Media sosial dewasa ini telah membongkar batas-batas pergaulan yang sebelumnya masih menyisakan sekat norma dan etika. Media sosial juga melabrak batas usia dalam berinteraksi. Tidak ada strata sosial dalam berkomunikasi di media sosial. Bayangkan seorang tokoh nasional, kyai, ulama, pejabat yang dengan posisi terhormat dan disegani dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat luas, bahkan dengan anak SMP sekalipun. Apa yang terjadi dalam proses tersebut?
Kini siapapun bebas berbicara dan berpendapat. Semua bisa menghakimi, bahkan bisa pula menghujat. Mulai dari professor, dosen, mahasiswa, bahkan ibu-ibu rumah tangga pun bertingkah bak pengamat. Benar sekali, kita sedang memasuki alam keterbukaan dalam berinteraksi. Tetapi, kita kerapkali abai terhadap nilai dan etika dalam berkomunikasi.
Satu sisi kita sedang menikmati proses demokratisasi dan kesetaraan dalam balutan kebebasan di dunia maya. Tetapi tanpa disadari kebebasan yang sedang kita rayakan ini telah mendorong pada tumbuhnya budaya baru yang bernama kekerasan virtual (virtual violence). Kekerasan virtual merujuk pada kekerasan yang dialami tidak secara fisik, tetapi memiliki dampak psiko-sosial yang lama terhadap individu seperti penetrasi kekerasan melalui televisi, film, game dan internet.
Penetrasi abstraksi kekerasan mengalir deras melalui berbagai konten yang tersebar di dunia maya. Tidak hanya visualisasi kekerasan yang bertebaran, tetapi pola dan sikap kekerasan melalui teks, narasi, dan kata-kata menjadi hidangan di media sosial. Setiap detik kita berinteraksi dengan ragam kekerasan tersebut dari sekedar membaca, membagikan, mengomentari hingga terlibat dalam perdebatan. Menghujat, mencaci maki, dan menghina telah menjadi warna baru dalam kekerasan virtual yang seakan lebih sadis dari gambaran realitas yang sebenarnya.
Karena interaksi media sosial tanpa batas usia, anak-anak menjadi rentan terpapar kekerasan virtual dengan meniru apa yang didapatkan dari media sosial dan internet secara umum. Mereka selalu dihadapkan dengan konten yang selayaknya tidak dikonsumsi atau setiap hari dibombardir dengan konten penuh ujaran kebencian, hasutan, fitnah dan kekerasan. Mereka akan melihat budaya kekerasan yang ada di internet khususnya di media sosial yang dipenuhi dengan sampah hujatan, makian, fitnah, dan kekerasan tersebut merupakan replikasi dari realitas budaya sosial yang sesungguhnya.
Akhirnya kita harus sadar bahwa kekerasan virtual merupakan bagian dari proses penanaman bibit-bibit kekerasan di ruang nyata. Kekerasan di media sosial merupakan tunas kekerasan yang akan tumbuh berkembang di realitas sosial.
Menutup Ruang Bagi Konten Kekerasan
Liarnya ujaran kebencian, hasutan, fitnah dan kekerasan menyadarkan kita bersama bahwa budaya kekerasan ini tidak layak diteruskan. Ruang interaksi di dunia maya harus dibuat nyaman bagi semua golongan. Banyak pengaruh negatif dari budaya kekerasan terhadap generasi muda saat ini dan masyarakat secara umum.
Setidaknya ada beberapa momentum yang dapat kita sambut sebagai awal untuk menutup ruang sekecil apapun terhadap konten kekerasan. Pada 8 Oktober 2015 lalu Polri telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor : SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Salah satu yang menjadi sasaran dari sarana ujaran kebencian tersebut adalah media sosial.
Momentum kedua, Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang telah disahkan di Rapat Paripurna DPR Oktober silam, resmi diberlakukan. Hadirnya Revisi UU ini setidaknya mempertegas dua hal di saat yang sangat tepat. Pertama, memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet. Kedua, revisi UU ITE menuntut masyarakat untuk berhati-hati karena sasaran pelakunya diperluas tidak hanya mereka yang membuat, menampilkan ataupun mengunggahnya ke internet, tetapi mereka yang mendistribusikan ulang pun akan kena pidana.
Momentum ketiga, baru-baru ini sejumlah jejaring media sosial terbesar di Amerika Serikat telah sepakat bekerja sama untuk memerangi terorisme, caranya adalah dengan menghambat proses perekrutan teroris. Facebook, Microsoft, Twitter dan YouTube– jejaring media sosial tersebut — akan membuat dan saling berbagi database saling berbagi database tersebut yang mempermudah mengidentifikasi dan menghapus foto atau video yang terkait terorisme.
Sejumlah momentum berharga tersebut, saya kira, menjadi arus kesadaran pemerintah, masyarakat dan organisasi masyarakat tentang butuhnya ruang yang sehat di media sosial sebagai ruang interaksi yang bebas dari kekerasan. Kita harus berangkat dari kesadaran yang sama bahwa tidak tempat sedikit pun bagi konten yang mengandung dan mempromosikan kekerasan apalagi terorisme.
Generasi muda saat ini harus diselamatkan dari proses penanaman budaya kekerasan di ruang maya. Dalam konteks itulah, masyarakat harus terlibat dalam proses mempersempit ruang bagi konten kekerasan. Kata kunci dari keterlibatan tersebut adalah cerdaslah memanfaatkan media sosial. Butuh kecerdasan kita untuk selalu menyaring informasi. Mana sesungguhnya yang bernilai edukasi atau hanya sekedar provokasi.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…