Keagamaan

Kerahmatan Islam Lintas Batas

Beberapa bulan yang lalu, dunia perfilman Indonesia dikejutkan oleh film Bulan Terbelah di Langit Amerika yang diangkat dari novel besutan Hanum Salsabiela Rais dan suaminya, Rangga al-Mahendra. Dalam film itu dikisahkan peristiwa hancurnya Menara Kembar WTC di New York pada 11 September 2001 karena dihantam pesawat American Airlines dan United Airlines.

Ada hal luar biasa yang perlu diketahui dari balik kejadian itu, yakni saat Ibrahim Hussein, seorang muslim Amerika, bersusah payah menyelamatkan nyawa seorang yang belum dikenalnya, yaitu Philipus Brown. Ia seorang miliuner suatu frima investasi dari New York. Nahasnya, Ibrahim tak bisa menyelamatkan dirinya sendiri dalam tragedi memilukan itu.

Kejadian ini menunjukkan, Ibrahim telah berbuat baik, yakni menolong tanpa memandang siapa yang akan ditolong. Sejalan dengan ini, Gus Dur berkata: “Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, maka orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Berbuat baik semestinya bukan atas dasar keislaman, melainkan atas dasar kemanusiaan, karena setiap manusia memilik hak yang sama; hak untuk dilindungi, dihargai dan dihormati.

Dalam pengakuan Philipus Brown, Ibrahim telah mengajarinya bahwa Tuhan tak akan mengandaskan impian hamba-Nya begitu saja. Tuhan tak akan menaruh kita dalam kesulitan yang tak terperi tanpa menukarnya dengan kemulian di masa yang akan datang. Dalam Qs. al-Maidah: 2, Allah Swt berfirman: “Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” Dari firman ini kita dapat memahami bahwa manusia harus saling tolong-menolong untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, baik kepada orang yang seiman maupun tidak.

Poin yang bias diambil dari kisah itu adalah, bahwa Ibrahim telah mengenalkan agamanya dengan baik kepada dunia. Ia berhasil menjadi muslim yang baik. Saat Islam di-negative-streotype-kan sebagai agama kekerasan karena perilaku oknum-oknum tertentu yang mengatasnamakan Islam, kisah ini telah membuktikan agama yang dibawa Muhammad itu agama yang ramah, penuh ajaran damai bagi seluruh semesta alam.

Bahkan dalam kisahnya, Philipus Borwn menegaskan jika masih ada yang berpikir dunia ini lebih baik tanpa Islam, maka mereka lah teroris yang sebenarnya. Kejadian 9/11 mengubah cara pandang Philipus Borwn. Usai tragedi yang merenggut ribuan nyawa tak berdosa itu, ia menjadi dermawan. Ia banyak berbagi pada anak-anak korban perang di Suriah.

Dalam buku The Great Wisdom From The Great Thinkers, Aasif Mandvi menuturkan, Islam telah dibajak oleh pemikiran bahwa semua muslim itu teroris, Islam itu agama perang dan pedang. Padahal, tidak ada ajaran kekerasan ataupun kebencian dalam kitab suci apapun, baik kitab suci umat Islam, Kristen, Hindu, Budha dan yang lainnya. Hanya saja, tak semua ajarannya diwujudkan dengan baik oleh penganutnya.

Islam itu berkarakter rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana dijelaskan dalam Qs. al-Anbiya: 107:“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam sebagai agama rahmat yang menebarkan kasih sayang dan kedamaian seharusnya menjadi acuan bagi setiap perilaku umatnya. Jika semua umat beragama umumnya, dan umat muslim khususnya, dapat memahami dengan baik dan berperilaku sesuai ajaran agamanya, maka alangkah damai dan sejahteranya dunia ini.

Namun sudahkah demikian? Tentu kita pun tak bisa menutup mata dan pendengaran kita dari berita-berita yang kian marak di Indonesia, khususnya tentang perbuatan-perbuatan radikal, pembunuhan, bom, bahkan terorisme. Ironisnya, kelompok-kelompok ini bertindak atas nama Islam. Inilah yang dimaksud oleh Agus Mustofa dalam bukunya Membonsai Islam, bahwa Islam dibonsai oleh umatnya sendiri.

This post was last modified on 13 Mei 2016 9:28 AM

Cahyati

Santri di Ponpes Qothrotul Falah, Lebak, Banten. Meraih Beasiswa Bidik Misi 2015 dan kini tercatat sebagai mahasiswa di Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Institute Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanudin Banten. Ia juga aktif di berbagai komunitas dan kegiatan, antara lain; Triple Ing Community (Triping.Com), Pondok Baca Qi Falah, Radio Qi FM 107.07, www.qothrotulfalah.com, Bulletin Qi Falah, QF Multimedia, Crew Documentary Film, kommunitas Jurnalistik, HMJ, dll. Karya-karyanya, antara lain: Renungan Santri: Esai-Esai Seputar Problematika Remaja (Penulis: Pustaka Qi Falah, 2014), Rumah Kita: Catatan Santri Qothrotul Falah (Penulis & Editor: Pustaka Qi Falah, 2015), dll.

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

2 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

5 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

5 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

1 hari ago