Narasi

Jurus Agamawan dalam menghadapi Provokasi di tengah Pandemi

Rasa cemas, takut dan khawatir menjadi bayang-bayang kita dalam satu bulan terakhir dalam menghadapi pandemi ini. Korban semakin banyak bertambah. Disisi lain, solusi atas pandemi ini belum ada kejelasan yang kongkrit yang berdampak pada aktivitas sosial kita, mulai dari kehilangan pekerjaan, pendampatan berkurang hingga aktivitas terganggu.

Wabah berita hoaks dan provakasi menghiasi linimasa pemberitaan tekait pandemi ini. Kebijakan pemerintah yang mendorong pembatasan sosial, kurangi kerumunan mendorong krisis sosial. Mungkin, pada situasi yang oleh Presiden Joko Widodo yang sudah menetapkan sebagai bencana nasional ini, ada segelintir pihak untuk menciptakan hujatan yang berujung provokasi kepada pemerintah.

Jika kita terjebak dalam membaca situasi dan kondisi yang salah, maka suatu saat akan mengalami diistegrasi nasional. Ancaman itu bukan saja asumsi belaka. Tapi, ancaman itu sudah di depan mata kita. Apa langkah kita dalam membendung beragam provokasi ? atau apa justru diam saja menghadapi provokasi dalam suasana kedaruratan ini.

Pemerintah sudah berkerja keras dalam menangani virus, mulai membuat gugus, memberikan bantuan sosial, dan berbagai upaya lain yang dilakukan secara massif. Namun, masih saja pihak yang tak suka dengan cara kerja pemerintah, seperti narasi-narasi radikalisme, perang ujaran kebencian di linimasa media sosial.

Contoh paling jelas narasi-narasi provokatif terkait pandemi ini, narasi agama yang menyebutkan bahwa pandemi ini bisa diselesaikan dengan dengan sistem khilafah. Asumsi diperkuat dengan cerita masa lalu yang diperkuat firman-firman suci yang dipampang di buletin harian. Ada lagi yang mengaitkan isu pandemi dengan teori kospirasi mengatakan bahwa pandemi ini merupakan senjata biologis yang ingin mengahacurkan umat manusia. Contoh narasi provokatif ini membuat gusar masyarakat, yang seharusnya gotong royong justru malah menciptakan susana gaduh.

Baca Juga : Menghindari provokasi vandalisme di era corona

Suasana seperti ini, kiprah agamawan dinanti dalam mengatasi provokasi di masyarakat. Hanya agamawan yang saat mampu membendung narasi-narasi kebencian, memberikat petuah-petuah yang mujarab kepada masyarakat tentang wabah ini.

Agamawan itu mempunyai peran strategis dalam penanggulangan wabah ini, alasan sosiologis menjadi utama. Agamawan sebagai orang berpengaruh (Influencer) pada pengikut-pengikutnya sebagai modal berharga. Relasi pengikut dan agamawan di Indonesia menjadi fenomena sosial sudah lazim di Indonesia. Ketaatan bersumber pada Agamawan merupakan ciri masyarakat kita yang masih memegang petuah-petuah yang masih dipegang teguh hingga saat ini.

Para agamawan harus ditutut sebagai mediator dalam meredam provokator di masyarakat. Konsep agama sebagai rahmatan lil alamin menjadi bekal dalam membuat suasana gaduh menjadi damai kembali. Agamawan harus jeli dalam membawa angin kesejukan di masyarakat dengan ajakan-ajakan masyarakat bukan saja soal ritus saja, tetapi mengembalikan fungsi agama sebagai kebutuhan di masyarakat.

Para agamawan harus mengerti konsep wabah yang bersifat global ini kepada masyarakat. Konsep ini berlandaskan ajaran agama serta nalar rasional yang mencerdaskan masyarakat. Agamawan harus mampu menerjemahkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang strategis kepada masyarakat.

Ini penting sekali, masyarakat di tengah kondisi semacam ini mengalami haus akan pencerahan. Edukasi ini menjadi peredam yang efektif dalam mencegah provokasi yang berlebihan di masyarakat.

Tugas terakhir Agamawan, mengajak para pengikut untuk mengetuk pintu langit. Ikhtiar batin ini menjadi modal terakhir dalam mengatasi pandemi ini. Pemerintah sudah berusaha secara maksimal dalam penanganan wabah ini, tugas agamawan mengajak umatnya untu memunjatkan doa sebagai upaya penyerahan hamba terhadap Tuhan yang maha Kuasa.

Demikianlah, Jurus yang dilakukan para agamawan. Memang tak mudah, bukan sekedar mengembalikan telapak tangan. Tapi setidaknya, Agamawan dan Pemerintah berjalan seiringan dalam upaya penangulangan wabah ini. Koloborasi yang mesra antar dua institusi akan menyebabkan keharmonisan di masyarakat.

This post was last modified on 15 April 2020 2:52 PM

Atho’ilah Aly Najamudin

Recent Posts

Masjid Rasa Kelenteng; Akulturasi Arsitektural Islam dan Tionghoa

Menarik untuk mengamati fenomena keberadaan masjid yang desain arsitekturnya mirip atau malah sama dengan kelenteng.…

2 bulan ago

Jatuh Bangun Konghucu Meraih Pengakuan

Hari Raya Imlek menjadi momentum untuk mendefinisikan kembali relasi harmonis antara umat Muslim dengan masyarakat…

2 bulan ago

Peran yang Tersisihkan : Kontribusi dan Peminggiran Etnis Tionghoa dalam Sejarah

Siapapun sepakat bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia tidak didominasi oleh satu kelompok berdasarkan…

2 bulan ago

Yang Diskriminatif adalah yang Jahiliyah

Islam melarang sikap diskriminasi, hal ini tercermin dalam firman Allah pada ayat ke-13 surat al-Hujurat:…

2 bulan ago

Memahami Makna QS. Al-Hujurat [49] 13, Menghilangkan Pola Pikir Sektarian dalam Kehidupan Berbangsa

Keberagaman merupakan salah satu realitas paling mendasar dalam kehidupan manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan…

3 bulan ago

Ketahanan Pangan dan Ketahanan Ideologi : Pilar Mereduksi Ekstremisme Kekerasan

Dalam visi Presiden Prabowo, ketahanan pangan menjadi salah satu prioritas utama untuk mewujudkan kemandirian bangsa.…

3 bulan ago