melainkan diterima sembari diberikan pemahaman sesat pikir terorisme. Dan jangan lupa, cara penyampaiannya dengan santun dan mengedepankan dialog, bukan debat.

Adapun tindakan preventif bisa dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Di Taman Pendidikan Al-Qur’an (TPA), misalnya, sang ustaz mesti mampu memberikan ajaran Islam yang ramah. Pun di rumah, anak mesti diberikan keteladanan yang mengarah pada praktik Islam yang sebaik-baiknya.

Begitu juga dengan masyarakat, mesti mampu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk tumbuh-kembang anggota-anggotanya. Semua fasilitas yang tersedia di lingkungan, baik sumber daya manusia maupun alam, mesti diberdayakan demi mengampanyekan nilai-nilai perdamaian, sebagai langkah pencegahan terorisme. Upaya ini, tak lain untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (maqashid asyari’ah).

Inilah salah satu aplikasi dari jihad sipil, yang bertujuan untuk mengantarkan segenap manusia agar dapat meraih “kedudukan yang terhormat”.

Imron Mustofa

Admin Online Blog Garawiksa Institute. PU LPM Paradigma Periode 2015/2016

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

14 jam ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

14 jam ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

14 jam ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

14 jam ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

2 hari ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

2 hari ago