Akhir-akhir ini diskursus mengenai kebhinnekaan menjadi kajian menarik untuk dibicarakan. Pasalnya, meskipun kita telah sepakat menjadi bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika, tapi masih ada kelompok-kelompok radikal yang menggugat kesepakatan tersebut dan ingin mengganti dengan system khilafah yang penuh perdebatan. Bahkan, ironinya kebhinnekaan dimanfaatkan sebagai ajang adu domba antar-warga negara dan antar-umat beragama. Oleh karenanya, pemahaman mengenai makna kebhinnekaan menjadi hal penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia.
Bhinneka Tunggal Ika
Bhinneka Tuggal Ika sebenarnya merupakan semboyan dalam bahasa sansekerta milik Mpu Tantular. Sebagai pemilik semboyan, ia telah dengan tegas menyatakan bahwa masing-masing kebenaran memiliki jalannya sendiri. Dalam uraiannya, ia menyatakan:
Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ing Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Yang kemudian oleh DR. Soewitp Santoso dalam Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana (1975) diartikan:
Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
Dari sini, jelas bahwa hakikat dari kebhinnekaan adalah satu. Artinya, dalam perbedaan tidak mengenal konsep mayoritas dan minoritas. Dalam perbedaan, hanya dikenal rasa saling mengasihi dan menghormati. Karena, berbeda bukanlah sebuah kesalahan, tapi berbeda adalah rahmat agung Tuhan dalam membangun sinergi dan solidaritas kemanusiaan
Hanya saja, harus dipahami, isu kebhinekaan yang digaungkan akhir-akhir ini terasa direduksi maknanya menjadi semata-mata melindungi hak-hak minoritas tanpa menghormati hak-hak mayoritas. Biasanya, laim-klaim sepihak tentang kebhinekaan adalah cara termudah untuk mengasosiakan diri dengan hal tersebut. Tapi yang sulit adalah membuktikannya pada sikap dan perilaku di kehidupan nyata. Kebhinekaan terawat bukan karena klaim-klaim sepihak tetapi karena adanya sikap jujur, terbuka, tanggungjawab, dan berpihak kepada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat.
Modal Sosial Bangsa
Kita telah memahami bersama bahwa kebhinekaan Indonesia merupakan takdir yang tak dapat diingkari. Maka tak sepatutnya kebhinekaan ini dikoyak-koyak oleh kekerasan verbal yang melukai rasa persatuan bangsa. Semangat menghormati kebhinekaan dan persatuan bangsa adalah modal sosial bangsa yang wajib kita jaga bersama. Semua tindakan yang menodai kebhinekaan oleh siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan posisi jabatannya, maka harus diperlakukan yang sama di depan hukum (equality before the law).
Dalam hal ini, ada tiga modal sosial bangsa yang bisa menjadi penompang hal tersebut (Sohibul Iman, 2016). Pertama, Sense of Belonging yakni rasa saling memiliki sebagai bangsa. Semua harus merasa memiliki NKRI, jangan ada yang tidak merasa memiliki. Di sisi lain, jangan pernah ada yang mengklaim bahwa ia satu-satunya pewaris sah republik ini.
Bangsa ini lahir atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Dalam benak kita semua harus tertanam kuat bahwa bangsa ini adalah milik semua anak bangsa: dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Bangsa ini bukan hanya milik suku dan agama tertentu, tapi merupakan milik semua suku dan agama yang diakui di Indonesia.
Kebhinekaan tercermin ketika kelompok mayoritas mampu mengayomi minoritas, dan disaat yang sama kelompok minoritas juga bisa memposisikan diri mereka dan menghormati kelompok mayoritas. Rasa saling memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni, karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dilandasai oleh rasa saling memiliki atas bangsa ini.
Kedua, Sense of Togetherness yakni rasa kebersamaan sebagai sesama anak bangsa yang sama-sama cinta kepada tanah airnya. Bangsa ini sangat majemuk. Bangsa ini terdiri dari belasan ribu pulau, ratusan bahasa daerah, ribuan suku bangsa, beberapa agama dan kepercayaan. Bahkan bukan hanya majemuk, tapi juga terfragmentasi dan tersegmentasi.
Adalah sebuah Sunnatullah bahwa untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling bekerjasama atau gotong royong. Kita tidak bisa membangun Republik ini sendirian hanya melibatkan golongan dan kelompok tertentu saja tanpa bantuan dan kerjasama dengan berbagai elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berkembang hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin.
Terakhir, Trustworthiness yakni rasa saling percaya diantara seluruh komponen bangsa. Pada tingkat gagasan kita harus saling percaya bahwa semua warga Indonesia memiliki niat baik untuk bangsanya dengan caranya masing-masing. Namun, pada tingkat tindakan kita harus membuktikannya dengan melihat sepak terjang dan perilakunya apakah niat baik itu benar-benar ditunjukkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika terbukti ada niat jahat, maka semua wajib mencegah dan menghentikannya.
Sebagai penulis, saya meyakini apabila kebhinnekaan dipegang erat dengan tiga modal social ini, niscaya akan tercipta Indonesia damai dan tidak terpecah belah, serta bergotong-royong menyongsong Indonesia maju dan beradab. Wallahu a’lam.
This post was last modified on 29 September 2017 2:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…