Keagamaan

Memaknai Kembali Ayat Perang

Islam turun di tengah masyarakat Arab yang gemar menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan perang. Islam mengajarkan untuk selalu mengedepankan perdamaian dan memaafkan. Karena itulah, dalam sejarah Rasul upaya membangun negosiasi dan perjanjian damai selalu dikedepankan ketimbang konflik dan peperangan.

Sebelum ada perintah perang, akhlak yang dikedepankan Rasul dalam menghadapi musuh adalah menghindari konflik, bersabar, dan memaafkan. Hal ini misalnya tercerminkan dalam perintah Allah : Tolaklah perbuatan jahat mereka itu dengan yang lebih baik (QS Almu’min: 96), Maka maafkanlah mereka, dan biarkanlah mereka (QS al-Maidah: 13), Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari mereka dan, “Katakanlah “selamat berpisah (Az-Zukhruf : 89) dan Bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik (QS al-Muzammil : 10).

Prinsip etika tersebut merupakan cara bagaimana Rasul sangat menghindari konflik dan peperangan. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa Islam juga berbicara tentang perang dan memerintahkan peperangan. Namun, perang adalah jalan terakhir yang terpaksa dilakukan ketika Nabi menghadapi serangan.

Kalaupun perang harus dilakukan, Islam telah memberikan sumbangsih besar tentang bagaimana aturan perang, aturan mengakui dan menjamin hak-hak musuh, memberi jaminan warga sipil, aturan menghindari bangunan sipil dan tempat ibadah, hingga aturan larangan merusak lingkungan pada saat perang. Aturan-aturan ini membawa perubahan besar bagi tradisi perang pada masa Nabi.

Apabila kita lacak dalam khazanah Islam, ayat-ayat Qur’an dan Hadist yang menerangkan peperangan selalu menjelaskan aturan hukum bagaimana perang dilaksanakan. Ketika ada perintah qital, Qur’an selalu mengaitkan dengan perintah agar tidak melampaui batas, siap memaafkan dan mendahulukan perdamaian. “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Qs.Al-Baqarah: 190).

Ayat ini merupakan ayat madaniyah yang pertama kali menginzinkan Nabi dan umat Islam untuk membalas serangan kaum musyrikin dengan peperangan. Legalitas perang yang terdapat dalam Al-Qur’an dikarenakan beberapa hal : hanyalah untuk membela diri dan negara (Qs. Qs. Al-Baqarah (2): 190), menolong kaum tertindas (Qs.Al-Nisa (4): 75), dan menolak kezaliman serta menghentikan agresi musuh (Qs. Al-Hajj (22): 39 dan Qs.Al-Baqarah (2): 191).

Dari pengertian itulah, perang yang diizinkan dalam Qur’an sebagai sarana untuk melindungi diri dari serangan dan menyelematkan umat Islam dari agresi. Peperangan yang dilakukan pun sebatas apabila mendapatkan serangan dan tidak boleh melebihi batas. Inilah kemudian yang disebut jihad fi sabilillah sebagai salah satu bentuk jihad di samping bentuk-bentuk jihad yang lainnya. Perang sebagai sebuah jihad sebenarnya bertujuan menciptakan perdamaian sejati bukan untuk memunculkan kekerasan dan kerusakan.

 

Teror bukan Jihad

Ada dua pelajaran penting dari ayat perang yang disebutkan di atas. Pertama, Perang harus ada dasar karena untuk melindungi umat Islam dari serangan musuh dan berupaya membangun perdamaian. Kedua, perang tidak boleh melampaui batas. Batasan ini jika kita kaitkan dengan atraksi kekerasan terorisme, sudah mengeluarkan para pelaku teror tersebut dari kategori peperangan dalam Islam dan keluar dari hakikat jihad.

Kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris sangat bertentangan dengan ajaran Islam dan semangat jihad. Aksi teror seperti yang terjadi baru-baru ini di Lahore, Pakistan sangat bertentangan dengan nilai, ajaran dan prinsip Islam. Aksi tersebut tidak layak disebut sebagai perang di jalan Allah. Ada beberapa kesalahan mendasar yang menyebabkan aksi tersebut sangat bertentangan dengan prinsip ajaran Islam.

Pertama, kekerasan yang dilakukan oleh kelompok teroris itu menyalahi prinsip Islam tentang perang. Alasan dan dasar kelompok teroris tidak dibenarkan karena Islam tidak di bawah serangan musuh. Islam tidak sedang dalam masa perang, justru teroris menciptakan permusuhan baru terhadap umat Islam. Para teroris tidak sedang membela Islam, justru sedang merusak citra Islam.

Kedua, kelompok teroris sudah melampaui batas. Dalam perang pun orang-orang mukmin dilarang melanggar ketentuan-ketentuan seperti membunuh anak-anak kecil, orang-orang lemah yang tidak berdaya, orang-orang yang telah sangat tua, wanita-wantia yang tidak ikut berperang, orang-orang yang telah menyerah kalah dan para pendeta karena Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Bagaimana mungkin jihad berani mengorbankan dan melukai warga sipil yang tidak berdosa, anak-anak, perempuan dan orang tua.

Diriwayatkan dalam kitab Shahih Muslim dari Buraidah, bahwa Rasulullah bersabda: “Berperanglah di jalan Allah. Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah. Berperanglah tetapi jangan berkhianat, jangan melanggar janji, jangan melakukan penyiksaan, jangan membunuh anak-anak, dan jangan pula membunuh para penghuni rumah ibadah.” (HR. Muslim).

Ketiga, dalam kasus bom bunuh diri yang dilakukan oleh kelompok teroris, mereka sudah sangat menyalahi ajaran Islam. Banyak sekali hadist shahih yang menunjukkan tercelanya tindakan bunuh diri. Islam sangat melarang umatnya menyiksa dan membunuh diri sendiri apalagi membunuh orang lain. Balasan bagi yang melakukan bunuh diri akan disiksa dengan cara yang sama di neraka. Dan jumhur ulama menyepakati bunuh diri adalah haram dan dipandang dosa yang paling besar setelah syirik.

Tidak hanya hukuman di akherat, penghormatan di dunia pun tidak layak didapatkan bagi orang yang menyia-nyiakan hidup dengan bunuh diri. Dalam suatu riwayat: Dihadirkan ke hadapan Nabi seseorang yang telah bunuh diri dengan anak panah. Maka beliau bersabda: Adapun Aku tidak akan turut menshalatinya (HR An-Nasa’i).

Maka tidak ada kata lain bagi perbuatan teror seperti yang terjadi di Pakistan yang menewaskan 72 dan melukai 300 orang yang sebagian besar korban anak-anak dan perempuan, selain kata kutukan sebagai tindakan kebiadaban dan kebrutalan. Pelaku seperti itu tidak layak mendapatkan penghormatan dunia sebagaimana ditegaskan Nabi, apalagi kemuliaan di akhirat. Semoga kita dijauhkan dari dosa-dosa besar tersebut.

Abdul Malik

Redaktur pelaksana Pusat Media Damai BNPT

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

16 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

16 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

16 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago