Menyedihkan, jika melihat publik, utamanya para warganet (netizen) yang sampai detik ini masih terpolarisasi ke dalam dua kelompok dan selalu saja melakukan perdebatan atas isu-isu SARA dimana sangat kontraproduktif dengan narasi besar bangsa ini untuk merawat kebhinnekaan. Publik sepertinya sudah terjebak dalam politik adu domba yang dilakukan oleh oknum tertentu. Dan hal tersebut semakin diperparah dengan kebiasaan para warganet yang lebih sering melakukan aksi reaktif (saling balas) atas isu yang menurut mereka tidak sepaham dengan nalar pikirnya. Seperti yang terjadi baru-baru ini, adanya aksi walk out yang dilakukan oleh pianis Ananda Sukarlan ternyata berujung pada adanya ajakan aksi boikot massal atas Traveloka, dengan ramai-ramai menguninstall aplikasi tersebut. Dengan kejadian tersebut tentunya sangat disayangkan, sepertinya nalar sehat sudah tidak lagi menjadi pertimbangan untuk menentukan sikap. Alih alih mengharapkan diskusi yang sehat tanpa perlu melakukan penghakiman atas seseorang dan disertai data yang valid, yang terjadi justru sebaliknya, yakni perang “nyinyir” dan adu boikot yang sangat kekanak kanakan.
Merujuk pada survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016, dari 132,7 juta masyarakat Indonesia yang mengakses internet, 91,80% dipastikan terpapar hoax mengenai isu politik. Ini sebenarnya menandakan bahwa publik dapat dengan mudah digiring untuk saling membeci, membully, dan di adu domba. Perspektif kebenaran yang ditampilkan hanya artifisial (semu) karena nalar yang dibangun adalah kebenaran menurut diri serta kelompoknya, dan tidak bisa terkomfirmasi kebenarannya oleh kelompok yang lain. Rendahnya tingkat literasi, utamanya mengenai politik maupun isu SARA menjadi publik menjadi objek dan pesakitan atas framing hoax yang dilakukan oleh oknum. Pertanyaannya, mau sampai kapan kita menjadi warganet yang tidak tahu diri ? dalam pengertian tidak mampu menahan diri untuk tidak bicara yang justru memicu keruhnya suatu persoalan.
Kebebasan untuk mengakses dunia maya, lebih khusus media sosial seharusnya menjadi sarana untuk saling bertukar informasi yang mencerdasakan dan mengarahkan warga net untuk berpikir dahulu sebelum bertindak. Jangan justru sebaliknya, berpikir mengenai konsekuensi apa yang akan diterima setelah memutuskan tindakan. Tidak bisa kita pungkiri, dengan adanya akses intenet dan globalisasi kita berada dalam sebuah situasi sebagaimana dikatakan oleh Marshal Mcluhan sebagai global village, yang bukunya yang berjudul Understanding Media: Extension of A Man. Dikonsepkan oleh Mcluhan bahwa suatu saat ini media komunikasi akan mengalami perkembangan yang begitu luar biasa, segala macam informasi dapat diakses kapanpun dan dimanapun oleh manusia. Disinilah terjadi irisan dimana tidak ada lagi batasan antara waktu dan tempat, karena internet telah menghilangkan sekat-sekat geografis tersebut.
Peluang dan kemudahan ini seharusnya bisa dimanfaatkn secara maksimal oleh semua pihak guna mengkonstruksikan narasi-narasi ideologis mengenai kebhinnekaan serta toleransi. Dan generasi muda yang notabene sebagian besar diidentifikasi sebagai kelas menengah sosial sudah seharusnya mengambil bagian atas kerja-kerja ideologis tersebut. Posisi kelas menengah dalam struktur sosial di masyarakat acapkali memberikan lompatan pemikiran yang progresif dan negara sudah sepatutnya menggandeng mereka untuk mengcounter setiap aksi dan isu adu domba. Terlebih khusus adanya ajakan-ajakan pragmatis seperti: boikot produk tertentu, yang sarat dengan kepentingan kelompok dimana media sosial digunakan sebagai sarana sosialisasi yang paling massif.
Ajakan untuk “mengadu domba” yang selalu saja mudah ditemukan dalam media sosial sudah selayaknya dilawan dengan kesadaran dan kecerdasan warganet dalam bermedia. Caranya tentunya mudah, Pertama, kenali setiap informasi yang kita terima dengan baik, artinya harus ada mekanisme check and richeck atas suatu informasi. Kedua, menahan diri untuk tidak mudah men share setiap informasi yang ketika terima kepada pihak lain. Salah satu keberhasilan kelompok/oknum yang berniat mengadu domba ialah mereka menyasar tipe warga net yang tingkat literasi medianya rendah. Tipe orang seperti ini hanya menerima satu nalar, yakni kebenaran versi dirinya dan kelompoknya. Ketiga, warga net harus bisa segera melokalisir jika ada informasi yang dinilai janggal. Tindakan ini akan mencegah terjadinya framing atas isu yang belum tentu kebenarannya, pun hal tersebut memang menjadi objek yang secara sengaja untuk diproduksi agar siapapun yang menerima, tanpa berpikir panjang langsung mengamini dan membagikan secara emosional.
Mari kita rawat bangsa ini dengan sikap yang dewasa dengan mau menerima segala macam perbedaan dengan penuh legowo. Pun, yang lebih penting adalah menjaga etika diruang publik sekaligus tidak mudah terpengaruh dan menyebarkan ajakan ajakan tidak produktif yang hanya akan memecah belah bangsa ini.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…