Narasi

Mbah Wahab: Nasionalisme ditambah Bismillah, Itulah Islam

Setiap orang yang dilahirkan di belahan bumi mana pun, pasti punya naluri dan dorongan untuk mencintai dan membela negeri kelahirannya. Tanah, air, alam, dan saudara sesama manusia di lingkungan sekitar, adalah hal-hal yang turut membentuk diri seseorang sepanjang hidup, sehingga terus terpatri dalam diri seseorang untuk selalu merindukannya jika jauh dan membelanya jika dirusak atau terancam karena ulah bangsa lain.

Hasrat untuk mencintai tanah air tersebut, pada gilirannya mendorong kita menghormati, menghargai, dan merawat apa-apa yang menjadi bagian dari identitas bangsa. Tak sekadar sikap-sikap simbolis seperti menyanyikan lagu kebangsaan, menghormati lambang negara, bendera, juga bahasa, dorongan tersebut juga berbentuk semangat untuk selalu menjaga dan merawat apa yang sudah menjadi pondasi bangsa sejak lahir. Dalam konteks bangsa Indonesia, hasrat tersebut bisa berbentuk semangat untuk menjaga keberagamaan dan keutuhan bangsa.

Wujud nasionalisme seperti ini tak bisa lepas dari sejarah perjuangan para pahlawan yang telah berjuang mengusir penjajah, serta para pendiri bangsa yang telah menyatukan dan membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas jasa para pahlawan dan pendiri bangsa, kita terdorong untuk selalu merawat dan menjaga bangsa ini dari pelbagai ancaman pertikaian dan perpecahan.

Namun, sikap nasionalisme tersebut belakangan mulai dipermasalahkan sebagian kalangan. Seperti kelompok Islam radikalis yang menyatakan bahwa nasionalisme bertentangan dengan ajaran agama. Kelompok tersebut menebar keraguan di tengah masyarakat dengan menyatakan bahwa nasionalisme adalah haram. Masyarakat Indonesia yang terus bersatu dan saling menghargai, sebagai representasi dari nasionalisme dan semangat keindonesiaan, dianggap mengganggu agenda kelompok-kelompok ekstremis, baik agenda-agenda yang bersifat ideologis maupun politis.

Sikap-sikap nasionalis yang bersifat simbolis dianggap haram. Seperti penghormatan terhadap berbagai lambang negara yang dianggap perbuatan syirik. Akibatnya, masyarakat Islam di Indonesia yang selama puluhan tahun hidup damai, bersatu, dan cinta dengan negerinya, pelan-pelan dibuat meragu. Masyarakat seakan dihadapkan pada dua pilihan, antara nasionalisme atau mentaati ajaran agama. Seakan-akan, jika memilih salah satu, berarti harus meninggalkan yang lain.

Membela bangsa berarti membela agama

Menyilapi kondisi tersebut, kita mesti berpikir lebih jernih. Jika kita melihat sejarah perjalanan bangsa ini, kita akan menemukan jalinan harmonis antara semangat nasionalisme dan ketaatan terhadap agama. Kita akan sadar bahwa keduanya bukan hal yang bertentangan atau saling menegasikan satu sama lain. Di masa awal kemerdekaan dan bangsa penjajah masih berupaya mengembalikan kekuasaan, kita melihat semangat beragama menjiwai sikap patriotik dan nasionalisme yang menggerakkan masyarakat melawan penjajah.

Hal ini tersebut tak lepas dari peran ulama dan kiai yang menjadi penggerak masyarakat untuk berperang mengusir penjajah. Saat semangat membela bangsa sedang sangat diperlukan, para ulama dan kiai dengan tegas menyuarakan kewajiban berperang melawan penjajah, sebagai bentuk jihad memerangi kezaliman dan kemunkaran yang dilakukan bangsa kolonial. Resolusi Jihad yang dikeluarkan ulama besar Hadratusyeikh KH. Hasyim Asy’ari memberi gambaran tersebut. Ada beberapa kisah yang menarik kita simak untuk memahami bagaimana hubungan agama dan nasionalisme.

Suatu ketika, Soekarno bertanya pada KH. Hasyim Asy’ari, “Apakah hukumnya membela tanah air bukan membela Allah, membela Islam atau membela Al-Quran? Sekali lagi, membela tanah air?”. Menurut Abdul Hadi (2018: 152-153), pertanyaan Soekarno tersebutlah yang kemudian menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi keputusan KH Hasyim Asy’ari dan beberapa ulama lainnya untuk mengeluarkan Resolusi Jihad.

Jika diperhatikan, pertanyaan Soekarno seperti meminta kejelasan: apakah membela Tanah Air berarti bukan, bahkan bertolakbelakang, dengan membela Islam? Dan keputusan KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad menandakan bahwa antara agama dan nasionalisme bisa bersinergi, bahkan ajaran Isam bisa menjiwai nasionalisme. Dari ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, kita bahkan mengenal ungkapan hubbul wathon minal iman: cinta tanah air sebagian dari iman. Sebuah ungkapan yang tegas dan berani, berangkat dari semangat keislaman dan keindonesiaan yang khas dan kuat.

Tak berhenti di sana. Bung Karno, yang saat itu sedang berupaya keras menggalang nasionalisme bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan, juga meminta pendapat pada KH. Wahab Chasbullah, seorang ulama yang beliau anggap sebagai guru. “Pak Kiai apakah nasionalisme itu ajaran Islam?” tanya Bung Karno. Mbah Wahab menjawab tegas, “Nasionalisme ditambah bismillah itulah Islam. Kalau Islam dilaksanakan dengan benar pasti umat Islam akan nasionalis” (Khoirul Anam; 2005).

Bagi penulis, ungkapan  KH. Wahab Chasbullah menggambarkan bahwa semangat nasionalisme, seperti kecintaan pada bangsa dengan merebutnya dari cengkeraman penjajah—yang berbuat kerusakan bagi bangsa ini, merupakan bagian dari semangat menjalankan ajaran Islam jika diniatkan untuk melawan kemunkaran, kezaliman, dan upaya untuk kembali menciptakan kedamaian dan keadilan (di bumi Nusantara), sebagaimana ajaran Islam. “bismillah” menjadi penanda jika dorongan membela bangsa dan negara (melawan penjajah) saat itu diniatkan untuk berjuang di jalan Allah Swt.

Dari para ulama dan kiai di era perjuangan, kita disuguhi kebijaksanaan dalam menempatkan rasa nasionalisme dan ketaatan terhadap ajaran agama. Artinya, jalinan harmonis antara agama dan nasionalisme sejak dulu telah melahirkan kekuatan tersendiri bagi bangsa ini dalam menghadapi setiap tantangan zaman. Sekarang, di tengah berbagai tantangan bangsa seperti kemiskinan, korupsi, intoleransi, bahkan radikalisme-terorisme, diharapkan semangat nasionalisme dan ajaran agama bisa terus bersinergi dan tertanam dalam jiwa masyarakat Indonesia. Dari sana, kita menjadi masyarakat yang islamis dan nasionalis, untuk bisa membangun bangsa ini menjadi bangsa yang adil, sejahtera, dan selalu diberkahi kedamaian.

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

Recent Posts

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

14 jam ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

14 jam ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

14 jam ago

Buku Al-Fatih 1453 di Kalangan Pelajar: Sebuah Kecolongan Besar di Intansi Pendidikan

Dunia pendidikan pernah gempar di akhir tahun 2020 lalu. Kepala Dinas Pendidikan Bangka Belitung, pada…

14 jam ago

4 Mekanisme Merdeka dari Intoleransi dan Kekerasan di Sekolah

Masa depan bangsa sangat ditentukan oleh mereka yang sedang duduk di bangku sekolah. Apa yang…

1 hari ago

Keterlibatan yang Silam Pada yang Kini dan yang Mendatang: Kearifan Ma-Hyang dan Pendidikan Kepribadian

Lamun kalbu wus tamtu Anungku mikani kang amengku Rumambating eneng ening awas eling Ngruwat serenging…

1 hari ago