Faktual

Kontestasi Politik 2024 dan Bahaya Politisasi Rumah Ibadah

Nuansa politik 2024 mulai kencang meski perhelatannya masih dua tahun lagi. Beberapa tokoh mulai turun gunung. Beberapa partai mulai menjajaki dan membangun koalisi. Tidak lupa para calon sedang mencari simpati dan ada pula yang masih mencari dukungan partai.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo telah memperingatkan agar para elite politik untuk tidak terjebak pada politik identitas. Politisasi agama sangat berbahaya yang dapat memecah belah masyarakat. Karena itulah dibutuhkan kedewasaan para elite politik untuk tidak bermain-main dengan api konflik di tengah kontestasi. 

Kontestasi politik untuk mencapai suksesi kepemimpinan nasional pada tahun 2024 harus dimaknai sebagai kontestasi politik untuk memajukan bangsa. Ambisi politik penting tetapi bukan berarti tujuan politik bisa menghalalkan segala cara. Kemenangan politik bukan diraih dengan menjaul apapun demi kepentingan politik.

Apa yang paling ditakutkan dari kontestasi politik ke depan dan ini sudah pernah dialami oleh bangsa ini adalah memperalat agama untuk kepentingan politik. Ruang sakral agama didegradasi sebagai tempat meraih simpati politik. Rumah ibadah menjadi ajang penyebaran propaganda dan agitasi politik.

Pemanfaatan rumah ibadah dalam agitasi politik misalnya dengan memanfaatkan khutbah keagamaan, menyebar bulletin politik, hingga mengajak jamaah untuk memilih calon pemimpin tertentu. Geliat ini nampaknya akan terjadi lagi jika tidak dibendung sejak dini dengan kedewasaan elite dan kecerdasan masyarakat sipil.

Pertanyaannya, apakah memang tidak boleh memanfaatkankan rumah ibadah untuk pembicaraan politik? Bukankah Nabi menjadikan masjid bukan sekedar ibadah tetapi urusan umat dan rapat politik untuk kepentingan umat. Masjid menjadi fungsional untuk berbagai urusan keagamaan dan keumatan.

Betul, penggunaan masjid untuk kepentingan umat memang tidak sekedar untuk ibadah. Namun, masjid bukan tempat untuk hanya menampung kepentingan politik kelompok. Masjid juga bukan tempat untuk menarik dan membelah jamaah untuk kepentingan politik praktis. Masjid adalah rumah besar untuk kepentingan bersama bukan untuk disekat dengan identitas politik tertentu.

Pengalaman kontestasi sebelumnya yang justru menjadikan masjid sebagai ladang pengeruk suara sangat memperihatinkan. Masjid akan menolak jamaah yang berbeda pandangan politik. Dan tentu saja itu sudah bertentangan dengan khittah rumah ibadah sebagai tempat bersama menuju dan menyembah Tuhan. Bukan tempat menyembah dan memuja pujaan politik.

Bahaya politisasi agama dalam kontestasi politik akan menyebabkan polarisasi yang sangat dalam karena dijustifikasi oleh agama. Perang ayat dan dalil dan perlombaan menggiring jamaah akan menciptakan perpecahan tidak saja internal agama tetapi juga hubungan dengan agama lain.

Bukan salah agama, tetapi agama telah pernah menjadi bencana besar ketika dipolitisasi untuk kepentingan politik. Sejarah tragis masa lalu dari belahan dunia memperlihatkan wajah garang agama yang ditampilkan oleh penganutnya yang dengan sengaja mempolitisasi, mengkapitalisasi dan mengeksploitasi untuk kepentingan politik duniawi.

Mimbar agama memang menjadi sarana efektif untuk menyampaikan ajaran agama. Hari ini pun kita masih melihat walaupun dengan tanpa kasat mata para penjual agama dengan mengasong cita-cita ideal yang terlihat agamis, tetapi untuk kepentingan politik. Ada pula kelompok yang meracuni anak muda dengan dalil yang disesatkan hingga rela berkorban mati demi membela kepentingan kelompok.

Karena itulah, pengurus rumah ibadah harus benar-benar selektif dan otoritatif dalam mencegah gejala politisasi rumah ibadah untuk kepentingan politik. Agama tidak bisa diperjual-belikan, termasuk rumah ibadah adalah rumah suci yang tidak boleh dikotori kepentingan politik sesaat.

Selanjutnya, dibutuhkan bukan hanya kesadaran masyarakat, tetapi yang terpenting adalah kesadaran para elite agar tidak hanya mengedepankan nafsu dan birahi politik untuk menghalalkan segala cara termasuk melakukan politisasi agama. Para elite politik harus segera berhenti memancing emosi akar rumput. Saling sindir, saling tuduh, saling mencurigai antar elite sejatinya akan menular kepada masyarakat.

This post was last modified on 28 November 2022 12:31 AM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago