Kita pernah bersepakat bahwa media merupakan salah satu agen perubahan, yang dalam perjalanannya telah berkontribusi banyak bagi peradaban bangsa. Agaknya pernyataan tersebut harus kita aminkan bersama. Sebab sejak upaya memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini hingga menghantarkan perubahan dalam wajah reformasi kita, media terus menjadi bagian yang tak terpisahkan.
Dengan segala dinamikanya – media yang hadir tidak dalam ruang hampa, memiliki relasi menarik dengan pemerintah maupun dengan kelompok tertentu dalam ruang lingkup masyarakat. Interaksi yang mengetengah dalam pola relasi tersebut tidak melulu dalam bentuk dukungan an sich.
Kita bisa melihat keberagaman pola yang hadir antara media, pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan sejarah perkembangan media dalam rekam jejak bangsa ini. Kemudian kompleksitas relasi yang telah hadir bahkan semakin rumit pasca kemajuan teknologi menghinggapi peradaban manusia. Contoh sederhananya adalah dengan mencuatnya fenomena buzzer yang mewarnai dunia digital dengan informasi atau pun opini yang menunjukkan keberpihakannya pada salah satu pihak.
Dalam terjemahan sederhana, “penggaung” menjadi diksi yang cukup sering hadir menggantikan diksi “buzzer”, namun tanpa menggeser penggunaan diksi buzzer dan yang lainnya. Dalam banyak narasi belakangan ini, kita bisa melihat bahwa bukan hanya influencer dunia maya saja yang tengah sorotan. Buzzer pun tengah menjadi perhatian sebab belakangan mengalami pergeseran posisi, khususnya dalam kaitannya dengan fenomena sosial politik.
Baca juga : Membangun Jejaring Perdamaian
Ada yang menyebut hadirnya buzzer menjadi penanda bahwa saat ini dominasi interaksi sosial hadir dalam panggung dunia maya ketimbang dunia nyata. Namun ada pula yang berargumen bahwa dunia maya semata sarana dan bukan malah terjadi peralihan, seperti disebut sebelumnya. Hal yang tidak kalah heboh lagi adalah kecemasan masyarakat yang semakin menanjak dan mengharapkan pihak yang didefinisikan sebagai buzzer untuk dihilangkan saja.
Hal ini hadir berlatar kebingungan luar biasa pada level masyarakat yang dominan memperoleh informasi melalui gawai telekomunikasi mereka. Banyak yang menganggap kerja-kerja yang dilakoni oleh para buzzer adalah sebentuk pencarian keuntungan dari kekeruhan suasana yang ada dengan cara penyesatan masyarakat atau pun mengadu domba.
Bagaimana pun komentar yang hadir terkait buzzer ini, ada satu hal yang kita bisa sepakati bersama. Hal tersebut adalah populernya diksi buzzer atau penggaung dalam interaksi sosial yang pada gilirannya menuntut kita untuk memberikan perhatian pada fenomena yang tengah terjadi, sekaligus memperhatikan implikasinya pada masyarakat.
Kehebohan dunia maya dan realitas sosial kita belakangan memang cukup menghadirkan kekhawatiran, namun bukankah kita juga mestinya memaklumi bahwa hal tersebut hadir sebagai implikasi dari perkembangan teknologi. Inovasi elemen teknologi dan komunikasi dengan tujuan menghadirkan banyak kemudahan bagi manusia, telah menghantarkan banyak hal ke hadirat setiap individu. Kemudahan mengakses informasi dari belahan bumi mana pun tanpa perlu membuang waktu atau pun menempuh perjalanan jauh, menjadi sisi yang disukai oleh setiap individu. Efeknya memang cukup dahsyat. Bahkan media telekomunikasi dan informasi macam televisi, radio dan koran yang sebelumnya sangat digemari dalam kaitan mencari informasi dan hiburan, perlahan mendapat pesaing melalui gawai elektronik nir-kabel. Hal ini menjadi penawaran yang menarik bagi setiap individu manusia.
Pertarungan Buzzer untuk Demokrasi
Manusia memiliki akses luar biasa untuk tidak hanya berbagi informasi, namun juga berbagi pandangan. Pada gilirannya perkembangan dunia digital bahkan menyeret realitas sosial memasuki era post-truth. Ekses sederhana yang hadir adalah, kuasa untuk berargumen bukan lagi milik pihak-pihak yang selama ini dianggap memiliki kapital di bidangnya (Nichols, 2017). Kini siapa pun bisa mengomentari atau berargumen apa pun, meskipun tidak memiliki keahlian dalam bidang yang ia komentari.
Bila sudah demikian maka arus yang kuat tampak tidak mungkin lagi untuk bisa dibendung. Sebab bila membendung arus menjadi pilihan, maka risiko pengingkaran kebebasan berpendapat-lah yang akan muncul. Yang artinya pengkhianatan pula pada konsepsi demokrasi yang sejak awal kuat melantangkan kebebasan berpendapat sebagai credo-nya.
Langkah yang mungkin hadir berhadapan dengan realitas buzzer hari ini hanyalah memberikan ruang seluas-luasnya untuk menghadirkan pengetahuan tandingan. Bila meminjam sepenggal gagasan Demokrasi Radikal yang disuarakan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Moufee – lalu mengkontekskannya dalam realitas hari ini, maka kehadiran buzzer penanding-lah yang mungkin menjadi anti-tesis atas keadaan yang ada. Artinya, setiap insan yang memiliki keprihatinan terhadap maraknya peredaran informasi hoax atau pun kecenderungan mengadu domba – mesti tampil ke atas panggung guna merebut opini publik.
Atas nama kemanusiaan dan keutuhan bangsa – tanpa harus mengingkari kebebasan berpendapat, kehadiran buzzer yang menghadirkan pengetahuan tandingan bisa dikatakan sebagai sebentuk kodrat yang mesti dijalankan. Bila hal ini dinafikkan justru malah mengantarkan keutuhan negara beserta elemen kemanusiaan dan demokrasinya untuk tercabut dari akarnya.
This post was last modified on 11 Oktober 2019 4:07 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments