Narasi

“Surga” bagi Pribadi Pemaaf

Pemberian maaf  atau pemaafan (forgiveness) merupakan salah satu ajaran agama yang dapat memantikkan empati dan perasaan penuh kasih. Dalam pemberian maaf, terdapat makna adanya pemberian kesempatan untuk orang lain (yang bersalah). Di sisi lain, kebiasaan memaafkan kesalahan orang lain juga dapat memberikan energi ketenangan batin, menghapus luka jiwa, dendam, dan penyakit psikis lainnya.

Dalam setiap life event kehidupan, kita sering dihadapkan pada konflik, perbedaan pendapat, dan kekecewaan terhadap orang lain. Adapun, setiap individu dapat merespons kekecewaan atau sakit hati dengan reaksi penolakan, usaha menyelesaikan konflik, membiarkan konflik terus terjadi, dan menolak konflik dengan mengabaikan permasalahan yang terjadi. Jelas terlihat, bahwa hal yang harus kita lakukan ketika menjumpai konflik adalah dengan usaha menyelesaikan konflik.

Fincham (2000) mengemukakan bahwa pemaafan adalah sikap yang paling ideal dalam menyelesaikan konflik. Tindakan memaafkan akan menyembuhkan luka dan mengurangi kesedihan, membangun sesuatu yang baru, dan memotong siklus kekerasan. Dengan memaafkan, seseorang akan terhindar dari dampak penghancuran diri karena terlalu lama menanggung beban kesakitan dan dendam.

Dalam perspektif Islam, pemaafan merupakan sebuah proses untuk menumbuhkan rasa kasih sayang dan menggapai kasih sayang-Nya. Keterampilan memaafkan kesalahan orang lain merupakan soft skill yang sangat berharga. Selain akan merasakan kedamaian dan ketentraman batin, pribadi pemaaf juga akan diberikan-Nya hadiah dalam dimensi esoteris. Allah Swt. Berfirman:

            “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang bertaqwa. (Yaitu) orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang atau sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS Ali Imran: 133-134).

Islam telah memberikan reward bagi pribadi pemaaf, berupa surga. Untuk menjadi pribadi pemaaf, Islam pun telah menunjukkan jalannya, yakni dengan menahan amarah. Menahan amarah dapat dilakukan dengan cara menahan diri dari balas dendam, dan tidak  memperpanjang rantai masalah. Menahan amarah dapat dilakukan dengan menjaga lisan, menahan anggota badan, dan menahan emosi negatif yang meluap.

Kemarahan pada hakikatnya ialah energi. Energi dapat berpindah dan dapat diubah. Jika kemarahan seseorang pada kita membuat kita ikut bersikap marah, maka itu merepresentasikan keadaan di mana derajat suasana hati kita mudah dialiri energi marah. Sebaliknya, jika kita mampu mengubah energi kemarahan menjadi keramahan, maka insyaallah kita akan mendapatkan ampunan dan kemuliaan di hadapan-Nya.

Rasulullah Saw. selalu mengajarkan pada umatnya untuk mudah memaafkan. Ketika Rasulullah Saw. disakiti, beliau selalu mendoakan kebaikan. Beliau memberikan teladan bahwa memaklumi kesalahan orang lain, mendoakan, dan bahkan merangkul ‘lawan’ merupakan tindakan muslim sejati yang dapat mengundang kasih sayang-Nya. Di dunia, memaafkan dapat memantikkan kedamaian batin. Kabar baiknya, Allah Swt. juga akan membangunkan surga bagi pribadi pemaaf. Rasulullah Saw. bersabda:

            “Barang siapa yang ingin dibangunkan baginya bangunan di surga, hendaknya ia memaafkan orang yang mendzaliminya, memberi orang yang bakhil padanya, dan menyambung silaturahmi kepada orang yang memutuskannya.” (HR. Thabrani)

Menjadi pribadi pemaaf tidaklah mudah. Kita perlu melatih hati, meluaskan hati, dan memaklumi kesalahan orang lain diiringi dengan upaya memperbaiki hubungan, dan memberi kesempatan untuk berubah. Jika kita terbiasa menahan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain, maka tentu kedamaian dan persaudaraan akan terjalin dengan indah. Itu artinya, di dunia kita membangun kedamaian ‘surga’, dan di akhirat semoga kita akan ditempatkan-Nya di surga bersama Rasulullah Saw., sang Nabi penuh kasih sayang dan pemaaf. Wallahu’alam.

Nurul Lathiffah

Konsultan Psikologi pada Lembaga Pendidikan dan Psikologi Terapan (LPPT) Persona, Yogyakarta.

Recent Posts

Negara dalam Pandangan Islam : Apakah Sistem Khilafah Tujuan atau Sarana?

Di dalam fikih klasik tidak pernah dibahas soal penegakan sistem khilafah, yang banyak dibahas adalah…

16 jam ago

Disintegritas Khilafah dan Inkonsistensi Politik Kaum Kanan

Pencabutan izin terhadap Hizbut Tahrir Indonesia dan Front Pembela Islam ternyata tidak serta merta meredam propaganda khilafah dan wacana…

18 jam ago

Kritik Kebudayaan di Tengah Pluralisasi dan Multikulturalisasi yang Murah Meriah

Filsafat adalah sebuah disiplin ilmu yang konon mampu menciptakan pribadi-pribadi yang terkesan “songong.” Tempatkan, seumpamanya,…

20 jam ago

Spirit Kenaikan Isa Al Masih dalam Menyinari Umat dengan Cinta-Kasih dan Perdamaian

Pada Kamis 9 Mei 2024, diperingati hari Kenaikan Isa Al Masih. Yakni momentum suci di…

20 jam ago

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

2 hari ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

2 hari ago