Media sosial seperti facebook dan twitter diharapkan menjadi ruang publik baru, guna terciptanya sebuah kesepakatan bersama. Namun akhir-akhir ini, alih-alih menjadi ruang publik yang sehat, media sosial jurtru menjadi lahan subur berkembanganya caci-maki, yang disekenal dengan nama hate speech.
Salah satu faktor yang mendukung kemajuan negara dengan sistem demokrasi adalah adanya ruang publik yang sehat. Maksudnya, dalam ruang publik tersebut, setiap warga bisa dan bebas mengungkapkan aspirasinya. Tentu dalam kebebasan ruang publik, akan sangat mungkin aspirasi atau gagasan antar warga negara saling bertabrakan satu sama lain, namun dengan ruang publik yang sehat, perbedaan ide atau gagasan tersebut bisa saling mengoreksi satu sama lain, sehingga tercipta kesepakatan bersama, yang disebut dengan common culture.
Ruang publik sehat tentu tidak tercipta dengan sendirinya. Ada bebarapa faktor yang mendukung terciptanya ruang publik yang sehat. Salah satunya adanya kesadaran masyarakat dalam menjaga keramahan berkomunikasi satu sama lain. Orientasi berkomunikasi juga harus didasarkan kepada tercapainya kepentingan bersama. Dalam bahasa Jurgen Habermas, yang merupakan tokoh terakhir dari Mazhab Frankfurt, hal ini disebut sebagai praksis komunikatif.
Lawan dari praksis komunikatif adalah praksis strategi. Dalam praksis strategi, komunikasi tidak lagi didasarkan atas kesadaran masyarakat dalam menjaga hubungan baik, sebagaiamana dalam prkasis komuniktafif. Cara berkomunikasinya bukan didasarkan pada tecapainya kesepakatan bersama, melainkan memaksakan pendapat atau gagasan kepada orang lain. Orientasi praksis strategi juga bukan untuk tercapainya kemaslahatan masyarakat secara umum, tapi demi tercapainya kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Hate Speech dan Media Sosial
Adanya surat edaran (SE) Kapolri soal penanganan ujaran kebencian atau hate speech yang dikeluarkan pada pada 8 Oktober 2015 lalu (Kompas.com 30/10/2015), mengindikasikan semakin maraknya ujaran kebencian di ruang publik, yang berupa media sosial. Hal ini secara tidak langsung juga menandakan, bahwa media sosial yang diharapkan menjadi ruang publik baru yang mendukung kemajuan sistem demokrasi belumlah tercapai.
Maraknya ujaran kebencian di media sosial yang kita rasakan semakin hari semakin meningkat tentunya akan berdampak negatif bagi kemajuan bangsa. Apalagi melihat pemakai media sosial di Indonesia yang didominasi generasi muda, yang nantinya diharapkan menjadi pemimpin bangsa di masa depan. Banyak dari pemuda sekarang, dengan mudah meluapkan kemarahan atau kebenciannya di media sosial. Alih-alih menyelesaikan masalah, justru menjadikan masalah semakin ruwet, dan bahkan sering kali melibatkan pihak lain.
Selain itu, masuknya berbagai portal online yang menyajikan informasi, yang sebenarnya tidak layak dikomsumi secara mentah-mentah ikut memperparah suasana. Berita-berita politik dengan framing menghujat daripada merekontruksi adalah salah satu contohnya. Yang lebih berbahaya lagi, adalah informasi tentang konflik agama atau ras yang dibungkus dengan framing, yang justru memperparah konflik, daripada menyelesaikannya.
Tampaknya masyarakat Indonesia belum mampu beradaptasi dengan adanya media sosial, yang memberikan ruang bebas dalam mengungkapkan pendapatnya. Mungkin hal ini salah satunya dilatarbelakangi oleh ketertutupan ruang aspirasi pada masa orde baru. Ibarat burung yang terlepas dari sangkarnya, sehingga bingung akan terbang ke arah mana.
Menciptakan Ruang Publik Sehat
Melihat fenomena akhir-akhir ini, yang menggambarkan media sosial sebagai ruang publik yang tidak sehat, yang ditandai dengan banyaknya ujaran kebencian daripada usaha untuk menciptakan kesepakatan bersama, demi kemajuan demokrasi di negara tercinta ini, sungguh memprihatinkan. Fenomena semacam ini secepatnya harus dirubah. Media sosial yang menjadi representasi ruang publik masa kini, harus menjadi ruang publik yang sehat. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana mencipta ruang publik yang sehat?
Menciptakan ruang publik yang sehat tentu tidaklah semudah membalikan telapak tangan. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan demi terciptanya ruang publik yang sehat. Salah satunya adalah kesadaran masyarakat dalam berkomunikasi, yang berorientasi untuk tercapainya kesepakatan bersama. Selain itu, kemaslahatan umum juga harus menjadi prioritas utama. Tidak mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok, sebagaimana telah disinggung di atas. Upaya merekontruksi ke arah lebih baik juga harus dikedepankan, daripada sekedar menghujat dan mencaci maki.
Kesadaran masyarakat sebagaimana telah dijelaskan tentu tidak tumbuh dengan sendirinya. Harus ada upaya untuk menumbuhkan kesadaran tersebut dari orang yang lebih dulu tercerahkan. Dalam hal ini adalah kewajiban para intelektual dan para pemimpin. Para intelekual dan para pemimpin harus mempu mencontohkan bagaiamana cara berkomukasi yang baik di ruang publik, yang sekarang diwakili oleh media sosial. Mereka harus mendahulukan kepentingan publik, daripada ego pribadinya, atau kepentingan kelompoknya.
Dengan adanya suri teladan dari para intelektual dan para pemimpin, maka tidaklah mustahil media sosial mejadi ruang publik yang sehat, sebagaimana yang diharapkan banyak orang. Apalagi mereka mau menyempatkan memberikan pengarahan secara langsung atau blusukan tentang tata cara menggunakan media sosial ke masyarakat. Dengan begitu kemungkinan terciptanya media sosial menjadi ruang publik yang sehat bukanlah sesuatu yang hanya bisa diharapakan, tapi juga menjadi kenyataan. Bukankah begitu?
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…