Narasi

Kurban, Kontra-Fanatisme, dan Etika Kekhalifahan dalam Worldview Agama-agama Abrahamik

Gaza masih jadi altar modern tempat anak-anak dikorbankan atas nama ilusi keamanan dan janji tanah suci: Yerusalem. Pada Selasa (10/6), sebanyak 70 warga Palestina dibunuh, termasuk anak berusia 12 tahun, saat mencoba ambil bantuan makanan di dekat Koridor Netzarim. Di titik distribusi bantuan yang dijuluki warga Gaza sebagai ‘rumah jagal manusia’ itu, pasukan biadab Zionis Israel menembaki kerumunan ‘manusia’ kelaparan.

Ironisnya, sejak 27 Mei lalu, sebanyak 150 orang lebih tewas dan hampir 1.500 terluka di tempat yang seharusnya menjadi oasis kemanusiaan. Bahkan ketika aktivis kemanusiaan Greta Thunberg berusaha menembus blokade dan mengantarkan bantuan, mereka justru ditangkap dan dideportasi, dihukum karena membawa harapan bagi yang tak bersuara. Tiga agama Abrahamik: Yahudi, Kristen, dan Islam, berada di titik krisis humanisme.

Masalahnya, semua terjadi ketika umat Muslim bersiap menyambut Iduladha, hari besar yang disakralkan oleh narasi pengorbanan Ibrahim. Namun di tanah suci tiga agama, darah manusia malah terus ditumpahkan, sebagai agresi zionisme dan genosida sesama manusia. Israel, yang mendaku pewaris sah tradisi Abrahamik, menjadikan pembantaian sebagai bahasa politik. Sebagaimana di zaman Nabi Musa, Bani Israel itu mempertontonkan kebarbarannya.

Kendati demikian, kekerasan tak terjadi secara monolitis. Di Austria, Italia, Prancis, dan AS, islamofobia terus terjadi, dilakukan oleh umat Kristen yang mengajarkan cinta-kasih. Pencabutan visa mahasiswa Harvard dengan dalih anti-semitisme oleh Trump beberapa waktu lalu? Itu hanya salah satu. Masjid diawasi, setiap praktik keislaman diasumsikan sebagai potensi teror. Tak ada kebebasan yang serius di negara-negara demokratis tersebut.

Sebaliknya di Indonesia, negeri mayoritas Muslim yang bangga pada toleransinya, umat Kristen masih harus menghadapi penolakan rumah ibadah, pembubaran kebaktian, hingga kekerasan oleh segelintir massa yang merasa sedang menjalankan misi syariat.

Ketiga agama Abrahamik—Yahudi, Kristen, dan Islam—hari ini saling mencederai, saling mencurigai, bahkan saling membunuh. Masing-masing merasa jadi pemilik tunggal kebenaran dan abai terhadap mandat terdalam keimanan: menjaga kehidupan dan mengasihi sesama. Itulah paradoks ketika agama, alih-alih jadi sumber kasih, justru menjelma sebagai panggung kekerasan yang dibungkus dengan liturgi dan legitimasi teologis.

Di sisa-sisa suasana Iduladha ini, patut ditanyakan, apa sebenarnya makna kurban? Apakah cukup menyembelih hewan tanpa menyentuh ego superioritas? Layakkah menyebut diri religius jika tak ada rasa malu ketika manusia dibantai atas nama Tuhan? Sebab, idealnya, worldview agama-agama Abrahamik anti-kekejaman, anti-ketimpangan, dan anti-dehumanisasi—sebagaimana Ibrahim yang menebas ego, bukan nyawa sesama manusia.

Kurban: Kritik terhadap Ekstremisme atas Nama Tuhan

Kisah Ibrahim dalam kitab suci Yahudi, Kristen, dan Islam, ada satu simbol agung yang melampaui sekadar narasi sejarah: kurban. Ia merupakan panggilan untuk membunuh ego terdalam, menyerahkan hal paling dicintai demi kepasrahan pada Tuhan. Namun alih-alih jadi etos liturgis, kurban saat ini justru dibajak menjadi legitimasi atas penyembelihan orang lain atas nama Tuhan, yang dilakukan masing-masing pemeluk agama Abrahamik.

Zionisme, sebagai contoh paling meresahkan, melakukan agresi militer dan genosida rakyat Palestina dengan bahasa ‘warisan Ilahi’. Mereka menyebut Yerusalem sebagai janji Tuhan dan peluru-peluru ditembakkan sebagai manifestasi perang suci. Tapi semua itu klaim palsu belaka. Apa yang para Zionis lakukan bukanlah liturgi suci, justru penghinaan terhadap ruh spiritualitas Abrahamik itu sendiri. Zionis melakukannya demi nafsu politik semata.

Begitu juga di Barat. Umat Kristen juga terperosok pusaran fanatisme. Islamofobia di institusi negara di Austria, Prancis, dan AS tumbuh dari narasi teologis tentang ‘musuh dalam’ yang terus dipelihara. Gereja-gereja diam, bahkan dalam sejumlah kasus, ikut mengafirmasi ketakutan terhadap Islam sebagai misi penyelamatan budaya Barat. Bukankah Yesus justru merangkul sesama, bukan menolak ataupun mendiskriminasinya?

Di Indonesia, ironi berlanjut. Umat Islam yang notabene mayoritas kerap lupa bahwa dominasi bukanlah mandat ilahiah. Gereja yang dibakar, izin rumah ibadah yang dipersulit, dan stigmatisasi terhadap minoritas Kristen, semua dilakukan dengan dalih menjaga akidah dan mencegah kristenisasi. Padahal, Nabi Saw. justru menandatangani Piagam Madinah yang mengafirmasi hak hidup bersama antaragama. Islam tidak mengajarkan diskriminasi sesama.

Kurban sendiri, jika ditarik dari genealogi maknanya, bukanlah soal menyembelih kambing atau sapi. Ia adalah ujian keberanian moral melawan kecenderungan manusiawi yang selalu ingin memaksakan Tuhan atas orang lain. Fanatisme menjadi bentuk paling banal dari kesombongan Rohani, membungkus nafsu kekuasaan dengan jubah keimanan. Padahal, ekstremisme tidak pernah diajarkan, apalagi dibenarkan, oleh agama apa pun.

Menyembelih Fanatisme di Era Krisis Humanisme

Hidup di era yang disebut ‘modern dan canggih’ namun diwarnai berbagai kebencian purba antarsesama merupakan problem serius. Jalanan kota dan mimbar-mimbar suci tak jarang terjerembab paradoks menyedihkan: manusia berteriak atas nama Tuhan, namun menindas sesama makhluk Tuhan. Inilah krisis paling sunyi dari zaman ini, era di mana kemanusiaan atau humanisme berada di titik nadir paling menyedihkan.

Di tengah kekacauan ini, konsep khalifah fil ardh dalam Islam yang idealnya bermakna wakil Tuhan di bumi terlalu sering dipelintir jadi proyek dominasi, ekspansi identitas keislaman, bahkan supremasi moral untuk membungkam yang lain. Kekhalifahan tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab spiritual untuk merawat bumi (ishlah al-ardh) dan merangkul sesama (habl min al-nas), melainkan lisensi Ilahi untuk saling menaklukkan.

Jika ditelisik, fanatisme tumbuh subur karena agama kehilangan satu elemen penting: akhlak. Sebagai khalifah, manusia ditugaskan untuk menjaga harmoni antara ciptaan Sang Mahakuasa. Namun saat kekuasaan terlampau menggoda daripada kasih sayang, dan saat kebenaran telah dimanipulasi jadi alat untuk menghukum orang lain, maka kekhalifahan berubah jadi tirani dan otoritarianisme.

Lantas, bagaimana cara menyembelih fanatisme? Tidak cukup hanya dengan retorika moderat. Tidak ad acara lain, hanya bisa dipotong akarnya melalui kurban etis: pengorbanan ego kolektif, ketulusan untuk belajar dari yang berbeda, dan keberanian untuk mengakui bahwa kebenaran tidak boleh dimonopoli. Setiap umat beragama wajib meyakini keyakinan masing-masing, tanpa harus menghakimi kebenaran dirinya atas orang lain. Berbahaya.

Dalam ajaran Yahudi, konsep tikkun olam, memperbaiki dunia, merupakan tugas etis setiap manusia. Dalam Kristen, kasih kepada musuh adalah esensi pesan Yesus. Dalam Islam, kekhalifahan berarti amar makruf nahi mungkar dalam worldview cinta, bukan ekstremisme. Tiga agama Abrahamik ini semestinya jadi garda depan dalam menyembuhkan dunia dari luka kolektif, bukan justru menjadi penggalang baru kebencian global antarumat.

Sayang sekali hari ini keadaannya berbeda. Para pemimpin agama, entah rabbi, pastor, atau ustaz, kerap sibuk menjaga identitas kelompok dan abai untuk menyuarakan penderitaan lintas batas—Palestina, Ukraina, dll. Maka, umat dari agama-agama Abrahamik memiliki tugas besar: sembelihlah fanatisme melalui moderasi keagamaan! Setiap jiwa dituntut menjadi Ibrahim; sang pemotong ego, jihadis kehidupan, dan sang hamba Tuhan yang sejati. []

Ahmad Khoiri

Recent Posts

Grebeg Besar Iduladha, Titik Temu Dakwah Spiritual & Sosial di Yogyakarta

Sabtu (7/6/2025), empat ekor gajah yang berada di baris terdepan mengayunkan langkah kaki menuju Pura…

2 jam ago

Mengeliminasi Ketakutan yang Tidak Logis terhadap Perbedaan

Ketakutan terhadap hal yang berbeda telah lama menjadi bagian dari perjalanan sejarah umat manusia. Sejak…

2 jam ago

Kurban dan Penyembelihan Fanatisme: Refleksi Filosofis dan Historis

Dalam samudra intelektual Islam, setiap ritual ibadah adalah sebuah tindakan semiotik berlapis, sebuah tanda yang…

2 jam ago

Tuhan Tak Rela Manusia Terluka dan Mengapa Anda Melukai Manusia Mengatasnamakan Tuhan?

Cobalah kita renungkan bersama, esensi di balik ibadah Qurban di momentum Idul Adha itu. Bahwasanya,…

1 hari ago

Tasawuf Kurban; Menundukkan Ghuluw dalam Beragama

Dalam sebuah siniar, intelektual muslim dan kiai Ulil Abshar Abdalla ditanya. Mengapa ia sekarang aktif…

1 hari ago

Membantah Zakir Naik; Indonesia Bukan Negara Sekuler

Penceramah yang dikenal suka merendahkan agama lain, Zakir Naik tampil dalam podcast Richard Lee. Lee…

2 hari ago