Narasi

Kearifan Lokal Menangkal Ideologi Transnasional

Di dunia yang semakin menyempit ini, ideologi transnasionalis merupakan salah satu ancaman yang harus diwaspadai. Transnasionalisme, seperti didefinisikan oleh Basch dkk (1994) adalah sebuah proses saat para migran, melalui kehidupan sehari-harinya, menciptakan ladang sosial yang melintasi batas-batas nasional. Tentu saja, tidak semua transnasionalisme berbahaya. Ada yang bermanfaat, tetapi ada juga yang merusak. Salah satu idelogi transnasionalis yang merusak adalah paham keagamaan radikal yang melihat dunia secara hitam-putih. Pihak lain yang dipandang tidak sepakat dengan pemahamannya dianggap sebagai pihak yang berlawanan. Jika pandangan seperti ini dibiarkan masuk ke Indonesia, berpotensi menimbulkan huru-hara. Maka perlu ditangkal sedini mungkin.

Kearifan Lokal

Salah satu yang bisa menangkal ideologi transnasional adalah memperkuat kearifan lokal bangsa ini. Sebab kearifan lokal merupakan konsep yang lahir dan dikembangkan oleh masyarakat terkait pandangan hidupnya. Di Indonesia, mustahil menghitung berapa banyak kearifan lokal yang dimiliki bangsa ini. Sebagai bangsa yang sangat majemuk, setiap daerah memiliki tradisi lokalnya masing-masing. Belum lagi jika daerah tersebut dihuni oleh komunitas yang sangat beragam. Perbedaan pandangan hidup dan masalah yang dihadapi menjadikan tradisi lokal bermacam-macam. Di pulau Jawa saja ada orang sunda, badui, jawa, dsb. Belum lagi di pulau Sumatera (ada batak, padang, dsb) dan pulau-pulau lainnya. Keanekaragaman local wisdom ini memiliki nilai strategis untuk mengokohkan jati diri bangsa indonesia. Terlebih belakangan semakin banyak ancaman, baik dari dalam maupun luar, yang menggerogoti bangsa ini. Oleh karena itu kearifan lokal bangsa kita harus terus dikembangkan dan dilestarikan.

Kasikam (2010-2011: 65) menjelaskan kearifan lokal biasa  juga disebut tradisi atau pengetahuan lokal. Kearifan lokal merujuk pada warisan tradisional yang berharga. Pengetahuan ini ditransmisikan dari generasi ke generasi dalam komunitas lokal atau kelompok. Kearifan lokal bisa memiliki aspek religius, spiritual, maupun kosmologis. Transmisi kearifan lokal merupakan salah satu strategi untuk eksistensi kelompok itu. Dan hilangnya kearifan lokal berarti hilangnya kepercayaan dan penghargaan atas diri sendiri. Dari penjelasan ini bisa disimpulkan kearifan lokal merupakan ruh dari masyarakat lokal. Ruh yang menjadi pedoman masyarakat bersikap dan bertingkah laku. Pengabaian atas kearifan lokal akan berpotensi mengganggu keseimbangan hidup di masyarakat. Kearifan lokal ini harus dijaga dan dipelihara agar tidak tandas.

Poin penting yang perlu ditegaskan, kearifan lokal tidak bersifat statis. Dia terus-menerus melakukan dialog dengan perubahan yang terjadi sehingga bersifat dinamis. Selain itu, kearifan lokal pun bisa diciptakan. Generasi saat ini memang mendapatkan warisan pengetahuan lokal dari generasi sebelumnya, tetapi generasi sekarang pun bisa membuat pengetahuan lokal baru yang bisa diturunkan kepada generasi selanjutnya. Proses reproduksi pengetahuan lokal harus berjalan terus-menerus sehingga selalu kontekstual dan relevan untuk menjawab tantangan zaman yang kerap berubah.

Banyak sekali kearifan lokal yang dimiliki satu daerah. Dan sering juga ditemui kearifan lokal satu daerah juga ditemukan pada daerah lainnya. Contohnya di Yogyakarta. Di wilayah ini ada tradisi lokal yang bernama rewang. Secara sederhana rewang diartikan sebagai orang yang membantu. Saat ada anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan (seperti saat pernikahan, kematian, dsb), maka tetangga sekitar akan datang ke rumah orang yang membutuhkan bantuan. Secara ikhlas rewang ini membantu beragam keperluan tuan rumah. Kaum pria biasa membuatkan tenda, menata kursi, memasang sound system, memberi pengumuman, dsb. Sementara kaum wanita membantu memasak atau mengantar makanan (ter ter) ke tetangganya.

Rewang secara langsung maupun tidak langsung bermanfaat untuk menangkal ideologi transnasionalis yang mulai masuk ke kampung-kampung. Dengan rewang, masyarakat mengetahui siapa saja yang menjadi tetangganya. Selain itu, jika ada masyarakat yang mulai berperilaku aneh, maka bisa dikontrol melalui mekanisme hukuman sosial. Sebab biasanya mereka yang pikirannya sudah dimasuki ideologi menyimpang akan bersikap tertutup dan tidak mau bergaul dengan sesama. Nah, saat masyarakat mulai mengetahui gejala ini, maka bisa dilakukan langkah antisipasi agar paham transnasionalis tersebut tidak menyebar di masyarakat.

Selain rewang, ada juga tradisi jimpitan. Setiap kepala keluarga menaruh uang receh di depan rumahnya setiap hari. Jumlah yang ditaruh pun hanya sedikit. Sekitar Rp 100-500 (tergantung kesepakatan). Dan uang hasil mengumpulkan jimpitan ini akan digunakan untuk kepentingan warga. Mereka yang mengambil uang jimpitan setiap malam merupakan kelompok ronda yang telah dijadwal. Hasil pengumpulan ini akan dilaporkan pada pertemuan bulanan warga. Jika diperhatikan, jimpitan bermanfaat untuk mendata masyarakat sekaligus mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Warga menjadi tahu, apakah ada orang asing di wilayahnya atau tidak (juga aktivitas yang dilakukan setiap warganya). Jimpitan menjadi saran sederhana yang efektif untuk menghindari penyusup yang memiliki niat jahat. Termasuk menghindari diri dari kelompok-kelompok teroris yang merencanakan aksinya.

Ada juga acara kumpulan warga. Biasanya dilakukan setiap bulan berdasarkan kalender jawa. Setiap kepala keluarga wajib menghadiri kegiatan ini. Agenda yang dibahas menyangkut kepentingan warga (seperti rencana memperbaiki jalan, kondisi sosial di masyarakat, dsb). Selain ajang sosialisasi, kumpulan bermanfaat mengetahui seluruh warga terbaru. Sebab mereka yang hadir akan didata dengan cermat.  Faedahnya mirip dengan tradisi sebelumnya, bisa mengontrol komunitasnya dari infiltrasi orang-orang yang memiliki niat tidak baik (seperti kelompok pengagum ideologi transnasionalis yang mengajarkan anti NKRI). Dengan penguatan kearifan lokal di berbagai wilayah, maka ideologi transnasionalis tidak akan bisa berkembang. Sebab masyarakat sudah paham, bahwa hal tersebut tidak bermanfaat untuk disebarkan di Indonesia.

This post was last modified on 12 Maret 2018 11:18 AM

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

13 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

14 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

14 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

14 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago