Narasi

Kearifan Lokal dan Arus Radikalisme Global

Pekan lalu, masyarakat Indonesia diramaikan dengan isu cadar di salah satu kampus negeri di Yogyakarta. Terjadi kontroversi, ada yang pro dan kontra terkait cadar itu. Terlepas dari kontroversi terkait cadar (niqob), ini bukti nyata bahwa gerakan radikalisme di dunia seringkali ditandai dengan identitas politik kelompok yang sangat kuat. Identitas itu dibangun dengan dasar ajaran agama, sehingga menjadi trend global yang menguatkan imajinasi gerakan global dalam membangun sebuah peradaban.

Identitas yang dibangun atas dasar ajaran agama melahirkan identitas gerakan transnasional. Mereka kemudian “mengafirkan” nilai-nilai kearifan lokal, karena diklaim bertentangan dengan ajaran agama. Cadar hanya sebatas contoh bagaimana pemahaman ajaran agama dimaknai secara tunggal, tanpa mengamati secara mendalam praktek kesejarahan dalam peradaban Islam.

Menurut Al-Makin (2018), cadar jelas politik ideologis, bukan agamis. Politik dengan makna ketertutupan, bahkan intoleransi, ketakwaan publik politis, yang juga sedang digoreng politisi (baik politik partai maupun politisi yang ingin kuasa dengan cara non konstitusional seperti  khilafah). Gerakan ini sistematis dan rapi, penuh rencana politik. Indonesia mulai tahun 1980-an terpengaruh jilbab panjang juga ideologi politis, pengaruh globalisasi revolusi Iran. Iran bergeser jilbabnya atau non-jilbab, tapi Indonesia masih menggoreng isu ini jadi makanan politik.

Arus radikalisme global selalu menghadirkan wajah ketertutupan dan intoleransi dengan dalih ajaran agama. Mereka mengklaim itu sebagai praktek ajaran Islam, tetapi justru itu menjadi mengingkari ajaran Islam itu sendiri.

Kearifan Lokal itu Spirit Kosmopolitan

“Di dalam kesejarahan umat Islam, ada suatu tradisi yang perlu kita warisi dan terus kita kembangkan. Tradisi ini telah berkembang berabad-abad lamanya, yaitu: watak penyerapannya yang tinggi atau yang sering disebut orang sebagai ekletik.”

Pernyataan ini ditegaskan oleh KH Abdurrahman Wahid dalam Majalah Aula, No. 5 Tahun VII, Mei 1985. Di sini, menurut Nur Khalik Ridwan (2017), Gus Dur memaknai ekletik sebagai watak tradisi umat Islam dengan “watak penyerapannya yang tinggi”. Maksudnya, penyerapan kaum muslimin terhadapat situasi, kondisi dan perkembangan kemajuan sejarah, tanpa kehilangan jatidiri sebagai umat Islam, sangat kuat dan tidak boleh diremehkan, untuk menciptakan kehidupan yang selaras dengan tradisi dan kemajuan.

Spirit Islam itu kemajuan, bukan ketertutupan. Islam selalu bisa menyesuaikan dengan khazanah kearifan lokal, karena kearifan lokal itu adalah kreasi anak manusia dalam membangun peradabannya. Lukman Hakim (2016) menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur, dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok diterima orang nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil ‘alamin.

Sedangkan Syaiful Arif (2013) menjelaskan bahwa pendapat Gus Dur terkait persebaran Islam di Nusantara. Pertama Pola Aceh yang menghadirkan Islam secara kultural dan dengan kultural itu lahirlah Islam yang kuat, didirikanlah kerajaan berbasis syariat. Kedua pola Minangkabau, yang mana sebelum datangnya Islam sudah ada hukum adat, hingga akhirnya terjadi perang Padri. Ketika pola Goa (Sulawesi Selatan), yang mana meskipun sebelum Islam telah ada hukum adat, Islam bisa seiring sejalan dengan adat. Dan pola keempat, pola Jawa. Di masyarakat Jawa telah ada aliran Kejawen sebelum kehadiran Islam. Maka kerajaan Mataram Islam mengakomodasi Kejawen dengan memberikan ruang bebas secara kultural.

Dari sini, watak Islam yang eklektik dalam menyerap kearifan dan tradisi lokal, bagi Nur Khalik Ridwan, dijadikan Gus Dur sebagai keunggulan Islam dalam membangun kosmopolitanisme peradaban. Hal ini, menegaskan kaitannya dengan Islam, perlunya memiliki wawasan yang luas dalam membicarakan dan memperjuangkan Islam, agar tidak menimbulkan penyempitan dan pendangkalan, yang menyebabkan timbulnya sunami penyumbatan keselarasan sosial dan gerak perkembangan-perkembangan yang ada.

Dengan sendirinya, watak eklektik atau kosmopolitan dari Islam dan umat Islam itu sendiri, mengandung di dalam dirinya adalah dinamis, dan geraknya sebagai dinamisasi yang terus menerus di tengah sistem sosial masyarakatnya. Oleh karena itu, kita dapat menemukan dari berbagai tulisan Gus Dur, istilah dinamisasi ini, dan bukan tajdid.

Kosmopolitan Islam itu menurut Gus Dur bertumpu pada moralitas dan nilai yang didasarkan pada 5 jaminan dasar yang harus dibela oleh agama Islam: hifzhun nafs (keselamatan fisik), hifzhud din (keselamatan keyakinan agama masing-masing), hifzhun nasl (keselamatan keluarga dan keturunan), hifzhul milk (keselamtaan hak milik dan properti), dan hifzhul mal (keselamatan harta benda pribadi dan kelompok).

Di sini, jejak peradaban keilmuan Islam sudah membuktikan, Gus Dur menegaskan bahwa kemampuan Umat Islam untuk menyerap yang terbaik secara dinamis itu terbukti sudah dilampaui. Hal ini seperti tampak dari sikap hidup seperti Imam Hanafi, Imam Syafi’i merupakan satu contoh dari sikap yang ekletik (kemampuan daya serap yang tinggi), kosmopolitan, kata orang sekarang.

Kalau kita mampu meletakkan Islam dalam pondasi yang eklektik, maka memandang wajah Islam adalah wajah yang ramah dan penuh kasih sayang (rahamatan lil’alamin). Apalagi kalau sudah sinergis dengan khazanah kearifan lokal sebagaimana yang terjadi di Indonesia, maka Islam mampu tampil dengan kekayaan tradisi yang membuat umat Islam begitu nyaman dalam beragama, berbangsa dan bernegara.

Gerakan radikalisme global mudah sekali “menyikat” tradisi dan kearifan lokal, sehingga menjadikan Islam kehilangan spirit rahmatnya. Dalam konteks ini, maka menguatkan kembali spirit Islam yang eklektik sebagaimana dilakukan oleh para Imam Mazhab, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Al-Syafi’i, akan menjadikan Islam bergerak pada peradaban ilmu, sekaligus mengikis habis bibit radikalisme yang selalu mengatasnamakan ajaran Islam.

Muhammadun

Pengurus Takmir Masjid Zahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul. Pernah belajar di Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari, Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

20 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago