Narasi

Memaafkan Adalah Budaya Bangsa Kita

Kata sederhana “maaf” tidak banyak kita jumpai akhir-akhir ini. Kata ini memang sederhana, namun banyak hal-hal besar bermula dari ungkapan ini. Sesuatu yang terlihat sederhana justru itu menjadi asal mula dari kejutan-kejutan besar. Kata “maaf” ini seringkali disepelekan oleh sebagian orang, dianggap remeh-temeh, dibuat mainan, asal maaf semua selesai.

Saudaraku, kata “maaf” ini sangat berarti bagi peradaban bangsa kita. Budaya memaafkan merupakan adab budi pekerti dasar manusia. Melalui kata maaf ini kita saling kenal, saling sapa, saling merendah, saling berjuang, dan seterusnya. Memaafkan bukan upaya karena diri itu lemah, justru memaafkan menunjukkan jati diri seorang kesatria.

Jika Presiden Soekarno tidak memiliki budaya pemaaf. Pasti sampai saat ini kita semua diwarisi rasa dendam atas penjajahan. Tapi lihat justru Presiden Soekarno memperkenalkan kepada kita semua pancasila, agar kita saling memaafkan, saling berangkulan, berbuat untuk perdamaian dunia. Ketika Bung Hatta diasingkan di penjara Bangka Belitung, secara terpisah dengan Soekarno, Bung Hatta tetap berbuat demi bangsanya.

Soekarno dan Hatta adala sosok yang mewakili kata sederahana ini, “maaf”. Karena maaf adalah perjuangan, jika tidak didasari oleh budaya kesantunan seperti itu. Mereka yang diasingkan ke mana-mana, dituduh macam-macam, ditodong dengan senjata, diancam hilang nyawanya, tetap berjiwa ksatria, berjuang demi bangsa dan negara, demi kemerdakaan, demi kesejahteraan rakyat.

Budaya memaafkan telah mewarnai kehidupan berbangsa kita. Kata ini sederhana, namun berat diungkapkan oleh sebagian orang. Mulai saat ini perlu ada kesadaran bahwa maaf adalah cermin dari diri kita. Dengan kita melihat orang lain, lain disana adalah representasi jejak berdiri kita. Manusia terkadang luput salah dalam berbuat, itulah kemanusiaan, di mana masing-masing kita dapat saling mengingatkan dan juga memafkan.

Krisis moralitas bangsa kita saat ini adalah krisis keberanian. Banyak orang tidak berani mengakui kesalahannya. Orang lebih suka menyembunyikan kesalahan, hingga enggan untuk mengucap maaf. Jika bangsa ini diurusi oleh krisis keberanian seperti itu maka kita akan jauh tertinggal.

Krisis keberanian itu telah sangat merusak kepribadian bangsa kita. Mestinya kita belajar dari Soekarno dan Hatta, dua ksatria tangguh yang pantas jadi inspirasi generasi-generasi muda saat ini. Saat ini coba lihat, di layar media dipertontonkan drama politik identitas, kepentingan golongan, drama korupsi yang tidak ada habis-habisnya, politisasi SARA, politisasi keberagaman, dan sebagainya.

Memaafkan bukan tindakan mundur dan kalah. Maaf adalah strategi dalam berbuat. Dengan memaafkan kita bisa merangkul yang salah, mengajak kepada kebaikan. Budaya memaafkan adalah bentuk pengakuan manusiawi yang wajar. Melalui pintu maaf bahkan, setiap orang dapat membuka tabir keterpisahan jarak dan waktu, awalnya tidak mengenal menjadi saling kenal, awalnya musuh menjadi teman, awalnya berselisih menjadi bersatu, awalnya berbenturan kemudian hidup bersama.

Maaf adalah budaya bangsa kita. Indonesia memiliki tradisi kehidupan yang penuh dengan kesantunan dan berkebudayaan. Maaf adalah spirit perjuangan bangsa yang diperkenalkan lewat nilai-nilai luhur, baik melalui tradisi, adat, kebudayaan, dan nilai-nilai agama. Mulai saat ini sebaiknya kita saling memafkan, demi membuka pintu-pintu kebaikan yang lainnya.

Mari sudahi saling bertengkar karena beda identitas, beda agama, beda pilihan politik, atau apapun itu. saat ini bangsa ini membutuhkan kerjas keras bersama-sama. Indonesia ini tidak akan mampu berdiri tegak tanpa kita semua saling memafkan satu sama lain, kemudian bekerja bersama demi kemajuan bangsa.  Mari saling memaafkan, karena memaafkan itu perbuatan yang sangat mulia, banyak hal-hal baik yang bermula dari kata sederhana itu.

Pintu maaf adalah pintu kebaikan. Jika semua pintu tertutup, ada satu pintu yang mampu membuka pintu-pintu itu, yakni memafkan. Saling memafkan adalah sedari kunci kemanusiaan paling dasar. Dengan maaf orang hadir dalam kekhusyukan budi. Dan, bangsa kita saat ini butuh keadaban dan kebudian yang luhur, agar kita semua terbebas dari rasa saling benci, rasa saling benar, dan rasa saling curiga. Melalui maaf itu akan lahir rasa saling asuh, rasa saling cinta, rasa kasih sayang yang tak terhingga.

This post was last modified on 5 Maret 2018 11:08 AM

Febri Hijroh Mukhlis

Alumni pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pendiri Yayasan Umm al-Bilaad

View Comments

Recent Posts

Prebunking vs Propaganda: Cara Efektif Membendung Radikalisme Digital

Di era digital, arus informasi bergerak begitu cepat hingga sulit dibedakan mana yang fakta dan…

8 jam ago

Tantangan Generasi Muda di Balik Kecanggihan AI

Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa dampak signifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Pengaruhnya…

12 jam ago

Belajar dari Tradisi Islam dalam Merawat Nalar Kritis terhadap AI

Tak ada yang dapat menyangkal bahwa kecerdasan buatan, atau AI, telah menjadi salah satu anugerah…

12 jam ago

Kepemimpinan Kedua Komjen (Purn) Eddy Hartono di BNPT dan Urgensi Reformulasi Pemberantasan Terorisme di Era AI

Presiden Prabowo Subianto kembali melantik Komjen (Purn) Eddy Hartono sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme…

1 hari ago

Hubungan Deepfake dan Radikalisasi: Alarm Bahaya bagi Kelompok Rentan

Dunia digital kita sedang menghadapi sebuah fenomena baru yang mengkhawatirkan: krisis kebenaran. Jika sebelumnya masyarakat disibukkan…

1 hari ago

Evolusi Terorisme Siber; Dari Darkweb ke Deepfake

Sebagai sebuah ideologi dan gerakan sosial-politik, terorisme harus diakui memiliki daya tahan alias resiliensi yang…

2 hari ago