Narasi

Khalifah fi al-Ardhi dan Diri-Diri yang Terkebiri

Gustavo Gutierrez, Hasan Hanafi, Farid Esack, adalah beberapa nama pemikir dan aktifis yang pernah melambungkan apa yang dikenal sebagai “teologi pembebasan” (liberation theology). Memang sumbangsih Karl Marx sangat besar di sini, paling tidak ia menginspirasi sejumlah intelektual untuk memandang tauladan dan tradisi keagamaan yang dianutnya secara dinamis.

Di hari ini tak usah jauh-jauh mengulik masalah ketakadilan ekonomi dan sosial untuk sekedar melihat upaya sistematis untuk mengebiri kedirian. Dalam pergaulan sehari-hari misalnya, banyak kita jumpai kejadian-kejadian yang menurut ukuran orang normal dapat membuat marah. Tapi trendsetting “memilih goblok” rupanya lebih memikat banyak orang dan memandang semua itu sebagai sebentuk kewajaran (Habitus II: Musik Sebagai Sebentuk Deradikalisasi, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net).

“Memilih goblok” (dan mempopulerkan “orang-orang goblok”) adalah salah satu karakteristik dari apa yang pernah saya sebut sebagai populisme kanan. Seandainya mau menyelami apa yang sesungguhnya terjadi di masyarakat adalah sebentuk penyalahkaprahan agama untuk mengebiri diri demi kepentingan lainnya.

Tak usah kita bicara tentang leadership di sini, sebab konsep kepemimpinan yang berkarakter telah dibunuh sejak beberapa tahun lalu. Tak usah pula berbicara tentang kanjeng nabi Muhammad sebagai teladan terbaik soal kepemimpinan, sebab sikap kritis dan kesadaran akan hak-hak sudah dininabobokkan atas nama pseudo spiritualism tertentu (“Bertolak Dari yang Ada,” Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net).

Baca Juga : Merajut Simpul-simpul Ukhuwah yang Tengah Pecah

Spiritualitas semu yang saya sematkan pada gerakan-gerakan spiritualitas mutakhir itu pernah saya lacak dan tak satu pun terdapat pada paham maupun praktik-praktik spiritualitas yang sudah lama berkibar (Nusantara dan Batas Imajinasi Sebuah Bangsa, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net, Habitus: Akar Radikalitas Dalam Perspektif Sufisme, Heru Harjo Hutomo, www.jalandamai.net, Muhammad, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net, Membidik Tanpa Hardik, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org, Temali Sang Mahayogi, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id, Akumu Adalah Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com, Kawruh, Matahari dan Rembulan Kemanusiaan, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera,com). Sehingga saya pun patut berkesimpulan, adakah gerakan-gerakan spiritualitas semu semacam ini hanyalah tingkat lebih lanjut—karena sudah berupa mindset dan kebiasaan—dari gerakan teroris IS (Hikayat Binatang Beragama, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.net dan Parasit dan Nasionalisme Masturbasif,” Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com)?

Berkaca pada suri tauladan terbaik bagi seorang muslim, kanjeng nabi Muhammad, yang saya kira juga tak bertabrakan dengan spiritualitas lainnya yang berakar pada budaya-budaya lokal, transformasi diri terbaik manusia sebagai pemimpin di atas Bumi (khalifah fi al-ardhi) adalah berpuncak pada dirinya. Ia adalah seorang role model bagi segala keseimbangan. Ada sebuah riwayat yang saya ingat ketika para sahabat, setelah mendapat pencerahan dari putra Abdullah itu, berupaya secara ekstrim untuk menolak dunia dan segala gebyarnya. Ada yang sampai ingin menceraikan isterinya dan bahkan mengebiri kelaminnya sendiri untuk total berpaling pada Tuhannya. Atas niatan itu, nabi Muhammad pun melarangnya dengan keras.

Memang, adakalanya, kondisi psikologis orang-orang amatiran mudah untuk terjatuh pada fanatisme ataupun ekstrimisitas. Ghirah yang terlalu menggebu dan tanpa didukung oleh ilmu serta wawasan yang memadai akan menyebabkan tertutupnya nalar dan kesadaran, sehingga agama yang semulanya bertujuan untuk memanusiakan manusia (sampai mencapai tipe ideal khalifah fi al-ardhi) dapat menjelma malapetaka. Radikalisme dan terorisme berkedok agama adalah salah satu output dari fenomena jiwa-jiwa amatiran tersebut.

Ada satu hikmah dari al-Hikam tentang bagaimana membuat jiwa-jiwa amatiran untuk tak tumbuh dan mengontrol keadaan: istiqamah. Bahwa segala sesuatu, meski sedikit tapi dilakukan secara konsisten, adalah lebih efektif dan konstruktif daripada banyak tapi dilakukan secara menggebu dan membabibuta.

Itulah kenapa Ibn ‘Athaillah al-Sakandari mengatakan bahwa istiqamah lebih mulia daripada 1000 karamah. Buah istiqamah dalam olah spiritualitas itu adalah 7 jenjang pada rahim Ibu yang perlu diingat dan dicari kembali dengan jalan agama maupun spiritualitas yang dapat dipertanggungjawabkan ketika manusia berada pada rahim alam. Demikianlah sari pati konsep insal kamil sebagai khalifah fi al-ardhi yang tersirat pada sepenggal ayat “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” (sangkan-paraning dumadi).

This post was last modified on 7 Januari 2020 8:25 AM

Heru harjo hutomo

View Comments

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

2 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

2 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

2 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

2 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

2 minggu ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

2 minggu ago