Categories: Kebangsaan

Khilafah ala Demokrasi Indonesia

Fungsi utama khalifah adalah menjaga agama dan merawat dunia. Hal ini merupakan ‘tugas langit’ yang hanya mampu diemban oleh rasul. Setelah rasul meninggal dunia, tugas trersebut diturunkan kepada ummatnya, namun tentu dengan berbagai penyesuaian. Manusia ‘bumi’ tidak akan sanggup mengemban tugas yang begitu berat: menjaga agama dan merawat dunia.

Kekhalifahan pun akhirnya diteruskan oleh umat yang hidup setelah rasul namun dengan sistem dan tata kelola yang berbeda. Dalam ushul ad-din yang merupakan karya Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi dijelaskan bahwa para ulama bersepakat bahwa model kekhalifahan paska mangkatnya Rasul berdasarkan pada kehendak dan kesepakatan umat.

“Mayoritas ulama dari sahabat-sahabat kami (ahli sunnah wal jamaah), mu’tazilah, khawarij, dan najjariyyah berpendapat bahwa sesungguhnya cara penetapan model kekhilafahan itu berdasarkan kehendak umat berdasarkan hasil ijtihad para mujtahid dan pilihan mereka terhadap orang yang layak mengemban khilafah. Dan penetapan model kekhilafahan boleh saja menggunakan nash tetapi tak satu pun nash yang secara tegas menjelaskan model kekhilafahan. Karenanya, umatlah yang berhak menentukan model kekhilafahan”[1]

Konsekuensi logis dari pernyataan dan kesepakatan di atas adalah bahwa persoalan khilafah adalah semata-mata merupakan bagian dari ijtihad. Umat (rakyat) memiliki kekuasaan bukan saja untuk menentukan model kepemimpinan yang ingin mereka miliki, tetapi juga melakukan revisi atau perbaikan manakala ada sistem kepemimpinan lain yang dirasa lebih baik. Karena inti utama dari kekhalifahan –apapun bentuk dan modelnya—adalah terciptanya keamanan dan kenyamanan untuk setiap masyarakan dalam menjalankan perintah agamanya dan terciptanya tatanan sosial yang baik.

Karenanya model kekhalifahan tidak bisa dipaksakan secara kaku agar memiliki bentuk dan ragam tertentu. Wahbah az-Zuhaili menguatkan argumen ini dengan menyatakan, “Tidak disyaratkan sifat (model) kekhilafahan (tertentu). Tetapi yang terpenting adalah keberadaan negara yang mencerminkan adanya orang yang menguasai dan mengatur urusan negara serta melindunginya dari serangan musuh.”[2]

Jika demikian, bagaimana dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia? Apakah sistem ini sudah dapat dianggap sebagai model kekhalifahan sebagaimana yang dimaksudkan oleh penjelasan di atas? Atau justru sistem ini sama sekali tidak berakar pada tujuan utama kekhilafahan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita rehat sejenak dan kembali melihat ke sekitar. Negara ini memiliki budaya dan tradisi yang begitu beragam. Terbentang mulai Merauke hingga Sabang. Di negeri yang dihuni oleh mayoritas Muslim ini, pemerintah memiliki kebijakan yang membebaskan dan melindungi setiap warga negaranya untuk menganut dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya masing-masing.

Di negeri yang dipimpin oleh seorang Muslim ini, ajaran-ajaran Islam dapat terlaksana dengan baik. Negara bahkan memfasilitasi warga muslim dengan berbagai panduan dan alat bantu ibadah agar umat muslim di negeri ini dapat beribadah dengan tenang dan nyaman. Di bawah naungan NKRI pula, kita dapat hidup berdampingan secara damai dengan berbagai suku dan pemeluk agama lain, sehingga tatanan sosial tercipta dan terjaga dengan baik dalam kehidupan sehari-hari kita.

Kita tentu dapat secara gamblang melihat bahwa sistem demokrasi yang berlaku di negeri ini tidak menyalahi atau bahkan menentang model kekhilafahan. Karena melalui demokrasi –yang merupakan hasil ijtihad para ulama dan pendiri bangsa— kita justru dapat menemukan tujuan dan inti utama dari khilafah, yakni untuk menjaga agama dan mengelola tata sosial. Karenanya adanya ajakan untuk mengganti sistem demokrasi yang ada di negeri ini dengan model khilafah justru menunjukkan bahwa kelompok yang menebar ajakan tersebut tidak paham dengan konsep khilafah.

  • 1  Abu Manshur Abd al-Qahir al-Baghdadi, Ushul ad-Din, tahqiq: Ahmad Syamsuddin, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1. 1423 H/2003 M, h. 308
  • 2 Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus-Dar al-Fikr, cet ke-2, 1405 H/1985 M, juz, VI, h.661 

Imam Malik

Adalah seorang akademisi dan aktifis untuk isu perdamaian dan dialog antara iman. ia mulai aktif melakukan kampanye perdamaian sejak tahun 2003, ketika ia masih menjadi mahasiswa di Center for Religious and Sross-cultural Studies, UGM. Ia juga pernah menjadi koordinator untuk south east Asia Youth Coordination di Thailand pada 2006 untuk isu new media and youth. ia sempat pula menjadi manajer untuk program perdamaian dan tekhnologi di Wahid Institute, Jakarta. saat ini ia adalah direktur untuk center for religious studies and nationalism di Surya University. ia melakukan penelitian dan kerjasama untuk menangkal terorisme bersama dengan BNPT.

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

22 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

22 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

22 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago