Dewasa ini tren mengkafirkan sudah menjadi lumrah bagi segelintir orang. Mereka tidak segan dan mudah menuduh tetangganya kafir, imamnya kafir, negaranya kafir, pemimpinnya kafir, mungkin saja orang tuanya kafir. Klaim kafir-mengkafirkan terhadap sesama muslim sebenarnya tidak pernah menemukan tempat bersemi dalam tradisi pemikiran Islam. Lalu kenapa tren ini muncul lagi ke permukaan?
Tragedi besar dalam sejarah Islam bukan karena perbedaan pemikiran, perpecahan dan konflik politik pada masa lalu, tetapi karena munculnya klaim pengkafiran terhadap sesama muslim. Tidak ada warisan pemikiran dalam literatur Islam tentang pengkafiran terhadap sesama muslim, kecuali keserampangan pemikiran itu dimulai oleh kelompok pembangkang, Khawarij. Itulah awal mula munculnya bid’ah terbesar dalam sejarah pemikiran Islam dan melekat menjadi sumber fitnah kemanusiaan sampai saat ini.
Sebelum munculnya Khawarij, perbedaan pemikiran bahkan konflik antar sesama umat Islam dalam memperebutkan kekhalifahan (politik) tidak pernah memunculkan tuduhan kafir. Bahkan dalam puncak perang Siffin yang mempertemukan Ali bin Abi Tholib dan Muawiyah bin Abu Sufyan, Sayyidina Ali menegaskan peperangan itu sebagai persoalan politik semata (furu’), tidak ada kaitannya dengan akidah (ushul) yang menyebabkan seseorang jatuh dalam vonis kafir. Sayyidina Ali berkata:
“Kita telah bertemu di medan perang, sedangkan Tuhan kita satu, Nabi kita Satu, dan seruan kita dalam Islam satu. Kita tidak menganggap mereka kurang beriman kepada Allah dan membenarkan Rasulnya dan mereka pun tidak menggap kita kurang. Semua perkara sama, kecuali apa yang kita perselisihkan tentang darah utsman…Sungguh demi Allah kita tidak memerangi penduduk Syam karena kekafiran dan perselisihan dalam agama…Sungguh mereka adalah saudara-saura kita dalam Agama”.
Itulah pandangan bijak sahabat Nabi yang mengganggap perbedaan dan pertikaian politik dalam kerangka furu’, sekalipun sengitnya perselisihan terjadi hingga memakan korban. Para sahabat berselisih dan bertikai seputar khilafah dan prosedur-prosedurnya dalam mengurusi kehidupan umat dan pemimpinnya, tetapi mereka merasa tetap disatukan akidah tauhid; Tuhan mereka satu, Nabi mereka Satu, dan Al-Qur’an mereka adalah Iman dan petunjuk bagi semua. Tidak ada klaim pengkafiran di antara mereka, karena masih dalam kerangka persaudaraan seagama dan seiman.
Tradisi pengkafiran (takfiri) yang marak dan menjadi penyakit bagi segelintir kelompok saat ini adalah lompatan pemikiran yang menyimpang dari tradisi para sahabat dan ulama salaf al-shalih. Bagaimana awal mula lompatan pemikiran yang menyimpang tersebut terjadi?
Pemikiran takfiri telah sempat terkubur lama dalam sejarah Islam, karena tidak ada ruang lapang bagi pemikiran yang bercorak radikal-ekstrim tersebut. Takfiri bangkit lagi dari kuburnya melalui seorang pemikir Islam yang sejatinya tidak pernah ingin memanggil tradisi pemikiran yang telah punah tersebut. Ust Abul A’la al-Maududi (1903-1979) dengan merefleksikan keadaan politik India yang didominasi oleh aturan yang dibuat manusia dalam hal ini kelompok penjajah Inggris dan Mayoritas Hindu dipandang menindas kelompok muslim yang hanya berkisar 25 persen dari penduduk.
Buah hasil refleksi dari kondisi memperihatinkan umat Islam di India sebelum mengalami pemecahan tersebut, mendorong al-Maududi mengangkat kembali slogan yang pernah popular diangkat oleh kelompok khawarij: “Barang siapa tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir” (Al-Maidah:44). Ayat yang berbicara persoalan otoritas (hakimiyah) ini telah menjadi landasan penting bagi lahirnya tradisi takfiri baik yang digunakan oleh Khawarij masa lalu ataupun kelompok khawarij masa kini (neo-khawarij).
Sayyidina Ali sudah menyangkal pemikiran Khawarij yang dilandaskan pada ayat hakimiyah tersebut dengan ungkapan yang sangat lugas: “itu adalah kalimat kebenaran yang dimaksudkan untuk kebatilan. Benar tiada kekuasaan (otoritas) kecuali milik Allah, tetapi mereka (khawarij) memaksudkan tiada kepemimpinan kecuali milik Allah. Padahal kaum muslimin harus memiliki pemimpin, baik maupun jahat”.
Saya ingin menggarisbawahi ungkapan yang sangat elegan dari Sayyidina Ali ini : itu adalah kalimat kebenaran yang dimaksudkan untuk kebatilan. Tepat sekali, apa yang menjadi kebiasaan kelompok khawarij masa lalu dan sekarang adalah menggunakan “kalimat kebenaran untuk kebatilan”. Persoalannya bukan ayat tersebut salah, karena seungguhnya ayat Qur’an tidak diragukan lagi kebenarannya, tetapi sungguh mereka telah menggunakan ayat kebenaran tersebut untuk kebatilan.
Hal ini mereka terapkan ketika mengadopsi pemikiran al-Maududi secara serampangan ke kondisi yang berbeda dengan kondisi India. Mereka melepaskan pemikiran Maududi yang sangat terikat dengan ruang dan zamannya ke kondisi Arab yang mayoritas muslim hampir 96 persen ataupun diadopsi ke Indonesia. Mereka juga melupakan pemikiran al-Maududi pasca perpecahan India, di mana Islam sudah menjadi mayoritas dan mendominasi di Pakistan 1947. Lalu Maududi berbicara lagi tentang otoritas Tuhan yang bersifat distributif kepada manusia. Menurutnya, di dalam Islam, ada otoritas manusia yang dibatasi oleh kerangka prinsip ajaran Islam yang terwujud melalui lembaga legislatif, pembuatan Undang-undang dan sistem demokrasi yang dijiwai oleh prinsip-prinsip ajaran Islam. Lalu al-Maududi mengatakan “tidak ada orang berakal yang menantang demokrasi ini”.
Kelompok Khawarij modern memutus pemikiran al-Maududi hanya pada fase awal penolakannya pada otoritas selain otoritas Tuhan. Mereka menutup mata bahkan seakan mendzalimi pemikiran al-Maududi untuk dijadikan jubah dan topeng tindakan pengkafiran terhadap seluruh otoritas yang dibuat selain dari Tuhan. Sehingga pada akhirnya mereka terkubur dalam kedangkalan pemikiran dan kebodohan dengan menyesatkan dan mengkafirkan seluruh aturan, perundang-undangan, negara, konstitusi yang dibuat manusia.
Selain karena mereka lalai dalam membaca secara utuh pemikiran al-Maududi, tetapi sesungguhhnya biang keladi pemikiran takfiri yang mereka derita karena kedangkalan pemikiran. Hujjatul Islami, Al-Ghazali pernah mengingatkan fenomena kelompok takfiri ini dengan mengatakan bahwa “terburu-buru melakukan pengkafiran biasanya merupakan kebiasaan orang yang dikuasai oleh kebodohan..Engkau harus menahan diri dari mengkafirkan sekte-sekte dan mencaci-maki para pemeluk Islam, merskipun jalan mereka berbeda, selama masih berpegang pada kalimat “la ilaha illallah Muhammad rasulullah”.
Kedangkalan pemikiran kelompok takfiri ini telah berlanjut di bawah kendali kelompok yang selalu mengkafirkan seluruh umat Islam dan negaranya. Ruang mereka sangat terbatas karena menganggap berbagai hal yang tidak sesuai dengan pandangan mereka sebagai kekufuran. Entah mereka merasa nyaman atau terasing hidup di negara yang mereka tuduh sebagai negara kafir. Mereka terbelenggu oleh imajinasi kesucian dan kemurnian dirinya dengan cara mengkafirkan dan mencaci yang lain. Sungguh mereka selalu tersiksa oleh kebodohan dan kedangkalan pemikirannya, dan semoga Allah selalu memberikan mereka Petunjuk.
This post was last modified on 22 Agustus 2016 10:35 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…