Narasi

Khalifah untuk Kesejahteraan dan Perdamaian

Kata “khalifah” yang dalam bahasa Indonesia sering diartikan “pemimpin” ada sejak sebelum manusia ada. Bahkan secara gamblang, Allah SWT menyebutkan kata “khalifah” pada saat “musyawarah” kepada malaikat saat akan menciptakan manusia pertama (baca: Adam). Kisah ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an sebagaimana ayat berikut:

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata, ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman, ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 30).

Selain menunjukkan bahwa kata “khalifah” sudah ada semenjak sebelum manusia pertama diciptakan, ayat ini mengandung beberapa makna, yang salah satunya adalah pandangan malaikat tentang sifat kebinatangan manusia serta kepercayaan berikut potensi besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia untuk mengelola bumi berikut isinya dengan baik.

Amanah besar yang diberikan Allah SWT kepada manusia ini dalam rangka penjagaan alam semesta sehingga bisa harmonis tanpa adanya kerusakan dan kekacauan. Kekhalifahan menuntut manusia satu dengan yang lainnya saling menghormati dan menebar kedamaian. Dengan adanya kekhalifahan diharapkan akan mempermudah ikatan persaudaraan sehingga antara si kaya dan si miskin saling bisa hidup bersama tanpa ada yang kelebihan makan sementara tetangganya tidak memiliki makanan. Dengan adanya kekhalifahan diharapkan kesejahteraan dan perdamaian terjamin di bumi ini.

Baca Juga : Khalifah fi al-Ardhi dan Diri-Diri yang Terkebiri

Helmi (2018) menulis bahwa kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sesuai dengan petunjuk-petunjuk Allah yang tertera dalam Al-Qur’an. Prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama.

Artinya apa? Seorang yang dijadikan khalifah mesti berinteraksi dengan orang-orang yang memiliki kompetensi di bidang masing-masing. Seorang khalifah mesti bisa memberikan kenyamanan kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kenyamanan itu bisa berupa fisik dan nonfisik. Dan semua itu bisa terwujud manakala bisa bergandeng tangan dengan para ahlinya masing-masing.

Di samping harus memiliki kecakapan dengan cara menggandeng para ahli di bidangnya, hal pokok yang harus ada pada diri khalifah adalah berlaku adil. Allah SWT berfirman, “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan” (Qs. Shad: 26).

Keadilan ini sangat penting karena pemimpin pada dasarnya merupakan amanah yang mesti dipertanggungjawabkan bukan hanya di hadapan manusia, namun juga di hadapan Tuhan. Nabi Muhammad SAW bersabda, Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggungjawabannya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggungjawabannya. Sungguh, setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya.” (HR. Bukhari).

Alhasil, menjadi khalifah yang baik mesti sadar bahwa ia memegang tanggung jawab besar di hadapan Tuhan. Selain itu, ia juga mesti sadar dalam rangka pengupayaan menjadi khalifah yang baik mesti berinteraksi dengan sesama manusia karena dengan adanya kebersamaan maka kekuatan akan terbangun kuat sehingga akan berbuah pada kesejahteraan dan perdamaian bersama.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

21 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

21 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

21 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

21 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago