Narasi

Kritik itu Jihad, Bughat itu Jahat!

Seutama-utama jihad adalah menegakkan kalimat haq di hadapan (terhadap) penguasa yang zhalim.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

Sebagai negara demokratis, setiap warga negara memiliki kebebasan berbicara dan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang. Termasuk kritik dalam penyelenggaraan negara. Di negara demokratis, kedudukan kritik ialah sangat penting untuk memastikan bahwa pembangunan dan kebijakan negara, fokus untuk mensejahterakan rakyat. Kritik seperti obor yang akan menerangi jalan-jalan meraih cita-cita kemerdekaan.

Permasalahannya, kekebasan mengkritik seringkali dimaknai secara serampangan. Pengkritik seolah-olah bebas menghina kebijakan sekaligus institusi negara. Parahnya, adapula yang memanfaatkan kebebasan mengkritik untuk mengeliminasi peran negara. Tidak mengakuinya. Menganggap bahwa pemerintahan yang berdiri ialah thagut yang dzalim dan harus diperangi. Harus diruntuhkan. Demi mendirikan khilafah.

Dalam konteks sistem kenegaraan yang telah final sepakat menganut sistem demokratis dan berideologi Pancasila, keinginan untuk mengganti sistem tata negara menjadi khilafah ialah bentuk ketidakpatuhan kepada negara. Pemberontakan. Melanggar UUD 1945.  Merusak harmoni dalam kebinekaan yang selalu kita usahakan. Merusak Bhinneka Tunggal Ika.

Boleh Kritik Kebijakan Negara, tapi Jangan Bughat!

Dalam Islam, narasi-narasi ingkar kepada pemerintahan sah dikategorikan sebagai bughat. Kata bughot berasal dari akar kata bagha, yang berarti “melampaui batas”. Aktivitas bughat, bahkan secara fikih Islam, harus diperangi. Secara khusus, Khatib Syarbini menyebut tiga prasyarat penting untuk bisa disebut bughat dalam kitab al-Iqna’ fi Halli Alfazh Abi Syuja’:

Pertama, mereka yang memberontak memiliki kekuatan. Kekuatan ini menyatukan senjata, logistik, massa, wacana, dan sejenisnya. Kedua, mereka keluar dari ketaatan terhadap penguasa yang sah.  Punya kekuatan saja, kalau tidak keluar dari ketaatan terhadap penguasa atau imam yang sah, tidak dikategorikan bughat. Ketiga, mereka menggunakan penafsiran atau ta’wil yang batil. Maksudnya, dalam memerangi imam dan penguasa yang sah mereka menggunakan penafsiran tertentu untuk membenarkannya.

Perintah Islam sangat jelas, meminta kita untuk menaati pemerintah yang sah. Allah Swt. berfirman: “Taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’, 4: 59). Secara rinci, Nabi Muhammad Saw. kemudian menggarisbawahi prinsip ketaatan kepada pemimpin ialah selama mengajak kepada kebaikan. “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan maksiat, tidak boleh didengar dan ditatati.” (HR. Bukhari).

Ulil amri (penguasa sah) sebagai manusia biasa, punya kemungkinan melakukan kesalahan dalam mengambil kebijakan negara. Namun demikian, bukan berarti kita dapat melakukan pembangkangan atas dalih tersebut. Kita boleh mengkritik penguasa. Kritik itu akan selalu baik selama disampaikan secara baik. Lebih-lebih apabila kritik tersebut dibangun secara konstruktif. Bahkan, tidak berlebihan apabila kita menyebut, memberi kritik itu sama halnya jihad membangun negara. Memaksimalkan peran kita sebagai masyarakat sipil, untuk turut serta mengawasi sekaligus mengingatkan betapa penguasa harus senantiasa menempatkan kepentingan rakyat sebagai hal utama. Tidak korupsi dan tidak pula ngapusi.

Bughat, bagaimanapun ialah suatu hal yang jahat dan dilarang. Bughat menunjukkan bahwa kita tidak mencintai tanah air. Sebuah ungkapan bilang: “cinta tanah air sebagian dari iman”. Artinya, tanpa cinta tanah air, iman kita tidak akan sempurna. Dan, rasulullah Saw. juga telah memperingatkan pentingnya bersatu dalam jamaah dan jangan melakukan pembelotan dengan mengangkat senjata atau melakukan hal lain yang dapat memecah-belah bangsa. Ia tak segan-segan akan memerangi pihak yang dapat mengganggu stabilitas keamanan sebuah bangsa. Rasulullah Saw. bilang: “Barang siapa yang datang kepadamu, dan persoalanmu berada di tangan seorang yang menghendaki ingkar kepadamu atau memisahkan dari jama’ah, maka bunuhlah dia.” (HR. Muslim).

Akhirnya, sampaikanlah kritik dengan sebaik-baiknya. Kritik ibarat vitamin dalam negara demokrasi. Kritik tidak hanya perlu jujur, tapi juga disampaikan dengan penuh etika. Tidak menghina. Tidak provokatif. Tidak memecah-belah. Tidak membahayakan stabilitas sosial. Fokus pada titik permasalahan. Menciptakan solusi atas permasalahan. Dengan begitu, kritik benar-benar akan menjadi jihad dalam mewujudkan negara beradab dan dapat mensejahterakan rakyat. Bukan sebagai instrumen jahat yang dapat mengganggu keamanan negara. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 9 Januari 2023 4:35 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago