Categories: Narasi

Masker, Corona, dan Solidaritas Kemanusiaan Kita

Pasca pengumuman Presiden bahwa ada dua WNI yang positif kena virus corona, jagat maya jadi heboh. Semua media ikut mewartakannya, dan tak sedikit yang mendramatisir dan justru membuat ketakutan. Soalah-olah, corona adalah kiamat.

Corona memang sangat berbahaya, tetapi mendramatisir dan melebih-lebihkan pemberitaan itu jauh lebih berbahaya. Di tengah ketakutan dan kecemasan yang dibutuhkan adalah upaya saling menguatkan, saling merangkal, dan saling bergandengan tangan melawan virus berbahaya itu.

Anehnya, ada saja pihak-pihak tertentu yang memancing di air keruh, mengambil kesempatan di tengah kesempitan dengan mengambil keuntungan  dengan menimbun barang-barang kebutuhan medis seperti masker dan sanitizer. Sangat memprihatinkan.

Di tengah tengah deraan virus korona di Indonesia, yang kita butuhkan adalah solidaritas kemanusiaan. Kesampingkan semua muslihat untuk mencari keuntungan sesaat. Kita harus sama-sama berdiri tegak untuk melawan ketakutan itu. Bukan justru saling menakutkan dengan menimbun dan membuat harga mahal.

Mungkin orang-orang yang berperilaku demikian itu tidak banyak, hanya beberapa gelintir dibandingkan populasi penduduk Indonesia. Namun, yang setitik itu tetap saja berdampak merusak bangsa.

Segelintir orang itu adalah fakta bahwa solidaritas kemanusiaan kita sedang sakit. Kita perlu sama-sama memulihkannya. Solidaritas yang dulu kita banggakan, makin ke sini cara pikir anak bangsa semakin pragmatis, berupaya mengambil keuntungan sebesar-besarnya meski itu mencedarai kemanusiaan.

Baca Juga : Solidaritas Kemanusiaan yang Keblablasan

Penimbunan barang dan modus mengambil untung dengan menaikkan harga berlipat- lipat di atas kewajaran seperti itu berdampak merugikan warga masyarakat yang sedang membutuhkan. Bukan saja warga yang sedang dilanda “kesadaran baru” untuk melindungi kesehatan diri, namun juga warga penderita beberapa penyakit yang memang membutuhkan masker, ada atau tidak ada korona, seperti penderita leukemia misalnya.

Ke mana solidaritas sosial yang selama ini menjadi kebanggaan sebagai karakter bangsa? Apakah bangsa ini sedang menuju kegagalan untuk hidup sebagai bangsa ketika situasi musibah masih menjadi lahan mengeruk keuntungan? Kita makin malu melihat fenomena ini ketika pada saat yang sama, di negara-negara yang kita tuding sebagai komunis atau kapitalis, banyak pihak membagikan masker gratis bagi warga.

Ketakutan terhadap virus corona semakin akut ketika instrumen medis seperti maske dinaikkan harganya. Orang bukan hanya panik menghadapi corona, tetapi panik juga menghadapi kelangkaan masker dan sanitizer.

Bukan kali pertama di Indonesia terjadi fenomena penimbunan barang untuk menciptakan kelangkaan. Kita sering disuguhkan tontonan tentang ini. Solidaritas yang dulu kita puja-puji ternyata hanya solidaritas semu. Ketika dalam kesulitan masih banyak pihak yang berupaya mengambil keuntungan.

Peristiwa ini patut menjadi perhatian serius semua pihak. Langkah-langkah hukum sudah pasti sangat tepat dan harus dilakukan. Setelah penindakan hukum ditempuh, penguatan kembali solidaritas bangsa mutlak perlu. Jika peristiwa semacam ini dibiarkan, secara tidak sadar kita merusak sistem perilaku berbangsa dan bernegara.

Beberapa kali survei internasional menyebutkan masyarakat Indonesia sebagai masyarakat paling dermawan berdasarkan faktor kerelaan berbagi dan sikap tolong- menolong. Sikap luhur itu justru paling diuji ketika sedang terjadi bencana dan musibah besar, ketika seseorang dihadapkan pada pilihan untuk berkorban atau menangguk keuntungan. Sebab, saat terjadi kesulitan itulah muncul karakter asli manusia.

Seseorang akan membuktikan diri sebagai sahabat sejati ketika ada pada saat kesulitan dan kesusahan paling dalam menimpa. Seperti diingatkan Direktur Jenderal WHO, Zuhairi Misrawi, musuh terbesar kita bukanlah virus korona melainkan ketakutan, rumor, dan stigma. Sedangkan, aset paling berharga adalah fakta, akal sehat, dan solidaritas. Saatnya bangsa ini memperkuat aset-aset berharga itu. Mari kita kembali ke wujud asli bangsa ini sebagai bangsa yang berprinsip Kemanusiaan yang adil dan beradab. Kemanusiaan harus jadi standar bersama dalam setiap kondisi. Suka, duka. Musibah, atau gembira. Kemanusiaan itu harus diiringi dengan keadilan dan keadaban.

This post was last modified on 11 Maret 2020 3:51 PM

Ahmad Kamil

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

10 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

10 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

10 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

10 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago