Belakangan ini kondisi sosial dan politik bangsa ini tengah menghangat. Tentu saja kerentanan terhadap kondisi yang ada menghadirkan kekhawatiran tersendiri, sebab selain derasnya narasi hoax, beriringan pula dengan kencangnya intrusi kekuatan yang ingin mendomplengi panggung kebebasan berdemokrasi hari ini. Beberapa pihak yang dulunya bahkan kencang secara langsung mau pun sembunyi-sembunyi meneriakkan narasi intoleransi, penggantian sistem pemerintahan hingga penggantian ideologi, belakangan ini hadir dan berteriak dengan mengatasnamakan kebebasan berdemokrasi. Mereka hadir menggunakan panggung demokrasi yang ada sambil berteriak dan menempatkan diri seolah sebagai korban atas kondisi yang ada. Padahal kenyataannya kelompok-kelompok semacam ini hanyalah kelompok politik pragmatis yang tidak mendapatkan panggung politik dan kini tengah mencoba menggunakan segala momentum dan kesempatan yang ada guna mendapatkan legitimasi kekuasaan.
Penting untuk disadari bersama bahwa ruang lebar yang terbuka bagi setiap gagasan dan pemikiran merupakan creedo utama dari ideologi demokrasi, yang kemudian potensial menghadirkan penafsiran yang dapat digunakan secara pragmatis. Bagi David Beetham, magnet utama dari demokrasi sejatinya terletak pada janji atas jaminan bagi hadirnya ruang-ruang partisipatif yang egaliter untuk semua dalam mengartikulasikan segala kepentingannya (Beetham, 2004).
Dalam rezim yang demikian tentunya hak yang sama, baik dalam segala dimensi kehidupan menempatkan semua pihak dalam gugus level yang sama, tanpa memandang keunggulan tertentu. Sehingga identitas-identitas keberagaman apa pun potensial untuk memperjuangkan keunikan dan gagasan pemikirannya masing-masing. Jaminan atas kebebasan tersebut bahkan tertuang dalam regulasi-regulasi yang ada. Di sinilah kemudian persoalan mulai menunjukkan bentuk pergesekannya.
Bila berbicara mengenai Indonesia, maka salah satu identitas yang kerap mencuat sebagai sebuah penekan adalah kekuatan identitas keagamaan, dan bila berusaha menspesifikkan lagi, maka kekuatan keagamaan Islam jelas tak mungkin diabaikan. Beberapa pihak yang menyadari hal ini dan mampu menginstrumentalisirnya kerap mengupayakan semangat mengusung kepentingan pragmatisnya menggunakan simbolisasi yang ada dalam menopang kepentingannya.
Bila meminjam pemikiran yang dibangun oleh Ricklefs dalam melihat fenomena kelompok ke-Islaman di Indonesia yang model demikian, maka secara cepat kita bisa menganalisisi bahwa para anggota kelompok atau pun kaum-kaum tertentu yang demikian – memiliki kecenderungan yang sama dengan kategori kelompok revivalis (Ricklefs, 2012). Bagi kelompok-kelompok semacam ini, penampilan identitas ke-Islaman di tengah publik menjadi hal yang mesti dodorongkan secara serius.
Dalam ruang ke-Indonesian yang beragam, hal di atas jelas telah lama menjadi persoalan. Di satu sisi, ruang-ruang egaliter dalam ideologi demokrasi yang hadir menjadikan kelompok-kelompok macam ini harus diakomodir. Sementara di sisi lain, dalam beberapa kenyataan kelompok-kelompok yang demikian malah menjadi kelompok intoleran terhadap yang lain dan tidak mengizinkan yang berbeda untuk hidup. Kelompok-kelompok macam ini hadir mengatasnamakan simbol Islam dalam ruang publik dan memaksa yang lain untuk menghormati dan mengafirmasi kehendak mereka. Termasuk untuk persoalan ideologi, kelompok macam bahkan tidak moderat dan menolak asas Pancasila.
Eksistensi dari kelompok macam ini ternyata tak hentinya menunggangi semangat-semangat populisme, termasuk semangat berdemokrasi melalui jalur demonstrasi yang belakangan hadir. Di sinilah kerentanan atas nasib demokrasi dan keberagaman yang ada, mengetengahkan kerisauan yang lebih lagi. Bila elemen-elemen masyarakat yang turun dan menyalurkan aspirasinya tidak mampu melihat realitas yang sungguh terjadi, maka bukan tidak mungkin akan menjadi tunggangan dari kelompok-kelompok macam ini. Pada gilirannya bila mereka mampu mengontrol kondisi yang ada, maka tak berlebihan rasanya bila membayangkan akan adanya agenda penggulingan pemerintahan yang sah dan menggantikannya dengan rezim keagamaan yang mereka kehendaki menjadi.
Keberagaman yang ada jelas berlindung dalam bingkai demokrasi dengan Pancasila sebagai dasarnya. Artinya, upaya menjaga semangat kebhinekaan menjadi pekerjaan rumah semua pihak, baik itu pemerintah maupun semua elemen masyarakat. Sehingga mestinya momentum dan geliat sosial politik hari ini haruslah mampu dilihat oleh semua pihak sebagai agenda pembelajaran demokrasi bersama, namun tetap menghadirkan kewaspadaan dari potensi penunggangan kepentingan segelintir pihak yang doyan mengganti ideologi bangsa. Melalui pemahaman yang lebih baik dan komprehensif mengenai demokrasi, memungkinkan negara dan bangsa sekaligus keberagaman yang ada di dalamnya untuk bisa terus eksis. Mari terus belajar berdemokrasi sembari terus menghadirkan kewaspadaan sedari dini.
This post was last modified on 19 Oktober 2020 2:02 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…