Narasi

Meluruskan Makna Jihad

Makna jihad dalam terminologi Islam kini menjadi sempit dan dikooptasi oleh sebagian kelompok ekstrim yang mengidentikkannya dengan perang fisik melawan apa yang oleh mereka dianggap “musuh”, baik individu maupun institusional seperti negara. Padahal pemahaman yang keliru ini sebenarnya justru membenarkan anggapan negatif orang, terutama dari kalangan Barat, bahwa jihad identik dengan teror(isme).

Benarkah ada dalil yang menunjukan bahwa Islam membenarkan tindakan teror? Tidak ada. Yusuf Qardhawi dalam karya monumentalnya setebal bantal, Fiqh al-Jihad (2009: 885) bahkan menolak keras anggapan stereotipe negatif pemaknaan jihad yang identik dengan teror itu.

Meskipun tindakan teror dalam bahasa Arab diistilahkan dengan kata irhab, bentuk mashdar dari kata arhabayurhibu-irhaban, yang maksudnya adalah meneror atau menakut-nakuti orang lain, namun dalam konteks al-Qur’an menurut Qardhawi maknanya adalah perintah agar mempersiapkan kekuatan untuk menghadapi musuh.

Jadi makna irhab, bukanlah membunuh, makna asalnya adalah takut. Misalnya dalam dua ayat berikut ini, “Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (QS. al-Baqarah: 40); “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (QS. al-Anfal: 60).

Salah kaprah dalam memahami terminologi jihad itu jelas memberi kesan dan stigma negatif kepada Islam sebagai agama yang identik dengan kekerasan. Pertanyaannya apakah seorang muslim yang mengerahkan seluruh kemampuan atau tenaganya dengan sungguh-sungguh dalam berbuat kebaikan dan mengharap ridho-Nya, lantas dikatakan berjihad dalam pengertian perang?

Pengertian jihad tidak semestinya dipahami secara sempit, tetapi harus senantiasa dikembangkan secara luas, yaitu tidak identik dengan perang atau pertempuran. Jika merujuk ke al-Qur’an, Muhammad Fu’ad ‘Abdul Baqi dalam al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadzil al-Qur’ani al-Karim menyebutkan bahwa kata jihad dan derivasinya tersebut 41 kali dalam al-Qur’an.

Ayat-ayat jihad dalam konteks perjuangan berjumlah 28 ayat sebagai berikut: al-Baqarah: 218, Ali Imran: 142, an-Nisa’: 95, al-Maidah: 53-54, al-Anfal: 72,74,75, at-Taubah: 16, 19, 20, 24, 41, 44, 73, 81, 86, 88, an-Nahl: 110, al-Hajj: 78, al-Furqan: 52, al-‘Ankabut: 6, 69, Muhammad: 31, al-Hujarat: 15, al-Mumtahanah: 1, ash-Shaf: 11, dan at-Tahrim: 9. Ayat-ayat jihad tersebut sebagaian turun pada periode Mekkah dan sebagian besar lainnya turun pada periode Madinah (Chirzin, 2006: 47-48).

Jihad dan perang

Jihad  dalam  arti  perang  bersenjata dalam Islam  tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan  harus  dengan ijin sultan (kepala negara), dan dengan dua  alasan. Pertama, membela diri dari serangan orang kafir musuh (kafir kharobi), baik  serangan itu sudah terjadi atau pasti akan terjadi, sesuai dengan firman Allah, “Dan perangilah di jalan Allah orang orang yang memerangi kamu, dan jangan melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak  menyukai  orang orang yang melampaui batas” (Q.S. al-Baqarah: 190).

Kedua, melindungi pelaksanaan dakwah  dari  gangguan keamanan  orang-orang yang tidak suka akan tersebar luasnya ajaran Islam. Jadi kalau dakwah  tidak diganggu tidak ada perang, karena pada dasarnya dakwah hanya dilaksanakan  sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasulnya; tanpa paksaan, tanpa  kekerasan, sebagaimana firman Allah, “Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan  cara yang baik. Sesungguhnya  Tuhanmu Dia lah yang  lebih  mengetahui  tentang  siapa yang  tersesat dari  jalanNya, dan Dialah yang lebih mengetahui orang orang yang mendapat petunjuk” (QS. al-Nahl: 125). Atau ayat, “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat” (Q.S.al-Baqarah: 256).

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas Indonesia adalah negara yang damai. Tidak ada konflik antar negara dan tidak ada pula yang menghalang-halangi jalan dakwah, maka implementasi jihad bukan dalam arti fisik perang, tetapi dapat dialihkan kepada makna yang lebih luas, seperti jihad mencari nafkah, jihad mengentaskan kemiskinan, jihad melawan korupsi, dan bahkan jihad melawan kelompok-kelompok radikal-teroris yang telah mencemarkan nama baik Islam.

This post was last modified on 29 Maret 2017 8:55 AM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago