Narasi

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto dapat menjelaskan awal mula Islam sebagai kepercayaan dan iman masuk dalam politik praktis, ia menuliskan suburnya gerakan-gerakan Islam radikal muncul pada masa-masa awal reformasi yang menyusul kelompok-kelompok moderat yang telah jauh lebih dulu eksis di Indonesia sebagai roh hidup berbangsa dan bernegara.

Dalam rentang waktu yang sama pula muncul berbagai macam partai politik Islam yang turut berpartisipasi dalam pemilu masa reformasi demikian juga keterlibatan kelompok-kelompok radikal Islam dalam serangan atau konflik terorisme secara berturut-turut seperti konflik agama di Poso hingga aksi perusakan tempat hiburan dan hal-hal berbau barat.

Konflik Islam dan Barat yang sering terjadi di akar rumput, khususnya aksi boikot terhadap brand Barat seperti KFC, Pizza Hut, Starbucks, hingga konser artis-artis luar negeri tidak terlepas dari tragedi sejarah masa lalu seperti pengusiran orang Islam dari Spanyol, Perang Salib dan kolonialisme negara-negara barat terhadap negara-negara Islam (Yunanto, 2018). Tragedi sejarah tersebut hingga kini juga digunakan sebagai bahan bakar penyemangat dalam melakukan aksi-aksi perlawanan hingga aksi-aksi teror.

Praktik-praktik politisasi agama merupakan penggunaan agama atau simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan politik. Praktik ini sering kali memanipulasi nilai-nilai keagamaan untuk tujuan tertentu, seperti membangun legitimasi kekuasaan, memobilisasi dukungan, atau menciptakan loyalitas kelompok. Dalam konteks demokrasi, terutama di negara dengan masyarakat yang religius seperti Indonesia, politisasi agama sering muncul dalam bentuk kampanye yang menggunakan narasi agama atau identitas keagamaan sebagai alat propaganda.

Praktik politisasi agama yang kerap terjadi di Indonesia adalah penggunaan simbol agama dalam kampanye, labelisasi atau stigma terhadap pihak lain, pengaburan batas antara agama dan politik, mobilisasi massa berbasis agama, hingga manipulasi ajaran agama yang bahkan sering dilakukan calon-calon kepala daerah secara terang-terangan, seperti Elfianah, Calon Bupati Mesuji, yang menjanjikan masuk surga bagi calon-calon pemilihnya.

Politisasi agama dirasa efektif dalam mendulang suara karena mampu mendatangkan massa yang cukup besar. Hal yang paling sering dilakukan para calon kepala daerah adalah dengan membuat pengajian yang di dalamnya diisi dengan kampanye atau dihadiri oleh salah satu pasang calon. Politisasi agama semacam ini mendegradasi nilai agama dan memanipulasi agama untuk tujuan politik dapat mereduksi agama menjadi alat duniawi, mengaburkan misi spiritualnya (Agama dan Politik: Teologi Pembebasan sebagai Arena Profetisasi Agama, 2014).

Politisasi agama dapat mengancam kehidupan berbangsa karena berdampak sangat buruk seperti terjadinya polarisasi masyarakat yang saling berlawanan atas perbedaan agama dan keyakinan, menguatkan intoleransi karena meningkatkan kebencian atas mereka yang tidak sejalan dan sepandangan, merusak tatanan demokrasi karena bertentangan dengan netralitas negara, memicu diskriminasi dan melemahkan semangat pluralisme, dan yang paling parah adalah terjadinya hubungan transaksional yang tidak sehat antara pemerintah dan pemuka agama.

Politik dan agama tidak harus dipisahkan dengan garis yang tegas, keduanya dapat melebur menjadi praktik-praktik berbangsa dan bernegara. Agama semestinya menjadi fondasi dalam berpolitik sehingga melahirkan kejujuran, keberpihakan pada yang lemah, menjaga dan mencintai ciptaan-Nya, hingga hidup welas asih satu sama lain. Politik juga mestinya menjadi pendukung dalam menjalankan kehidupan beragama yang lebih nyaman, dengan membuat Keputusan atau undang-undang yang mendukung pendidikan berkualitas dunia bagi para calon-calon pemuka agama, memudahkan bagi siapa saja dalam menjalankan ibadahnya, hingga mengambil peran penting dalam kehidupan sehari-hari umat agar lebih Sejahtera.

Politisi mesti menahan diri untuk menempuh jalur mudah meraih elektorat melalui politisasi agama. Pemuka agama juga mesti menjaga marwah agama sebagai pilar hidup manusia agar tetap sakral dan tidak diobral.

Bara Wahyu Riyadi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

9 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

9 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

9 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

9 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago