Tokoh

Malala Yousafzai; Suara Lirih Tentang Perdamaian dan Anti-Kekerasan

Malala Yousafzai bukanlah sekadar nama perempuan asal Pakistan biasa. Namanya telah menjadi simbol perlawanan terhadap penindasan dan kekerasan pada perempuan serta simbol perjuangan menegakkan kebebasan dan perdamaian. Malala pertama kali menjadi trending topic dunia internasional pada usia ke-15 tahun. Tepatnya 9 Oktober 2012, ketika bus yang membawanya ke sekolah dicegat oleh kelompok militan-radikal Tahreeke Taliban Pakistan yang notabene merupakan cabang Taliban Afganistan.

Para milisi Taliban itu naik ke bus dan meneriakkan nama Malala. Sejurus kemudian salah satu Taliban itu memberondongkan peluru ke arah Malala. Tiga peluru muntah melesat ke arah gadis belia itu. Satu bersarang bahu kanan setelah menembus batok kepalanya. Beruntung, nyawanya selamat setelah empat hari kemudian diterbangkan ke Birmingham untuk mendapat perawatan.

Malala menjadi target pembunuhan Taliban setelah lantang menyuarakan penghentian kekerasan serta menuntut hak perempuan bersekolah. Ia menyuarakan itu di usianya yang belum genap 10 tahun. Maka, Malala yang lahir di Pakistan 12 Juli 1997 itu dianggap musuh besar oleh kelompok Taliban yang terkenak misoginis (membenci perempuan). Pasca selamat dari pembunuhan Taliban, Malala bersekolah di Birmingham Inggris, dn tetap aktif menyuarakan hak perempuan, perdamaian, serta anti-kekerasan.

Atas keberanian dan kegigihannya menyuarakan perdamaian dan anti-kekerasan itu, di usianya yang ke-17 tahun ia dianugerahi penghargaan Nobel di bidang Perdamaian. Namanya sejajar dengan para nobelis lain seperti Barrack Obama, Liu Xiaobo, Muhammad Yunus, Dalai Lama, Aung Sang Suu Kyi, dan nama-nama besar lainnya.

Pelajaran Penting dari Sosok Malala

Setidaknya ada tiga hal penting yang bisa kita teladani dari sosok Malala. Pertama, keberaniannya memperjuangkan perdamaian di Pakistan. Seperti kita tahu, Pakistan identik sebagai wilayah konflik yang sarat kekerasan. Keberadaan Tahreeke Taliban sebagai kelompok radikal-militan di Pakistan telah menjadi duri dalam daging bagi kehidupan warganya, termasuk Malala. Masa kecilnya akrab dengan praktik kekerasan, seperti penembakan sampai bom bunuh diri. 

Kedua, keberaniannya berhadapan dengan kelompok militan-radikal Taliban. Sepak terjang Taliban sebagai kelompok vigilantis yang berevolusi menjadi kelompok teroris tidak diragukan lagi. Aksi penyerangan bersenjata dan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Taliban ialah bukti betapa destruktifnya kelompok ini. Namun, Malala berani memperjuangkan opini secara politis-ideologis bertentangan dengan Taliban.

Ketiga, komitmennya untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Bagi Malala, konsep domestifikasi perempuan ala Taliban merupakan praktik kuno yang harus dilawan. Maka, ia memperjuangkan hak perempuan untuk sekolah, bekerja, dan berkiprah di ruang publik. Ketika perempuan memiliki posisi setara dengan laki-laki, mereka dapat berkontribusi lebih banyak dalam berbagai bidang kehidupan.

Terakhir, sikapnya yang gigih menentang praktik kekerasan berdalih agama. Menurutnya, agama seharusnya menghadirkan perdamaian, bukan permusuhan apalagi kekerasan. Maka, ia sangat menentang doktrin Taliban yang menghalalkan cara kekerasan untuk mencapai tujuan politisnya. Sikap anti-kekerasan ini terus ia perjuangkan sampai sekarang.

Suara Malala menentang penindasan, kekerasan, dan memperjuangkan perdamaian memang terdengar lirih. Lirih karena suara Malala justru terdengar nyaring di dunia Barat. Ia diundang di forum-forum internasional untuk menjelaskan pemikiran-pemikirannya. Ia banyak diliput media-media besar Barat. Namun, di negaranya sendiri, dan di dunia Islam sendiri, ia cenderung minim publikasi. Namanya tidak terlalu dikenal.

Meneladani Malala dalam Konteks Keindonesiaan

Momen Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 9 Maret idealnya menjadi momentum untuk mempopulerkan sosok Malal di dunia Islam, termasuk Indonesia. Umat Islam, khususnya perempuan harus mengenal sekaligus meneladani komitmen Malala dalam menyuarakan perdamaian dan anti-kekerasan.

Kondisi Indonesia hari ini memang jauh lebih baik ketimbang Pakistan, apalagi Afganistan. Tidak ada Taliban di wilayah Indonesia. Setidaknya sampai hari ini belum ada kelompok militan yang sekuat Taliban eksis di wilayah NKRI. Namun, gejala vigilantisme (main hakim sendiri) dan kekerasan atas dalih agama nyatanya tetap ada di negeri ini. Jika disikapi permisif, bukan tidak mungkin praktik kekerasan itu akan bereskalasi menjadi gerakan teror destruktif seperti Taliban di Pakistan dan Afganistan.

Maka, sebagai perempuan yang hidup di negara mayoritas muslim namun juga negara majemuk ini, kita harus meneladani sikap dan perjuangan Malala dalam hal menyuarakan perdamaian dan anti-kekerasan. Sebagai perempuan kita harus kritis pada doktrin kelompok radikal yang gemar menebar teror dan kekerasan dengan dalih ajaran agama. Keberanian perempuan menentang doktrin kekerasan dan aksi teror akan menjadi stimulus penting dalam gerakan anti-radikalisme.

Peran perempuan sebagai agen perdamaian dan anti-kekerasan itu kiranya bisa dimulai dari lingkup paling kecil, yakni wilayah domestik. Di ranah ini, peranan perempuan bisa dimanifestasikan ke dalam praktik pengasuhan anak yang mengedepankan pendidikan karakter. Selanjutnya, di ranah publik perempuan kiranya bisa mendorong terwujudnya ekosistem sosial yang steril dari kultur kekerasan dan ekstremisme.

This post was last modified on 7 Maret 2023 2:47 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago