Categories: Keagamaan

Khilafah Sebuah Tanda Tanya  

Semangat pendukung negara khilafah kembali marak di media massa setelah aksi teroris di Paris yang berhasil membunuh 132 orang warga sipil yag tak berdosa. Aksi teroris ini  mendapat sambutan positif dari jaringan-jaringan terroris di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Bahkan sejumlah situs radikal kembali memposting tentang kewajiban umat Islam untuk mendirikan negara khilafah dengan mengangkat sejumlah Hadis yang dianggap sebagai perintah agar umat Islam mendirikan negara khilafah.

Khilafah yang dimaksud oleh kelompok radikal ini adalah khilafah ala manhajinnubuwwah atau khilafah yang menganut sistim yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para  Khulafaurrasyidin yaitu; Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib bukan khilafah setelah sahabat-sahabat Nabi dimaksud seperti, khilafah Umawiyyah, Abbasyia dan Usmania.

Pertanyaannya benarkah nabi meminta kepada umatnya untuk mendirikan negara khilafah seperti yang diutarakan oleh kelompok radikal yang ingin mendirikan khilafah? Apakah nabi Muhammad Saw telah mendirikan pemerintahan khilafah pada masanya sebagaimana yang didengun-dengunkan oleh pendukung negara khilafah? Bagaimanakah bentuk negara khilafah itu?

Untuk menjawab pertanyaan ini, nampaknya kita harus kembali ke sejarah dan memahami baik-baik teks Islam tentang pemerintahan sehingga tidak rancau dalam mengusung sebuah idealisme yang sangat sulit diwujudkan.

Saya pikir semua umat Islam sepakat bahwa Islam tidak menjelaskan bentuk pemerintahan apapun yang ingin dilaksanakan oleh umatnya, bahkan ketika Nabi meninggal, beliau tidak berpesan kepada siapapun untuk menjalankan sebuah bentuk pemerintahan. Ia hanya berpesan agar senantiasa berpegang teguh kepada Alquran dan Sunnahnya. Bentuk pemerintahan Islam juga sama sekali tidak dijelaskan dalam Alquran dan Hadis-hadis nabi Muhammad Saw, apakah negara Islam itu berbentuk Monarchy sebagaimana umumnya negara Arab saat ini atau bentuk republik sebagaimana mayoritas negara di dunia saat ini yang mengadopsi sistim demokrasi, semuanya tergantung kepada umatnya.

Nabipun tidak menetapkan suatu sistim dalam pemerintahannya dan tidak mengklaim bahwa apa yang dijalankan adalah sistim khilafah. Islam hanya mendorong umatnya agar tetap menjunjung tinggi esensi-esensi islam dan menjadikan islam sebagai pedoman hidup untuk kebahagian dunia dan akhirat tanpa menentukan bentuk pemerintahan yang harus dijalankan. Yang terpenting bagi Islam adalah menjalankan esensi-esensi islam yang meliputi aqidah, syariah  dan ihsan atau moral. Adapun bentuk pemerintahan seperti, khilafah sama sekali tidak disinggung dalam islam baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi Muhammad Saw.

Jika kita mengamati lebih dalam sistim yang dijalankann Nabi Muhammad Saw selama di Madinah adalah cenderung mirip dengan sistim pemerinhan konfederasi, dimana kepala-kepala suku tetap berkuasa dalam komunitas sukunya dan menentukan sistim adminsitrasi yang dikehendaki baik dalam memilih maupun dalam menentukan kebijakan. Nabi tidak ikut campur terhadap urusan internal setiap suku dan sepenuhnya menyerahkan kepada kepala-kepala sukunya untuk mengatur urusannya. Yang menjadi perhatian Nabi adalah bagaimana setiap kepala suku mewujudkan masyarakat yang Islami yang menghormati hak-hak asasi manusia dan perlindunganterhadap kaum dhuafa serta perhatian kaum pakir misikin dan kaum wanita. Posisi Nabi Muhammad Saw di kalangan kepala suku bukanlah  khalifah atau Amir atau raja akan tetapi ia adalah guru (muallim) kepada semua kepala-kepala suku termasuk suku yang belum menganut Islam atau agama lain di Madinah. Kepala suku dan tokoh agama tetap berkuasa dalam lingkungannya dan mengatur masing-masing urusan dalam sukunya tanpa keterlibatan Rasulullah. Pelaksanaan hukum dalam satu komunitas suku tetap mengacu kepada kebiasaana setiap suku dalam menyelesaikan persoalan yang muncul dalam setiap komunitasnya. Nabi hanya mengarahkan dan mengajarkan tentang penyelesaian setiap kasus yang didasarkan pada ajaran-ajaran Islam. Sistim ini seperti yang dikatakan di atas adalah sama dengan sistim pemerintahan konfederasi.

Ketika Abu Bakar Assiddiq hingga Ali Bin Abi Tholib menjadi khalifah, mereka tetapi mengikuti gaya Rasulullah Saw dalam menjalankan kekuasaannya. Karena wilayah Islam telah meluas ke benua Afrika dan wilayah Persia maka para khalifah menunjuk Gubernur-Gubernur di setiap wilayah untuk mengatur urusan dalam wilayah tersebut. Sistim yang dijalankan oleh para Khulafaurrasyidin ini sama dengan sistim yang dijalankan oleh sejumlah negara di dunia ini termasuk Indonesia. Artinya Khalifa dipilih setelah dibaiat oleh umat dan Ahlul Halli wal Aqd dan menunjuk Gubernur-gubernur di setiap wilayah dan selanjutnya Gubernur-Gubernur ini menunjuk pembantu-pembantunya untuk mengurus wilayah yang telah dibagi-bagi.

Jika sistim yang dijalankan oleh Khulafaurrasyidin mulai dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Tholib seperti yang disebutkan di atas,  maka tidak ada yang membedakan dengan sistim yang dijalankan saat ini di beberapa negara termasuk di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Lalu apa yang membedakan pemerintahan Khilafah dengan pemerintah non-Khilafah?

Pada dasarnya tidak ada perbedaan inti dalam sistim Khilafah yang dijalankan oleh para Hulafaurrasyidn dengan sistim yang dijalankan oleh pemerintahan di beberapa negara saat ini. Yang membedakan hanya subtansi saja tapi metoda sama saja. Jika pada era Hulafaurrasyidin menjadikan Islam sebagai undang-undang dalam bernegara seperti hukum Kriminal maka pemerintahan sekarang memiliki dasar falsafah yang berbeda tetapi bentuk Khilafah dengan bentuk pemerintahan saat ini sama saja.

Semestinya para pendukung berdirinya negara Khilafah tidak mesti berjuang apalagi menjadi teroris untuk mencapai tujuannya karena bentuk pemerintahan yang diinginkan sebenarnya sudah di depan mata mereka tinggal mengisi dan memanfaatkan peluang tersebut. Undang-undang negara dimanapun di dunia ini termasuk di Indonesia yang sudah mengadopsi sistim demokrasi dimana setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih merupakan sebuah kesempatan emas untuk maju menjadi pemimpin. Jika menang dalam pemilihan maka ini sebuah kemajuan kongkrit yang dicapai oleh kelompok pendukung negara Khilafah artinya melalui kepemimpinanya ia dapat mengimpelementasikan esensi-esensi Islam tanpa harus merubah Konstitusi dan Undang-Undang Dasar Negara yang sudah menjadi komitmen bersama karena Islam sendiri tidak mempersoalkan bentuk dan falsafah negara  yang penting substansinya tidak berbeda dengan esensi-esensi Islam.

Suaib Tahir

Suaib tahir adalah salah satu tim penulis pusat media damai (pmd). Sebelumnya adalah mahasiswa di salah satu perguruan tinggi timur tengah. Selain aktif menulis di PMD juga aktif mengajar di kampus dan organisasi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago