Narasi

Kembali ke Khittah Sumpah Pemuda: Merajut Ideologi yang Terpecah

Rekonstruksi yang dibangun oleh para pemuda Indonesai pada tahun 1928, menjadi bukti bahwa mereka memang benar-benar berjiwa nasionalis dan memiliki world view kebangsaan yang matang. Pada tahun-tahun tersebut, masihlah sangat terbatas informasi, literatur atau pandangan mengenai bentuk dan konsep negara, masih terbilang asing bagi para pemuda. Apalagi Indonesia, secara geografis jauh dari peradaban negara maju, Eropa dan Amerika misalnya. Sehingga untuk transfromasi peradaban sangat sulit. Kala itu, hanya sedikit pemuda yang mengalami pendidikan yang bagus, seperti Sukarno dan kawan-kawannya, yang mendapat beasiswa kuliah di Belanda.

Walaupun dengan literasi yang cukup sedikit itu, para pemuda mempunyai gagasan yang kuat, bagaimana membentuk konsep negara yang tepat bagi bangsa Indonesia ini. Sehingga terbentuklah Sumpah Pemuda, yang bisa dikatakan sebagai cikal bakal terciptanya Pancasila dan UUD ’45 sebagai pondasi dasar negara Indonesia.

Secara ideologi, Sumpah Pemuda mampu menampung keberagaman bangsa Indonesia. Saya yakin, bahwa penggalian tentang esensi Sumpah Pemuda, diambil dari culture bangsa Indonesia sendiri. Hal itu bisa dilihat bagaimana Sumpah Pemuda memiliki semangat persatuan, menjunjung tinggi toleransi, dan kecintaannya terhadap Ibu Pertiwi.

Tiga nilai dalam Sumpah Pemuda; penegasan terhadap tanah air Indonesia, penegasan terhadap kebangsaan Indonesia, serta penegasan terhadap bahasa persatuan (Bahasa Indonesia), sebagai bukti bahwa mereka walaupun dengan latar belakang yang beragam, agama dan suku yang beragam, berhasil mencapai titik pemersatunya. Setelah itu, mereka tuangkan dalam Sumpah Pemuda, yang menjadi basis landasan mereka berjuang merebut kemerdekaan, dan akhirnya berhasil membentuk negara yang sesuai dengan esensi dari Sumpah Pemuda tersebut. Yakni, Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemuda Sekarang, Tersesat dalam Arus Budaya Luar

Globalisasi yang begitu cepat tersebar ini, telah berhasil merubah kultur bangsa Indonesia, terutama kalangan pemuda. Setiap harinya, kebanyakan dari mereka, sibuk main HP tanpa ada usaha untuk perbaikan keilmuan dan penambahan literasi. Jadinya, ketika ada isu-isu yang yang lagi viral, langsung terprovokasi sehingga acapkali melakukan ‘anarkisme’ di media sosial maupun dunia nyata. Dalam Bahasa jawa, hal tersebut sering dikatakan gumunan.

Apalagi dengan sekarang ini, ideologi-ideologi ‘impor’ dengan gencarnya masuk ke Indonesia. Sebutlah HTI—organisasi asal Timur Tengah—dengan jargon Pemuda Hijrah-nya. Framing dan kampanye Pemuda Hijrah di media sosial, benar-benar mendapat penonton dan followers yang banyak. Bahkan, sekali unggah di Youtube, videonya berjuta-juta viewers.

Hal itu berpengaruh terhadap ideologi dan pola pikir mereka. Arus utama yang diangkat Pemuda Hijrah, adalah pembekalan dasar-dasar ilmu agama Islam ala HTI. Menjadi masalah tersendiri bagi Pemerintah Indonesia. Bagaimana tidak? Islam ala HTI menggelorakan khilafah sebagai sistem kenegaraan yang paling sesuai. Bagi HTI, semua sistem pemerintahan selain khilafah, tidak cocok dan menyengsarakan umat Islam. Oleh karena itu, Pemuda Hijrah berhasil menanamkan indoktrinisasi kepada para ‘pemuda’-nya, sehingga, tergaung-gaungkan oleh mereka pemujaan terhadap khilafah dan ajakan untuk bughot—melawan negara—yang sangat megancam kedaulatan bangsa.

Selain Pemuda Hijrah, kawula muda juga terserang virus westernisasi. Kehidupan ala Barat, menjadi tren di sebagian generasi muda. Dari cara berpakaian, pola hidup, sampai tren makanan pun ikut terpengaruhi.

Dari segi ideologi, pangaruh dari Barat cenderung pada filosofi hidup dengan free will, free act—bebas berkeinginan, bebas bergerak—yang pada keselanjutannya, akan mengancam nilai luhur bangsa. Dengan alur pemikiran ala Barat, maka generasi muda akan menganut ideologi liberalisme yang tidak mengindahkan khazanah dan kultur bangsa. Parahnya lagi, pemuda yang telah masuk ke jurang liberalisme, akan membuat ‘benturan’ budaya di masyarakat, dan dipastikan akan terjadi kegaduhan.

Khittah Sumpah Pemuda, Solusi Membentuk Pemuda yang Nasionalis

Sejatinya, esensi dari Sumpah Pemuda, lebih kepada bagaimana bangsa ini mengenal, menjaga, dan menghormati identitas kebangsaannya. Ini sangat penting. Menurut Moh Yamin, jika suatu bangsa tidak memiliki ciri khas bahasa, maka hilanglah sudah identitas bangsa tersebut. Bahasa suatu bangsa adalah simbol, pengenal, dan ciri khas, yang menjadi pondasi dasar bagi setiap bangsa untuk membangun nasionalisme.

Pengenalan dan penerapan esensi dari Sumpah Pemuda, menjadi wajib dilakukan kepada generasi muda zaman ini. Sumpah Pemuda, semacam menjadi benteng bagi para pemuda, agar tidak terbawa arus pemikiran dan budaya luar. Tetap berpegang terhadap nilai luhur bangsa.

Sebenarnya, para pemuda yang mengambil tren-tren budaya luar, memiliki beberapa alasan. Pertama, tidak puas dengan budaya sendiri. Maksudnya, bagi para pemuda tersebut, budaya luhur bangsa dianggap terlalu kuno, kurang stylish. Kedua, budaya luhur bangsa bertentangan dengan ideologi yang mereka ambil. Semisal nih, bagi Muslim konservatif, setiap budaya bangsa dianggap bid’ah dan bertentangan dengan agamanya. Maka hal-hal itu harus ditinggalkan.

Ketiga, budaya luhur bangsa dianggap tidak relevan lagi. Para pemuda yang menganggap budaya luhur bangsa sudah tidak relevan, maka akan mengambil tren-tren budaya luar yang sekiranya aplikatif dengan zaman ini.

Dalam pengamatan saya, para pemuda yang masuk dalam tiga term di atas, sebenarnya kurang literasi mengenai sejarah bangsa ini. Jika mereka paham akan sejarahnya, maka tetaplah mereka mecintai khazanah luhur bangsa tersebut.

Atau, bisa juga dalam kurikulum pendidikan, materi-materi yang berfokus pada nasionalisme, belum tercantum dalam modul mata pelajarannya. Atau, missal pun ada, barangkali guru-guru yang menjelaskan materi tersebut belum mampu menerangkannya dengan baik dan benar.

Saya kira, dengan edukasi dan sosialisasi oleh pemerintah maupun tokoh-tokoh masyarakat tentang nilai-nilai Sumpah Pemuda, menjadi awal pembentukan jiwa nasionalisme mereka. Nasionalisme, bisa tertanam dengan kuat jika mereka tahu seluk beluk sejarah dan mengerti bahwa bangsa, negara, serta tanah airnya, adalah pusaka yang suci dan tiada batas harganya.            

Dimulai dengan sosialisasi yang baik, kemudian berlanjut pada ‘pendampingan’ ideologi kawula muda, setelah itu dengan sendirinya mereka akan menjadi seorang yang nasionalis. Di situlah, dengan kembali pada khittah Sumpah Pemuda, merawat ideologi para pemuda agar tetap nasionalis dan menjaga khazanah budaya luhur bangsa.

This post was last modified on 5 November 2020 11:51 AM

Slamet Makhsun

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago