Narasi

Kurban dan Dimensi Ekonomi Kerakyatan

Siapa bilang, pelaksanaan Idul Adha hanya berdimensi teologis-vertikal an sich, antara seorang hamba dengan Tuhannya? Idul Adha, yang biasanya diidentikkan dengan ibadah kurban lewat penyembelihan hewan sapi atau kambing—selain mempunyai fungsi sosial—sesungguhnya juga mempunyai nilai ekonomi tinggi.

Tengoklah di sekitar kita, ada banyak warga yang saat ini, jelang Idul Adha, secara tiba-tiba memilih bisnis penyediaan hewan kurban. Jual beli untuk hewan kurban, sepertinya menjadi lahan bisnis (walau sementara atau kondisional) yang lumayan menggiurkan. Dan ini tentu saja, sangat baik bagi masyarakat kelas menengah ke bawah, dalam manggerakkan roda perekonomian masyarakat setempat.

Bisnis hewan kurban adakalanya diinisiasi oleh individu, dan ada pula oleh kelompok masyarakat, baik mengatasnamakan ormas agama tertentu maupun paguyuban warga yang tidak berafiliasi pada institusi keagamaan. Menariknya lagi, bisnis penyediaan hewan kurban ini ternyata mampu “menggoda” para pengusaha kelas atas yang mengkoordinir jasa penyembelihan, pemotongan, dan bahkan pengiriman daging kurban.

Di kota-kota besar, sebelum masa pandemi covid-19, sempat tertangkap kamera wartawan televisi waktu itu, tentang fenomena lainnya adalah penggunaan SPG kaum hawa yang seksi dan cantik rupawan sebagai penggaet konsumen agar membeli hewan kurban tersebut. Karena itu, Idul Adha sebenarnya merupakan bentuk perayaan keagamaan yang tidak hanya berdimensi tunggal, namun sebaliknya sangatlah kompleks: teologi, ekonomi, sosial, dan bahkan politik.

Baca Juga : Kurban dan Semangat Kemanusiaan

Lantas, apakah salah menyambut perayaan Idul Adha, termasuk tahun ini dalam situasi covid-19, dengan menjadikannya sebagai momentum untuk menggairahkan ekonomi? Tentu saja tidak. Justru itulah fungsi sosial kurban, di samping memiliki fungsi teologi.

Manfaat praktis

Firman Tuhan, dalam hal ini perintah kurban, perlu ditafsir dengan pendekatan kemanusiaan, seperti pendapat ulama pascamodernis Aljazair, Malik bin Nabi, yang menyatakan bahwa kebenaran tafsir firman Tuhan diukur dari manfaat praktis dan fungsionalnya bagi penyelesaian problem kemanusiaan, seperti kemiskinan dalam arti luas (Mulkhan, 2007). Dari sini, jelaslah, kalau aktivitas “ekonomi kurban” ini sejalan dengan apa yang diidealkan oleh Malin bin Nabi.

Di luar ekonomi bisnis hewan kurban seperti yang disinggung di atas, tentu tidak bisa menghilangkan manfaat langsung berupa tali kasih (misalnya pemberian hewan sembelihan kurban) kepada orang-orang yang secara sosial dikategorikan sebagai orang miskin. Artinya, seorang muslim hanya dapat dikatakan dekat kepada Tuhan jika senantiasa dekat dengan sesamanya yang berkekurangan dalam hidup. Jika seorang muslim memiliki kenikmatan, dia membagikan kenikmatan itu kepada orang lain, terutama yang berkekurangan.

Jika sekiranya masih ada seorang muslim yang kaya dan berkuasa membiarkan ketimpangan sosial ekonomi berlangsung, sedangkan rakyat kebanyakan masih hidup dalam kekurangan dan banyak terugikan oleh sistem yang kini berkembang, maka tak ada salahnya bila meninjau ulang kembali “kualitas” ibadah-ibadah ritual keagamaanya.

Seekor hewan kurban hanyalah representasi dari keharusan berkurban yang lebih besar dari yang kita miliki bagi kepentingan orang banyak, sebagai wujud kecintaan kepada Tuhan yang teraktualisasikan dalam kecintaan terhadap sesama umat manusia (Nashir, 1997). Dengan semangat ibadah kurban, seyogiyanya dapat menggerakkan dan mengembangkan kesadaran sosial setiap orang yang memiliki aset ekonomi dan kekuasaan berlebihan untuk melakukan pemerataan sosial ekonomi yang lahir dari kesadaran internal (moral).

Melalui kurban, mengajarkan seseorang untuk tidak terlalu mencintai hartanya, dan juga mengajarkan seseorang untuk berdermawan kepada kaum papa. Ritual penyembelihan hewan kurban merupakan simbol pengorbanan seorang hamba atas kecintaannya kepada Yang Menciptakan, bukan semata-mata dinilai secara meterialisme. Selamat merayakan Idul Adha!

This post was last modified on 29 Juli 2020 11:43 AM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

12 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

12 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

12 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

12 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago