Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara, “manusia hidup di dunia ini harus mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah dan tamak”, itulah salah satu petikan petuah tokoh pewayangan Semar. Kyai Lurah Semar Badranaya atau lebih akrab dengan sebutan Semar merupakan salah satu tokoh Punakawan Jawa dan juga Sunda. Semar dikisahkan sebagai “Hand of the King”, yakni pengasuh sekaligus penasihat para Pandawa dalam kisah Mahabarata.
Semar merupakan tokoh ciptaan pujangga lokal yang sarat dengan berbagai nilai moral. Semar dikisahkan bertugas sebagai pamong bagi keluarga Pandawa, yang terkadang memberi nasihat. Pamong dalam hal ini bukalah sekadar abdi pengasuh, akan tetapi lebih dekat maknanya ke orang tua yang asah, asih, dan asuh. Layaknya orang tua Semar selalu berusaha mendidik anaknya.
Semar juga terkenal sebagai tokoh yang mengajarkan toleransi. Salah satu contoh nilai toleransi yang diajarkan tokoh Semar yaitu “sampeyan pancen bener gelem tata krama. Ngajeni dhateng sinten kemawon, satemeni ajine luwih aji sing ngajeni kaliyan sing diajeni”. Artinya “anda memang benar mau bertata krama. Menghargai kepada siapapun, sesungguhnya lebih berharga yang menghormati daripada yang dihormati” (Purwadi, 2014). Nasihat ini mengajarkan kepada kita bahwa orang yang bertata krama luhur dan mau menghormati orang lain, sejatinya lebih mulia dari pada orang yang dihormati.
Dalam kisah lainnya, Semar juga mengajarkan nilai-nilai persaudaraan. Sebagaimana pada saat Arjuna putra dari Prabu Pandu Dewanata, merasa gelisah dengan berbagai cobaan hidupnya sepeninggal ayahnya. Semar yang mengetahui kegelisahan Arjuna ikut prihatin dan memberi nasihat dalam ajaran Pancawisaya (Purwadi, 2014), yang meliputi pertama, rogarda, artinya sakit yang menimpa tubuh. Jika ditimpa sakit tubuh, berusahalah sungguh-sungguh, menerima, dan juga rela hati. Kedua, sangsararda, artinya sengsara yang menimpa tubuh. Kalau ditimpa sengsara badan, berusahalah menahan dan berbesar hati.
Ketiga, wirangharda, artinya sakit yang menimpa hati. Kalau ditimpa sakit hati, berusahalah tata, titi, kokoh pendirian serta berhati-hati. Keempat, cuwarda, artinya sengsara yang menimpa hati. Jika ditimpa kesengsaraan hati, berusahalah tenang, waspada, serta ingat. Kelima, Durgarda, artinya hambatan yang menimpa hati. Apabila ditimpa hambatan hati, berusahalah percaya diri dan yakin terhadap kekuasaan Tuhan.
Implikasi sifat persaudaraan juga tercermin dalam Lakon Pandhawa Nugraha, ketika Semar memberi wejangan kepada Prabu Puntadewa: “Ketimbang namung dipun penggalih ingkang tundhonipun namun andedawa panalangsa, sisip sembiripun anenutuh dhumateng ingkang sami tumandang, bontosipun anguman–uman ingkang akarya jagad, inggih menika witing lampah syirik. Mangga den kula aturi anyelaki pinggiring tlaga tiban”, yang artinya “dari pada hanya dipikir, yang akhirnya akan memperpanjang kesedihan, malahan bisa mencela mereka yang mengerjakan, bahkan bisa jadi mengumpat kepada Tuhan Yang Maha Pencipta, itu akan menjadi awal pikiran sirik.
Menurut Afina Izzati (2016) terkait petikan tersebut, tampak bijaksananya seorang Semar yang justru hanyalah seorang Punakawan yang derajatnya di bawah Arjuna, seorang pangeran. Hal ini menunjukan bahwa Semar merupakan tokoh yang luwes, mampu berempan papan, dapat bertindak secara tepat pada situasi apa saja dan kondisi apapun. Semar meski hanya seorang abdi, akan tetapi tidak memiliki keraguan dalam memberikan nasihat kepada yang membutuhkan, termasuk tuannya sendiri, yakni Pandawa. Persaudaraan yang digambarkan dalam laku tokoh Semar menjadi sangat penting tanpa melihat setiap perbedaan yang ada. Karena kewajiban setiap manusia ialah menjalin persaudaraan antar-sesama tanpa pandang kedudukan. Semar menyadari perannya sebagai abdi sekaligus sebagai perawat, pembimbing, pelindung, pengarah kepada kebenaran.
Semoga apa yang tercermin dalam laku tokoh pewayangan Semar dapat menjadi inspirasi para pemerintah dan rakyat Indonesia saat ini dan ke depannya. Indonesia sebagai negara heterogen yang kaya akan keberagaman, bukan berarti harus terpecah-pecah ataupun terkotak-kotak. Keberagaman adalah salah satu alat sekaligus jalan untuk lebih belajar menghormati dan menghargai orang lain. Pilar inilah yang akan membuat bangsa ini bersatu.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…