Keagamaan

Meluruskan Pemahanan tentang Hadis ‘Larangan Menyerupai Orang Kafir’

Menjelang perayaan Hari Natal, ada satu hadis yang viral dan kerap dikutip kelompok radikalis-teroris untuk mengharamkan umat Islam mengucapkan ‘Selamat Natal’ kepada umat Kristiani. Hadis yang diistilahkan sebagai hadis tasyabbuh (menyerupai) itu berbunyi seperti ini: “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum itu“.

Celakanya lagi, hadis tersebut dijadikan dalih oleh sebagian kalangan umat Islam untuk menghardik mereka yang hendak menaruh rasa hormat kepada pemeluk agama lain. Tentu kondisi demikian itu lahir dari kurangnya pemahaman terhadap hadis tasyabbuh. Sehingga, bagi kelompok ini, orang Islam yang mengucapkan selamat natal hukumnya haram. Benarkah demikian?

Secara leterlek, hadis di atas memang mengandung larangan untuk menyerupai orang kafir. Tetapi, yang harus diperhatikan dalam memahami sebuah teks agama, tanpa terkecuali teks hadis, adalah konteks hadis itu muncul (asbabul wurud).

Konteks Hadis

Konteks munculnya suatu hadis memiliki peran penting. Hadis tasyabbuh tersebut muncul tidak secara khusus merujuk pada larangan merayakan hari besar agama non-Islam. Ibnu Taimiyah (1263-1368), sebagaimana dikutip Akhmad Sahal, menjadikan hadis tersebut sebagai dasar membuat fatwa haram yang melarang umat Islam terlibat dalam perayaan hari besar agama non-Islam.

Namun demikian, jangan lantas mengeneralisir dan mengadopsi fatwa tersebut mentah-mentah. Dengan kata lain, kita harus telisik lebih dalam lagi konteks Ibnu Taimiyah itu mengeluarkan fatwa tersebut.

Kondisi sosio-historis munculnya fatwa haram memakai atribut dan mengucapkan selamat pada perayaan hari besar agama non-Islam adalah adanya kekuatan politik Islam saat itu berada dalam krisis. Saat itu bersamaan dengan runtuhnya kekhalifahan Abbasiyah, adanya invansi pasukan Mongol dan ancaman perang salib.

Jadi bisa dibayangkan bahwa masa dan situasi perang menjadi alasan utama Ibnu Taimiyah mengeluarkan fatwa tersebut. Di era sekarang ini, dimana antar umat beragama hidup damai berdampingan, nampaknya ‘fatwa’ Ibnu Taimiyah tersebut bisa dimaknai secara bijak.

Bagi umat Islam, mengucapkan selamat natal bagi umat Kristiani jangan dimaknai sebagai sebuah kemurtadan. Orang bisa menikmati kegembiraan Natal (misalnya untuk liburan) tanpa harus menjadi Kristen, sebagaimana orang bisa menikmati kegembiraan Idul Fitri tanpa harus menjadi muslim (Sahal, 2014).

Batasan Menyerupai Orang Kafir

Masih dalam lingkup hadis tasyabbuh, ada sebuah pertanyaan: apakah seluruh tasyabbuh dilarang atau ada batasannya? Mengenai hal ini, sementara ulama membaginya menjadi dua: tasyabbuh yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima.

Dalam kenyataannya, memang ada tradisi Islam yang menyerupai atau diadopsi dan dimodifikasi dari tradisi diluar Islam. Sebut saja thawaf mengelilingi ka’bah, makan sahur ketika puasa dan lain sebagainya. Hal ini, sekali lagi, menjadi bukti bahwa tasyabbuh itu ada yang diperbolehkan dengan batasan tertentu.

Salah satu bentuk menyerupai kaum yang dilarang adalah tasyabbuh dilakukan oleh mereka yang pada dasarnya tidak mengetahui apa hakikat atau makna tradisi yang diikutinya. Asal ikut-ikutan tidak diperbolehkan dalam Islam.

Namun, jika konteksnya adalah mengucapkan selamat natal dengan maksud untuk menjalin hubungan baik sesama umat manusia, maka sejatinya tidak dilarang dan jangan takut jika imannya tertukar.

Sebab, dalam Islam, perintah berbuat baik dan menjunjung tinggi toleransi umat beragama itu merupakan sebuah anjuran. Hal ini senada dengan firman Allah:

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahah: 8).

Makna hadis dan juga al-Qur’an di atas bahwa Allah tidak melarang umatnya untuk berbuat baik, saling menjaga dan memberikan rasa aman kepada orang-orang non-Islam. Sebaliknya, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk senantiasa menjaga keamanan dan kedamaian. Perbedaan agama bukan alasan untuk saling bermusuhan. Justru berbeda itu hal yang biasa dan wajib saling menjaga.

This post was last modified on 22 Desember 2022 4:48 PM

Ahmad Ali Mashum

Peminat Kajian Keagamaan dan Kebangsaan, Tinggal di Jawa Tengah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago