Narasi

Media Sosial sebagai Penyambung Tali Persaudaraan

Banyak hal yang terlintas dalam benak kita mana kala kata “media sosial” disebutkan. Rerata adalah perkara-perkara negatif; di antaranya hate speech (ujaran kebencian), adu domba, ghibah, hingga tipu muslihat. Jika demikian ini yang terjadi, maka tidak berlebihan manakala Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan “fatwa haram” terhadap penggunaan media sosial berkonten negatif.

Keharaman penggunaan media sosial akan luntur manakala kontennya positif. Justru ketika media sosial digunakan untuk hal-hal positif akan menjadi media yang sunah – bahkan wajib – digunakan umat Islam. Terkait dengan interaksi sesama manusia, Islam mengajarkan adanya silaturahmi (menyambung tali persaudaraan). Bahkan, silaturrahmi merupakan salah satu komponen penting sehingga umat muslim bisa masuk surga.

Suatu ketika, ada seseorang berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka,” maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dia telah diberi taufik,” atau “Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?” Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi”. Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam melaksanakan silaturahmi, hendaknya umat Islam mampu menyambung persaudaraan yang telah lepas. Sehingga, kata “menyambung” di sini benar-benar bisa dilaksanakan. Upaya ini tentu akan lebih berat dilakukan dari pada hanya sekadar menjaga persaudaraan yang sudah bertahun-tahun terjalin baik tanpa adanya konflik. Biasanya, persaudaraan umat menjadi terputus karena adanya konflik yang melatarbelakanginya. Sehingga, dalam rangka menyambung kembali harus ada niatan kuat dari kedua belah pihak.

Dalam bermedia sosial, konflik-konflik yang dapat memutus tali persaudaraan sejatinya adalah sepele. Hanya saja, dengan media sosial, perkara yang sepele tersebut akan menjadi besar. Lebih-lebih, konflik tersebut telah diketahui oleh seluruh pengguna media maya. Padahal, mereka pun aktif memberikan komentar bahkan provokasi terhadap permasalahan yang ada. Ibarat api kecil, dengan di share di media sosial, maka api tersebut telah dipupuk dengan bongkahan kayu bakar serta disiram dengan minyak tanah. Dengan kondisi semacam ini, api yang tadinya hanya kecil akan menjadi besar dan sulit untuk di padamkan.

Betapapun berat merajut kembali tali persaudaraan yang telah terputus di media sosial, bukan berarti tidak bisa dilaksanakan. Kita mesti mengupayakan dengan sekuat tenaga sehingga kedamaian akan terus tercipta. Satu hal yang menjadi kunci utama sehingga tali persaudaraan dapat terhubung kembali adalah sikap saling memahami perbedaan antara satu pengguna dengan pengguna media sosial yang lain. Jadikanlah perbedaan sebagai wahana untuk saling mengetahui satu sama lain. Semua akan menjadi indah manakala dilihat dari sisi positif masing-masing.

Untuk dapat melihat sisi positif dari setiap perbedaan, kita mesti membuka dada dengan selebar-lebarnya. Tanpa begitu, kita hanya akan terkungkung pada kotak-kotak kebenaran objektif diri dengan selalu menyalahkan orang lain. Dan, ketika hal ini dikomunikasikan melalui media sosial, maka persaudaraan akan dapat dengan mudah terputus kembali.

Wallahu a’lam.

Anton Prasetyo

Pengurus Lajnah Ta'lif Wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama (LTN NU) dan aktif mengajar di Ponpes Nurul Ummah Yogyakarta

Recent Posts

Agama dan Kehidupan

“Allah,” ucap seorang anak di sela-sela keasyikannya berlari dan berbicara sebagai sebentuk aktifitas kemanusiaan yang…

3 hari ago

Mengenalkan Kesalehan Digital bagi Anak: Ikhtiar Baru dalam Beragama

Di era digital, anak-anak tumbuh di tengah derasnya arus informasi, media sosial, dan interaksi virtual…

3 hari ago

Membangun Generasi yang Damai Sejak Dini

Di tengah perkembangan zaman yang serba digital, kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap ancaman…

3 hari ago

Rekonstruksi Budaya Digital: Mengapa Budaya Ramah Tidak Bisa Membentuk Keadaban Digital?

Perkembangan digital telah mengubah banyak aspek kehidupan manusia, terutama pada masa remaja. Fase ini kerap…

4 hari ago

Estafet Moderasi Beragama; Dilema Mendidik Generasi Alpha di Tengah Disrupsi dan Turbulensi Global

Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka tidak hidup di zamanmu. Kutipan masyhur dari Sayyidina…

4 hari ago

Digitalisasi Moderasi Beragama: Instrumen Melindungi Anak dari Kebencian

Di era digital yang terus berkembang, anak-anak semakin terpapar pada berbagai informasi, termasuk yang bersifat…

4 hari ago