Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada Kongres Pemuda II (27-28 Oktober 1928) merupakan puncak dari konsolidasi anak bangsa dalam menyatukan perspektif antikolonialisme. Jauh sebelumnya, organiasi Boedi Oetomo telah meletakkan dasar-dasar kesadaran kebangsaan. Namun demikian, perjuangan kemerdekaan masih terkotakkan oleh sentimen perbedaan identitas agama, suku, budaya dan agama. Sumpah Pemuda yang menegaskan tumpah darah satu, tanah air satu, bangsa satu dan bahasa satu, yakni Indonesia menegaskan komitmen bersama bahwa gagasan antikolonialisme harus melampaui sekat perbedaan identitas.
Narasi persatuan dalam melawan penjajah ini penting lantaran kala itu Belanda gencar menerapkan politik adu domba atau devide et impera untuk melemahkan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Belanda yang paham betul kondisi sosiologis masyarakat Indonesia berusaha mempertebal garis perbedaan di tengah masyarakat. Alhasil, masyarakat pun terpecah ke dalam berbagai kelompok kecil yang berbeda baik secara agama, suku, budaya maupun kelas sosial. Deklarasi Sumpah Pemuda berusaha menganulir politik adu domba itu dengan melahirkan identitas keindonesiaan. Terbukti, pasca deklarasi Sumpah Pemuda, arah perjuangan kemerdekaan menjadi lebih solid.
Kini sudah 92 berlalu sejak ikrar Sumpah Pemuda pertama kali digelorakan dan sampai hari ini kita terus memperingatinya saban tanggal 28 Oktober. Peringatan itu kiranya bisa menjadi momentum untuk merefleksikan perjuangan para pemuda angkatan ’28 dalam melakukan konsolidasi arah perjuangan kemerdekaan. Di masa itu, para pemuda telah memiliki kesadaran kebangsaan dan imajinasi antikolonialisme yang kuat sehingga bisa berhimpun dan merumuskan sebuah cara pandang baru yang relevan dengan persoalan yang dihadapi. Lantas, bagaimana dengan generasi muda zaman milenial ini?
Dalam konteks sekarang, tantangan yang kita hadapi memang bukan lagi kolonialisme atau penjajahan manusia atas manusia lain. Zaman modern menghadirkan tantangan yang jauh lebih kompleks. Salah satunya ialah munculnya fenomena yang membahayakan eksistensi negara. Di antaranya ialah menggejalanya praktik intoleran, hingga munculnya benih radikailsme-terorisme berkedok agama yang masif di tengah masyarakat. Kaum radikal tersebut, berusaha menyebarkan pandangan keagamaan eksklusivistik, bahkan menggulirkan agenda perubahan bentuk dan dasar negara. Di titik ini, spirit Sumpah Pemuda sebagai fase konsolidasi idealnya kita teladani di masa sekarang. Jika di masa lalu, konsolidasi itu berkaitan dengan perlawanan terhadap kolonialisme, maka hari ini konsolidasi itu diperlukan untuk menjaga NKRI dan Pancasila dari radikalisme.
Konsolidasi melawan radikalisme bisa dilakukan dengan berbagai tahap. Antara lain, pertama menyatukan persepsi masyarakat bahwa ideologi atau paham radikal ialah sesuatu yang berbahaya bagi keutuhan bangsa dan negara. Menyatukan pandangan ini begitu penting karena di sebagian masyarakat masih ada anggapan bahwa radikalisme ialah perjuangan atas nama agama. tidak sedikit masyarakat, bahkan kalangan anak muda yang belum memahami betul apa bahaya radikalisme sehingga masih permisif menyikapi penyebarannya.
Langkah kedua ialah menjalin sinergi antarkelompok masyarakat sipil dalam menumbuhkan kesadaran bersama ihwal kebinekaan dan persatuan bangsa sekaligus membangun kesiapsiagaan menghalau ideologi radikal. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dengan segala latar belakangnya diharapkan bisa membentuk jejaring komunikasi yang intensif untuk melahirkan narasi-narasi kontraradikalisme dan menebarkan pesan-pesan kebangsaan. Terakhir, pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi urusan kenegaraan hendaknya mampu memobilisasi segenap kekuatan untuk menghalau setiap ancaman yang dihadirkan oleh paham radikal. Konsolidasi melawan radikalisme ini penting lantaran perjuangan menghalau radikalisme selama ini belum terkonsolidasi dan cenderung masih berjalan sendiri-sendiri. Konsolidasi terutama antara pemerintah dan masyarakat sipil terkait pemberantasan radikalisme dan terorisme mutlak diperlukan saat ini. Di satu sisi, pemerintah dengan kekuatan koersifnya bisa menggunakan kekuatan militer dan piranti hukum untuk memberantas radikalisme. Di sisi lain, organisasi kemasyarakatan bisa mengedepankan pendekatan sosial dan budaya untuk mengatasi akar persoalan terkait radikalisme-terorisme. Konsolidasi ini kiranya akan memudahkan kita menganulir setiap manuver kelompok radikal dan menjaga marwah NKRI tetap terjaga.
This post was last modified on 30 Oktober 2020 5:01 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…