Kekerasan yang terus hadir di permukaan bumi, salah satu sumbernya, adalah mudahnya manusia meluapkan marah. Marah bisa terjadi di keluarga, masyarakat, sekolah, dan juga dalam bernegara. Lihat saja wakil rakyat yang marah, meja dan kursi saja dibanting. Lihat saja mereka yang marah dan membawa bom, ketika meledak nyawa hilang. Lihat saja orang tua atau guru sedang marah, maka anak-anak mengalami kekerasan fisik dan tekanan psikologis yang sangat berbahaya. Di sini, marah selalu menjauhkan manusia dari kedamaian. Marah mendekatkan kepada kekerasan dan kehancuran.
Inilah yang, ketika Nabi ditanya oleh sahabat Jariyah bin Qudamah, “berilah aku wasiat”, kemudian Nabi menjawab: “jangan marah”. Orang itu mengulangi pertanyaannya berulang-ulang, kemudian Nabi Muhammad menjawab: “jangan marah”. (HR. Bukhori).
Jariyah bin Qudamah memang meminta wasiat yang singkat dan padat, yang mengumpulkan banyak kebaikan. Nabi sampai berulang-ulang menjawabnya. Ini membuktikan bahwa marah adalah pokok segala kejahatan, dan menahan darinya adalah pokok segala kebaikan.
Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa marah adalah nyala api neraka Allah yang menjilat hingga ke relung hati. Orang yang tidak mampu menahan amarahnya identik dengan orang yang telah menggeser perilakunya pada perangai setan yang memang diciptakan dari api. Oleh Karena itu, kemampuan mengendalikan nafsu amarah dipandang penting oleh agama.
Dalam hal ini, Nabi menjelaskan: “Bukanlah orang yang kuat itu karena kemampuannya bergulat, tetapi orang yang kuat itu adalah orang yang bisa mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim).
Sabda ini sangat tegas. Sebagai contoh, jihad seringkali dimaknai sebagai sesuatu yang “gagah”, seperti berperang dan mendirikan negara. Padahal, ketika selesai perang Badar, Nabi justru mengatakan: “kita kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” “Apa itu jihad yang besar,?” tanya sahabat. “Jihad dalam mengendalikan hawa nafsu,” jawab Nabi. Salah satu jihad mengendalikan hawa nafsu itu dilakukan ketika marah.
Penulis Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka, menjelaskan bahwa marah itu ada tiga; marah terpuji, marah tercela, marah terlarang. Marah terpuji itu kalau ada yang melanggar batasan syariat Allah. Nabi juga “marah”. Marah tercela adalah marah karena dorongan hawa nafsu. Marah tercela harus dihindari. Marah terlarang itu timbul dari sikap pongah, congkak, dan merasa paling hebat dari yang lain. Ujung dari kemarahan ini adalah penyakit tahawur (berani babi) dan jubun (pengecut).
Kemarahan yang terjadi akhir-akhir justru melahirkan konflik, kekerasan, bom bunuh diri, pembantaian, dan penumpahan darah. Semua berpangkal dari sikap marah. Makanya, praktik dalam menerapkan syariat adalah dengan kasih sayang. Marah justru membuat syariat kehilangan visi kemaslahatan.
Mencegah dan Mengelola Marah
Marah memang terkadang tidak kuasa menahan. Karena marah memang alamiah. Makanya, perlu upaya mencegah dan mengelolanya dengan baik. Imam al-Ghazali menjelaskan upaya mencegah amarah. Pertama, menahan secara bertahap dengan latihan secara intensif. Bukan menghapus total sifat amarah. Karena sifat ini masih diperlukan sebagai alat untuk menghadapi orang-orang kafir, mencegah kemungkaran dan melakukan berbagai kebaikan yang memerlukan sifat marah. Untuk mengendalikan bisa dilakukan dengan perjuangan (mujahadah) yakni membiasakan bersikap lembut dan menahan diri dengan mencegah kemarahan. Kedua, menahan amarah ketika mencapai klimaksnya dengan jalan berdiam diri. Dan hal ini dapat ditempuh dengan ilmu dan amal.
Secara praksis, orang yang marah hendanya melakukan hal-hal berikut: 1) berlindung kepada Allah dari godaan syaitan, yakni membaca ta’awudz. 2) mengucapkan kalimat yang baik, berzikir, dan istighfar. 3) hendaklah diam, tidak mengumbar amarahnya. 4) dianjurkan berwudlu. 5) merubah posisi, apabila marah dalam keadaan berdiri hendaklah duduk, apabila dalam keadaan duduk, maka hendaklah berbaring. 6) jauhkan hal-hal yang membawa kepada kemarahan. 7) berikan hak badan untuk istirahat. 8) ingatlah akibat jelek dari amarah. 9) ingatlah keutamaan orang-orang yang dapat menahan amarahnya.
Selain itu, menurut Husaini (2013), marah juga mesti dikelola secara profesional sehingga menimbulkan sikap syaja’ah (keberanian). Itulah keberanian yang berlandaskan kebenaran. Ali bin Abu Thalib adalah seorang pendekar yang gagah berani. Dalam sebuah pertempuran, Ali berhasil membekuk seorang lawan. Tinggal satu langkah lagi Ali akan mengakhiri riwayat musuh itu. Tiba-tiba, musuh yang tidak berdaya itu meludahi Ali tepat di mukanya. Spontan, Ali melepaskannya. Ada apa gerangan? Ternyata Ali tidak mau membunuh musuh hanya karena marah akibat diludahi, bukan tulus karena membela agama Allah. Sungguh sebuah contoh sikap pemberani yang mampu mengatasi kemarahan.
Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…
Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…
Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…
Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…
Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…