Narasi

Literasi Digital di Era Gempuran Radikalisasi Online

Di era kemajuan digital dengan hadirnya media sosial,  banyak orang yang tergiur dengan sebuah informasi/narasi, hanya karena viral. Sehingga, kecenderungan semacam ini, mulai melupakan (nilai fundamental) di balik informasi/narasi tersebut yang pada akhirnya kita sering-kai terjebak ke dalam provokasi berbasis ideologis pemecah-belah.

Kenyataan ini pada dasarnya membuktikan bahwa kadar literasi kita begitu rendah di era digital. Maka, di sinilah pentingnya literasi digital di era gempuran radikalisasi online. Agar, tidak terjebak ke dalam propaganda berbasis narasi-ideologis yang menjadikan kita penuh kebencian dan intolerant.

Literasi digital pada dasarnya mendorong daya kreativitas diri berselancar di media sosial. Peka dalam menemukan sebuah fakta informasi/narasi yang tersebar. Menggunakan daya orientasi afektif dalam menganalisis, memahami dan mencermati nilai “ideologis” di dalamnya. Serta, melek atas segala motif-motif yang terkandung dalam sebuah informasi/narasi yang berserakan.

Setidaknya ada dua peran penting di dalam membangun kesadaran literasi digital di era gempuran radikalisasi online. Pertama, seseorang bisanya memilih untuk memosisikan dirinya sebagai “aktor-creativity”. Maka secara substansi, haruslah melakoni peranan sebagai (pembuat dan penyebar) informasi atau konten yang akan disuguhkan ke publik. Dengan benar-benar mempertimbangkan kualifikasi konten yang akan dibuat.

Maka sebagai konten-kreator, kewajiban untuk menampilkan edukasi “pesan” yang positif, anti provokatif, edukasi kesadaran bangsa dan memperkuat silaturahmi menjadi nilai fundamental yang harus dipegang. Karena, menjadi “aktor-creativity” jangan hanya ingin viral demi adsense lalu menyuguhkan sebuah informasi yang cenderung membangun sentiment keagamaan yang memecah-belah tatanan kita di negeri ini.

Kedua, banyak di antara kita yang memosisikan sebagai “Connoisseurs” penikmat, pembaca dan penonton terhadap segala informasi dan konten yang tersebar. Pada ranah inilah masyarakat sering kali terjebak ke dalam arus informasi yang berpotensi memprovokasi, ujaran kebencian dan kebohongan yang membodohi.

Maka, kewajiban seorang penikmat, pembaca dan penonton terhadap konten dan informasi yang tersebar. Sejatinya harus benar-benar meng-counter dirinya untuk menelaah, mengkritisi, bijak memilah-memilih dan mengedepankan nalar kritis terhadap isi konten dan informasi yang tersebar.

Dua peran antara penikmat dan kreator ini sejatinya harus benar-benar membangun kesadaran literasi tersebut. Yaitu berjihad di dalam menangkal arus informasi yang berpotensi merusak, memecah-belah dan membodohi masyarakat. Dengan dua peranan di atas, sejatinya kita tidak akan termakan dengan beragam narasi gempuran radikalisasi online yang massif berserakan di media sosial.

Karena selama ini yang menjadi kecerobohan, kelemahan dan kerapuhan kita di tengah arus informasi dan kemajuan teknologi yang semakin terus berubah. Dangkal-nya kita untuk benar-benar memahami isi konten atau informasi tersebar. Kita terimajinasi di dalamnya karena viral lalu melupakan kebenaran atau fakta yang sebenarnya.

Banyak di antara kita yang sering-kali terlena ke dalam berita-berita viral. Lalu menghayati informasi atau konten yang telah tersebar dan kita sering-kali lupa bagaimana cara melihat, apakah informasi tersebut memiliki nilai ideologis yang memecah-belah atau tidak, kita justru terlena dengan sebuah informasi yang tengah viral dan kita sering terjebak ke dalam keputusan buruk menerimanya.

Maka sangat relevan, jika ada istilah masyarakat yang teralienasi di era post-truth. Karena, kesadaran literasi yang rendah di era digital lalu terjebak ke dalam sebuah narasi/informasi pemecah-belah. Karena kebenaran sudah ditentukan seberapa banyak yang menonton, like dan setuju akan informasi dan konten tersebut, bukan lagi ditentukan berdasarkan fakta yang sebenarnya.

Untuk itu, semangat literasi digital di era gempuran radikalisasi online di dalam membangun tembok NKRI yang begitu kokoh dan anti terhadap provokasi dapat kita bangun dengan dua peranan penting. Pertama, yaitu memosisikan sebagai “Aktor” yang bergerak aktif di dalam menyebarkan konten yang positif, edukatif dan memperkuat silaturahmi kebangsaan dan kesadaran nasionalisme.

Kedua, memosisikan dirinya sebagai penikmat yang tidak hanya menyelami akan konten dan informasi yang beredar. Tetapi membangun semacam kesadaran untuk mengamati, mengkritisi, menelaah, kritis dan bijak di dalam memilah dan memilih setiap informasi dan konten yang beredar. Agar tidak terjebak ke dalam informasi yang mengadu-domba, memecah-belah dan membuat kerusakan di era gempuran radikalisasi online.

This post was last modified on 4 Agustus 2023 2:38 PM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

18 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

18 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

18 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago