Umat terbaik atau “khairu ummah” adalah salah satu kredo dalam ajaran Islam yang nyaris selalu dibaca serampangan oleh sebagian kelompok. Kelompok tekstualis menafsirkan khoiru ummah sebagai umat yang taat secara kaffah. Dengan mengutip Ibnu Abbas, mereka mengatakan bahwa salah satu indikator umat terbaik adalah umat yang tidak pilih-pilih dalam menjalankan syariat Allah (kaffah).
Mereka menganggap ulama yang memaknai khairu ummah tidak seperti yang tersebut itu sebagai agen-agen Barat yang sudah dicuci otaknya. Mereka menggugat konsep khoiru ummah yang disandingkan dengan moderasi beragama, karena moderasi adalah upaya untuk menjauhkan umat Muslim dari agamanya.
Dangkal sekali, bukan?
Untuk memahami sebuah konsep yang didasarkan kepada al-Qur’an, pertama-tama kita pahami al-Qur’an sebagai paradigma. Paradigma al-Qur’an berarti konstruksi pengetahuan yang memungkinkan seorang memahami realitas sebagaimana al-Qur’an memahaminya.
Konstruksi pengetahuan itu dibangun oleh al-Qur’an dengan tujuan agar umat Islam memiliki “hikmah” yang atas dasar itu dapat dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral maupun sosial.
Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai transformasi kemasyarakatan yang membuktikan bahwa Islam merupakan kekuatan perubahan sosial yang besar. Tidak seperti agama-agama lain yang mementingkan pengembangan spiritual dan moral pada level individual.
Islam mempunyai tugas untuk melakukan perubahan sosial, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan egaliter yang didasarkan pada iman. Seperti surat Ali Imron ayat 110, bahwa umat islam adalah umat terbaik yang pernah diciptakan untuk manusia yang bertugas melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar, dalam rangka beriman kepada Allah.
Mari kita bedah kembali ayat kunci yang sering dikutip, QS. Ali Imran [3]: 110:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ ۗ وَلَوْ ءَامَنَ أَهْلُ ٱلْكِتَٰبِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم ۚ مِّنْهُمُ ٱلْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Narasi tekstualis berhenti pada frasa “khairu ummah” (umat terbaik) sebagai sebuah pernyataan status yang final dan melekat. Padahal, ayat ini adalah sebuah kalimat bersyarat. Status “terbaik” itu tidak gratis; ia terikat secara kausal pada tiga pilar yang mengikutinya:
Ta’murūna bil-ma’rūf (Menyuruh kepada yang ma’ruf)
Tanhauna ‘anil-munkar (Mencegah dari yang munkar)
Tu’minūna billāh (Beriman kepada Allah)
Keimanan kepada Allah menjadi fondasi spiritual, sementara amar ma’ruf nahi munkar adalah manifestasi sosialnya. Namun, titik krusial yang sering diabaikan adalah frasa ukhrijat lin-nās (dikeluarkan untuk manusia).
Frasa ini telak meruntuhkan tafsir eksklusif. Keberadaan “umat terbaik” ini bukan untuk dirinya sendiri, bukan untuk berbangga-bangga dalam isolasi, melainkan untuk memberikan manfaat, kebaikan, dan menjadi solusi bagi seluruh umat manusia (lin-nās). Ini adalah sebuah misi yang berorientasi keluar (outward-looking), bukan ke dalam (inward-looking).
Maka, pertanyaan fundamentalnya adalah, bagaimana sebuah komunitas bisa memberi manfaat bagi seluruh manusia jika mereka saling mencurigai semua yang berbeda, dan bersikap superior? Misi lin-nās justru menuntut adanya dialog, interaksi, pemahaman, dan kontribusi nyata pada peradaban global.
Transformasi sosial ini semakin terjustifikasi ketika kita menghubungkan QS. Ali Imran [3]: 110 dengan QS. Al-Baqarah [2]: 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan (ummatan wasathan) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”
Ayat ini memperkenalkan konsep ummatan wasathan, yaitu umat pertengahan, adil, seimbang, dan moderat. Inilah DNA asli dari komunitas Muslim ideal. Konsep moderasi yang digugat oleh kelompok tekstualis sebagai “produk Barat” ternyata adalah jantung dari identitas Qur’ani. Menjadi wasath (moderat) bukanlah upaya menjauhkan diri dari agama, melainkan justru merupakan esensi dari ajaran agama itu sendiri.
Tujuan menjadi ummatan wasathan ini adalah litakūnū syuhadā’a ‘alan-nās (agar kamu menjadi saksi atas manusia). Seorang saksi haruslah adil, kredibel, tidak memihak, dan mampu memahami objek yang disaksikannya.
Bagaimana bisa menjadi saksi yang kredibel bagi peradaban manusia jika kita menolak untuk memahami “yang lain”, menolak nilai-nilai universal seperti keadilan, kemanusiaan, dan kebijaksanaan (hikmah) yang mungkin juga ditemukan di luar komunitas kita? Menjadi saksi berarti menjadi teladan dalam etika, moralitas, dan keadilan sosial, sehingga dunia melihat Islam sebagai sumber solusi, bukan sumber masalah.
Kredo “umat terbaik” bukanlah klaim sepihak. Umat Islam menjadi “terbaik” jika dan hanya jika mereka aktif memperjuangkan al-ma’ruf (keadilan, kejujuran, welas asih, ilmu pengetahuan) dan mencegah al-munkar (kezaliman, korupsi, kebodohan, kerusakan lingkungan) di tengah-tengah seluruh umat manusia.
Misi ini tidak mungkin dijalankan dengan wajah yang marah dan penuh kebencian. Ia harus dijalankan dengan metodologi Islamis, misalnya dakwah dengan hikmah, mau’izhah hasanah (nasihat yang baik), dan berdebat dengan cara yang terbaik (QS. An-Nahl [16]: 125). Inilah spirit moderasi.
Walakhir, justru, untuk menjadi khairu ummah sejati yang berfungsi lin-nās (untuk manusia) dan menjadi syuhadā’a ‘alan-nās (saksi bagi manusia), jalan yang harus ditempuh adalah jalan wasathiyyah (moderasi).
Umat terbaik adalah umat yang paling moderat, paling adil, dan paling besar kontribusi positifnya bagi peradaban, bukan yang paling keras suaranya dalam mengklaim kebenaran tunggal sambil mengutuk yang lainnya.
Tahun Baru Hijriyah seringkali dipandang sebagai sebuah peristiwa sakral yang menandai perjalanan panjang umat Islam,…
Hijrah adalah sebuah konsep spiritual dan historis yang sarat makna dalam tradisi Islam. Peristiwa hijrah…
Adakah sesuatu yang lebih mendalam dari sekadar menjadi bagian dari kelompok? Adakah tujuan yang lebih…
Pernahkah Anda mendengar tentang deportan dan returnee ISIS? Deportan ISIS adalah individu-individu berlatar belakang WNI…
Dalam beberapa tahun belakangan kita menyaksikan sebuah fenomena baru dalam lanskap keislaman di Indonesia. Yakni…
Setiap tahun baru Islam tiba, umat Muslim diingatkan pada satu peristiwa agung dalam sejarah Islam: hijrah…