Wawancara

Klaim 100 Tahun Kebangkitan Khilafah : Secara Teologis dan Empiris Tidak Berdasar

Tahun 1924 menjadi awal keruntuhan kekhilafahan Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Hamid II dan kemudian berganti menjadi negara sekuler di bawah kepemimpinan Mustafa Kemal Pasha. Bagi kelompok pengusung khilafah dalam hal ini HTI secara khusus menganggap bahwa selama masa kekosongan kekhilafahan mereka wajib untuk terus berjuang memunculkan kembali kekhilafahan. Meski hingga hari ini konsep  khilafah juga tidak pernah merujuk pada satu model yang pasti, namun perjuangan kelompok pengusungnya masih terus secara masif didengungkan.

Tahun 2024 dipercayai oleh kelompok pengusung khilafah menjadi awal kebangkitan dan hadirnya khilafah karena secara periode memasuki 100 tahun sejak 1924 – 2024. Karena itu tidak mengherankan kelompok ini secara masif mengkampanyekan tegaknya khilafah di tahun 2024 di dunia maya. Secara bersamaan Indonesia juga akan melaksanakan Pemilu di tahun 2024 oleh karenanya kelompok pengusung khilafah mempropagandakan untuk kembali dengan hukum Allah bukan hukum thaghut yang dimaknai dengan jangan turut terlibat dalam Pemilu karena tidak sesuai dengan tuntunan agama.

Untuk mengupas lebih dalam terkait topik tersebut, redaksi Pusat Media Damai (PMD) mewancarai Dr. Mohammad Iqbal Ahnaf, M.A, Peneliti dan Pengajar di Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada.

Reza : Saat ini mulai bermunculan lagi narasi kebangkitan khilafah. Karena ya kalau dihitung dari 100 tahun, runtuhnya di 1924 itu, sekarang 2024 sudah 100 tahun, katanya akan ada kebangkitan khilafah lagi ini. Apa pendapat bapak terkait narasi seperti ini Pak?

Iqbal Ahnaf: Baik. Pertama, soal keyakinan, angka 100 tahun itu sebagai, apa namanya, panduan waktu ya terkait dengan kembalinya khilafah. Yang pertama saya kira di dalam Islam, salah satu hal yang tidak bisa kita pastikan tahunnya kan itu adalah rahasia. Rahasia Allah itu adalah soal apa yang akan terjadi di masa depan. Termasuk tanda-tanda hari kiamat, kembalinya Imam Mahdi, termasuk di sini adalah apa yang diklaim sebagai kembalinya khilafah.

Nah sebenarnya angka itu sepertinya merujuk kepada satu artian yang selalu akan muncul seorang pembaharu. Nah pembaharu ini, apa namanya, seorang mujaddid gitu ya. Kalau seorang ulama dalam kategori apa dan itu juga tidak pernah ada kesepakatan sebenarnya. Kalau itu kemudian oleh mereka yang memperjuangkan khilafah, itu ditafsirkan dimaknai sebagai kembali nya khilafah.

Nah, tetapi apapun itu tafsirnya, itu saya kira kalau ada yang mengklaim bahwa dia mengetahui sesuatu akan terjadi pada tahun tertentu, pada tanggal tertentu, jadi itu saya kira berbentangan dengan nilai Islam. Saya kira ini hal yang sangat sering muncul oleh tokoh-tokoh ulama-ulama yang mengaku mempunyai pengetahuan tentang tanda-tanda hari kiamat.

Dan kita sudah berkali-kali mendapatkan kalau klaim-klaim seperti itu tidak terbukti, pada hari dan tanggal yang dia klaim akan terjadi tidak terjadi, jadi ini mengulang-ulang apa namanya, pengetahuan yang tidak mendasar. Nah saya kira itu juga sesuatu yang di dalam Islam kita tidak diajarkan, itu apa namanya, untuk mengklaim, mengetahui hal yang pasti, itu hanya diketahui oleh Allah.

Jadi saya kira klaim bahwa ada yang meyakini, ada yang mengetahui akan terjadi suatu kejadian besar seperti kembalinya khilafah, itu saya kira justru bertentangan dengan apa yang diajarkan di dalam Islam.

Nah yang kedua, saya kira sampai hari ini ya, sejak sekian puluh tahun itu, perjuangan Hizbut Tahrir untuk menegakkan Islam itu, tidak berada pada titik indikasi akan berhasil. Jadi fakta empiris juga tidak menunjukkan, ada gejala-gejala yang mendukung itu.

Memang ada upaya-upaya untuk mengambil alih kekuasaan di sejumlah negara, misalnya dulu bisa jadi upaya untuk melakukan kudeta di Syria, kemudian pernah upaya-upaya untuk meyakinkan para penguasa di setiap negara-negara muslim, seperti di Afghanistan, seperti di Libya misalnya, untuk menerima usulan penegakan khilafah itu, tapi justru malah kemudian para aktivis yang memperjuangkan itu justru menghadapi persekusi dari para penguasa-penguasa muslim itu.

Jadi, walaupun kadang-kadang kita melihat ada gema yang luar biasa, itu bagian dari campaign yang memang dikesankan sebagai kekuatan yang besar, tapi fakta empiris menunjukkan bahwa sebenarnya basis dukungan terhadap khilafah ini tidak menunjukkan bahwa itu akan mendatangkan pada satu capaian yang nyata.

Jadi menurut saya sangat tidak berdasar, tidak baik secara teologis maupun secara empiris, kita tidak melihat ada gejala yang mengarah kesana. Saya kira kita justru melihat yang sebaliknya ya, walaupun para aktivis pejuang khilafah itu mengklaim bahwa penegakan khilafah itu adalah konsensus para ulama ahlussunnah wal jamaah, tapi sudah banyak sekali ulama yang membantah bahwa khilafah itu bukanlah suatu kewajiban yang sifatnya kewajiban utama, yang bagi mereka diyakini sebagai tanpa khilafah, umat Islam tidak bisa menjalankan agama dan keyakinannya.

Pada praktiknya, para ulama, termasuk ulama-ulama yang besar, yang diakui baik di tingkat nasional maupun Indonesia itu saya kira mereka juga membantah itu. Jadi klaim bahwa ini adalah sebuah ajaran yang sudah disepakati oleh para ulama, itu juga saya kira semakin hari semakin terbantahkan. Itu mencerminkan sebetulnya, menurunnya basis dukungan terhadap perjuangan khilafah itu. Walaupun kita bisa melihat ya, eksistensi mereka, narasi mereka, cukup kuat di media sosial, tetapi secara empiris saya kira kita tidak melihat adanya peningkatan disitu.

Reza: narasi kebangkitan khilafah kan selalu dibarengi dengan faktor kesulitan secara ekonomi dan secara sosial. Narasi khilafah seolah membawa angin surga, jadi selalu dibarengi dengan seperti itu. Memang kondisi masyarakatnya, bisa dikatakan mendukung untuk dimasuki paham transnasional seperti. Dari Pemerintah atau masyarakat apa yang harus dilakukan?

Iqbal Ahnaf: Ya saya kira ini ya, memang selalu ada kelompok-kelompok rentan yang potensial untuk terpengaruh oleh gagasan idealistik yang bisa menjawab terhadap kegelisahan mereka, dan saya kira itu terjadi di banyak tempat, baik di negara demokrasi maupun di negara non-demokrasi ya.

Harus kita akui bahwa demokrasi itu bukan suatu sistem yang sempurna, yang bisa memenuhi ekspektasi dan aspirasi yang terpimpin oleh para penguasa. Jadi ada problem juga di dalam proses demokrasi kita sehingga menimbulkan situasi-situasi, kelompok-kelompok marjinal, ketidakadilan, dan mereka yang mungkin mengalami semacam depresi sosial di dalam kehidupan sejauh ekonomi dan politik kita. 

Dan saya kira, pertentangan itu tidak hanya muncul di kalangan mereka yang miskin sebenarnya, tapi juga mereka yang terdidik ya. Perasaan termarjinalisasi, perasaan terzalimi, itu memang bisa saja bersifat nyata, bisa juga bersifat diciptakan.

Nah itu yang saya kira adalah situasi kerawanan yang selalu ada. Gagasan khilafah itu ditawarkan sebagai semacam panacea, sebagai semacam obat terhadap kekecewaan, perasaan, perasaan diperlakukan tidak adil itu. Nah, tetapi ada dua jenis tawaran yang kita lihat. Ada kelompok yang menawarkan ide, ada kelompok yang menawarkan support system. Nah, kelompok termarjinalkan, seringkali mungkin mereka akan tergoda oleh ide itu, tetapi kalau yang didapatkan hanyalah gagasan, maka itu ada waktunya, ada batasnya. 

Nah, tawaran khilafah sebagai solusi itu kan tawaran konseptual, tawaran teoritis. Dan saya kira itu terbatas, walaupun kita tidak mau mengatakan bahwa itu tidak ada potensi gitu ya, Tetapi saya kira masyarakat kita semakin cerdas. Dan bisa membedakan mana yang benar-benar datang dan menghadirkan solusi nyata dan mana yang hanya memberikan janji. 

Nah, saya kira kelompok termarjinalkan, kelompok-kelompok yang lemah, mereka akan lebih membutuhkan pada mereka yang berjuang secara komplit terhadap kebutuhan hidup mereka, daripada mereka yang hanya menjual gagasan. 

Reza: Nah, ini kan kita juga sebulan lagi masuk ke pemilihan umum, dan euforianya orang-orang kan sudah ke arah sana. Apa ada pengaruh, narasi 100 tahun kebangkitan khilafah ini dengan pemilu yang sedang kita jalan ini, Pak?

Iqbal Ahnaf: Saya melihat sih pemilu tahun ini kita beda ya dengan pemilu tahun 2019 ya. Kalau 2019 saya kira pembelahan berbasis agama itu cukup kuat gitu ya, sehingga narasi-narasi yang bernuansa ideologi keagamaan itu bisa dibaca dengan cukup jelas dia akan menguntungkan siapa gitu ya. 

Tapi kalau hari ini kita belum melihat bahwa polarisasi terjadi yang basisnya adalah ideologi keagamaan. Walaupun tentu ada kelompok-kelompok yang berusaha untuk mem-frame, pilihan-pilihan kandidat itu berdasarkan pada kedekatan mereka terhadap kelompok keagamaan dan partai-partai politik yang secara ideologis diposisikan sebagai pihak yang berseberangan gitu ya. 

Tapi saya melihat sih tahun ini tidak sekencang polarisasi pada tahun 2019 dan karena itu menurut saya, meskipun ini akan selalu digaungkan dan momen politik adalah momen di mana itu dinaikkan, tetapi menurut saya dampaknya tidak akan sejelas dan sebesar dibandingkan tahun 2019. Karena kalau tahun 2019 saya kira jelas sekali ada positioning keberpihakan kelompok-kelompok tertentu gitu kan. Tetapi kalau hari ini menurut saya, upaya untuk mengangkat kabar kembalinya khilafah itu menurut saya lebih sebagai sebuah unjuk eksistensi dari kelompok ini, dengan memanfaatkan momentum konstelasi politik hari ini, daripada sebagai satu upaya untuk memberikan dukungan atau positioning terhadap calon-calon di dalam Pilpres tahun 2024. 

Reza: Barangkali terakhir Pak, sekaligus jika ingin memberikan closing statement. Harapannya Pak Iqbal Ahnaf untuk menguatkan nasionalisme kita-kita, supaya tidak gampang terprovokasi oleh 100 tahun kebangkitan khilafah ini Pak. 

Iqbal Ahnaf: Ya saya kira apa namanya, kita perlu belajar ya dari sejarah umat Islam gitu ya. Upaya menegakkan sistem politik daulah Islamiyah atau khilafah Islamiyah itu satu hal tidak pernah berhasil dalam sejarah umat Islam. Bahkan perdebatan tentang apakah Islam dan daulah itu harus bersatu itu justru menjadi pemicu. Nah karena itu kita harus melihat sebenarnya upaya untuk mendirikan khilafah ini sebagai satu hal yang sebenarnya, apakah dia konstruktif atau destruktif bagi kemajuan umat Islam sebenarnya. 

Karena kalau kita melihat pada sejarahnya sebenarnya, lebih banyak menciptakan perpecahan daripada persatuan. Yang kedua menurut saya yang penting kalau kita di dalam Islam ini kan bagaimana kita mewujudkan terjaminnya hak-hak beragama orang Islam. Dan demokrasi itu tentu bukan tanpa masalah, tentu saja. Tetapi, alternatif dari demokrasi juga bukan berarti masalahnya lebih kecil gitu ya. Nah karena sebenarnya, demokrasi yang ada di Indonesia ini sudah disepakati oleh para ulama, Pancasila adalah hasil konsensus.

Kesepakatan ini tidak hanya melibatkan para pendiri bangsa dan politisi, tetapi juga melibatkan para ulama. Oleh karena itu, demokrasi menjadi semacam ijtihad, baik dari segi keagamaan maupun politik. Landasan teologisnya pun menjadi sangat kuat.

Pancasila dan demokrasi, dalam pandangan para ulama, merupakan bagian dari upaya untuk mengamalkan syariah, terutama bagi warga yang berpegang pada perspektif Islam. Meskipun demikian, sebagai warga negara, partisipasi dalam demokrasi menjadi suatu kesepakatan bersama. Sistem ini memberikan peluang untuk melindungi hak-hak sipil, hak beragama, yang dimiliki oleh semua warga Indonesia, tanpa memandang agama atau latar belakang mereka.

Ini adalah hal yang perlu diperjuangkan. Sebagai muslim dan warga negara, bagaimana kita menggunakan demokrasi untuk memastikan perlindungan hak beragama, hak ekonomi, dan hak politik itu terlindungi, Ini merupakan suatu proses yang dapat dilihat dalam konteks perbandingan dengan banyak negara lain.

Apa yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama dalam hal kebebasan beribadah, sudah sangat luar biasa dan patut diapresiasi. Selanjutnya, kita perlu membuktikan bahwa konsensus para ulama bukan hanya sekadar pilihan, melainkan dapat diisi dengan upaya untuk mendorong kemajuan masyarakat. Tidak perlu berangan-angan mengganti sistem yang telah terbukti dalam sejarah hanya menciptakan pertentangan dan perang di tengah-tengah umat dan negara.

This post was last modified on 12 Januari 2024 2:16 PM

Redaksi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago