Di dalam wilayah “religiositas” atau pengalaman seseorang dalam beragama experience of religions, pada hakikatnya mengacu kepada tendensi agama sebagai “sel yang hidup” Living cells dalam diri manusia. Artinya, nilai-nilai etis di dalam beragama, seyogianya meniscayakan sesuatu yang “menggerakkan” hati, pikiran, perencanaan dan segala tindakan manusia yang lebih etis. Termasuk kesadaran untuk pro-aktif di dalam bernegara dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku, misalnya.
Pada ranah yang semacam inilah, saya tertarik untuk melihat dinamika kematian religiositas, yang sedang memengaruhi manusia di dalam bernegara (kematian religiositas bernegara). Karena sangat relevan saya katakan, bahwa orang yang sering-kali membangkang terhadap hukum negara, membangkang terhadap semua aturan yang ada dalam negara, dengan mengatasnamakan “prinsip beragama” itu sebetulnya hanya “menggerakkan agama” demi pemuas hasrat akalnya, pikirannya, perencanaan-nya dan tindakannya sebagai manusia yang sejatinya condong politis dan supermassive.
Karena religiositas beragama bukan sesuatu yang sifatnya “memperalat” agama. Layaknya senjata yang ditodongkan secara paksa, agar mengikuti hasrat, kemauan akal, pikiran, perencanaan dan tindakan manusia. Karena wilayah-wilayah yang semacam ini menurut Saiful Bahri disebut Sebagai “Supremasi “politik teologis” beragama, yang tegak bukan sebagai “kesadaran religiositas” yang menjembatani pro-eksistensi manusia di dalam beragama”.
Artinya, agama mati secara fungsi, mati secara orientasi, mati secara refleksi dan mati secara eksistensi yang etis dan objektif. Sehingga, agama hanya semacam dogma, kewajiban dan “alat politis” yang bergerak mengibarkan bendera ke mana-mana meneriakkan kebenaran agama-Nya. Tetapi nilai religiositas secara fungsional itu mati sebagai sistem nilai. Maka, layaknya “benda mati” orang justru bisa menggunakannya kepada sesuatu yang tidak ideal, non-etis dan bahkan melakukan kejahatan-kejahatan kemanusiaan dengan menggunakan agama mati secara fungsi tadi.
Saya juga tidak sepenuhnya setuju bagaimana religiositas beragama hanya terpaku terhadap shalat atau ibadah saja kepada Tuhan. Di sini memang tidak membuat kadar “religiositas mati”. Tetapi justru mengakibatkan masa hidup religiositas yang pendek dan “pincang”. Artinya, nilai religiositas yang berarti penghayatan, penyelaman nilai dan penebalan pemahaman berfungsi untuk menghidupkan kesadaran, perencanaan, pikiran dan tindakan manusia dalam banyak hal. Karena semesta religiositas beragama pada hakikatnya menjembatani beragam dimensi nilai dalam beragama. Baik bagaimana kesadaran etis seseorang di dalam ber-sosial, bernegara, berhubungan dengan mereka yang berbeda agama serta rasa tanggung-jawab dalam hidupnya.
Jika pemahaman-pemahaman yang amat luas dan mendalam tentang keagamaan tersebut yang disadari sebagai “penghayatan diri” bagaimana nilai religiositas di situ hidup dan menggerakkan akal, hati, pikiran, perencanaan dan keputusan untuk bertindak. Sejatinya tidak mungkin seseorang menolak untuk taat terhadap hukum negara yang berfokus kepada maslahah banyak umat. Sangat tidak mungkin seseorang berbuat kemungkaran. Karena agama hidup dalam dirinya sebagai “penggerak”. Karena orang yang menggerakkan agama itu sebetulnya telah membunuh “religiositas” secara fungsional. Sehingga, agama bisa dijadikan alat. Layaknya benda mati yang bisa digunakan untuk kepentingan apa saja yang menurut dirinya menguntungkan.
Sehingga, saya sepenuhnya sangat meyakini bahwa orang yang sering-kali membangkang terhadap hukum negara. Menolak sistem ke pemerintahan negara yang mengedepankan kebersamaan dan kedamaian tanpa konflik dan terhindar pertumpahan darah. Lalu berdalih bahwa dirinya memiliki “prinsip beragama”. Dia tidak menyadari bahwa sebetulnya dia telah kehilangan nilai religiositas yang hidup. Apakah dia sengaja membunuhnya atau membiarkan mati. Tetapi “religiositas beragama” di dalam dirinya sudah mati.
Maka, di sinilah sebetulnya “akar rumput” sepanjang sejarah perjalanan manusia dalam beragama. Yaitu kematian “religiositas” yang dihadapi dirinya. Sehingga, agama tidak lagi hidup sebagai ruh kesadaran manusia untuk berpikir, bertindak dan melakukan perencanaan. Agama hanya simbol, alat dan identitas tanpa merekonstruksi ke dalam kesadaran manusia karena mengalami kematian religiositas. Sehingga, sesuatu yang mati, niscaya akan mudah digunakan dan dimanfaatkan kepada sesuatu yang sebetulnya di luar prinsip ideal agama itu hadir ke dalam peradaban manusia. Layaknya pembangkangan terhadap hukum negara dan pelanggaran kemanusiaan yang mengatasnamakan agama. Hal ini sebagai bukti nyata dari “kematian religiositas” seseorang di dalam bernegara tersebut.
This post was last modified on 23 Maret 2021 1:59 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…