Narasi

Membaca Afirmasi Politik Abu Bakar Ba’asyir Lewat Kaca Mata Pierre Bourdieu

Beredar di media sosial sebuah potongan audio yang menampilkan suara Abu Bakar Ba’asyir sedang menuturkan perlunya memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ia melanjutkan bahwa pilihannya dapat membawa aspirasi Islam di Indonesia.

“Pilpres itu bukan ideologi, tapi itu adalah alat. Maka kalau memang tujuan kita ikut pilpres untuk membela Islam itu boleh. Caranya yaitu memilih presiden yang paham Islam.” Terang Ba’asyir dalam audio.

“Calon presiden kita itu yang paham Islam hanya satu, …. , itu yang wajib kita pilih. Kalau dia terpilih menjadi presiden, insya Allah dia banyak menguntungkan Islam, dia akan berusaha untuk mengatur negara ini dengan hukum-hukum Islam semampunya.” lanjutnya.

Tak sulit menemukan rekam jejak Ba’asyir. Segala informasi ideologi, afiliasi kelompok, hingga kasus-kasus hukumnya sudah tersaji secara gamblang di warta-warta daring. Pesonanya tak lekang oleh waktu. Pesona itu bertahan kurang lebih karena habitus yang ia bangun secara konsisten.

Dalam teori strukturalisme genetik, Pierre Bourdieu menyebut jika habitus memang bisa berubah. Tetapi itu sangatlah sulit sebab habitus adalah endapan pemikiran seseorang. Habitus terbentuk melalui serangkaian proses dialektis yang panjang sehingga menjadi landasan kepribadian individu, menggerakkan reflek, dan menentukan seseorang dalam memahami, menilai, dan merespon realitas. Mudahnya, habitus menyangkut pandangan hidup (world view), nilai-nilai, dan praktik sosial.

Sebagai figur Islam keturunan Arab, Ba’asyir sudah sangat akrab dengan wacana keislaman sejak kecil. Ia menghabiskan studi keislaman dengan menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, medio 1959-an.

Lepas dari Pesantren Gontor, Ba’asyir menempuh pendidikan tinggi di Fakultas Dakwah Universitas Al-Irsyad, Solo, Jawa Tengah (1963). Rihlah pikiran dan kiprahnya dimulai ketika Ba’asyir menjadi seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Solo.

Dari bejibun matrikulasi pergerakan yang pernah dilalui, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) rupanya menjadi kendaraan yang paling signifikan melambungkan nama Abu Bakar Ba’asyir. Tetapi MMI sejatinya tidak pernah ada jika ia tidak terlibat dalam Jemaah Islamiyah (JI).

Sejak sebelum zaman MMI, Ba’asyir sempat menjadi elit JI cabang Indonesia. Ini terjadi setelah pimpinan tertinggi JI, Abdullah Sungkar meninggal. Namun banyak anggota JI yang tak puas dengan era kepemimpinan Ba’asyir yang dianggap terlalu lentur dan mudah dipengaruhi. Mereka cenderung memberontak. Maka, berangkat dari rasa kecewa Ba’asyir terhadap sikap pengikut JI itulah MMI lahir.

MMI di era Ba’asyir kerap mendapat sorotan publik dan terhitung sebagai ormas yang cukup dikenal. Medio Agustus 2006, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil survei di mana MMI menempati posisi keempat setelah NU, Muhammadiyah, dan FPI.

Lebih dari itu, MMI diduga menjadi penyokong moral atas trio bomber Bali; Amrozi, Imam Samudra, dan Muchlas. Sejumlah  simpati yang ditunjukan Ba’asyir terhadap beberapa aksi  terorisme di Indonesia kerap membuat MMI dituding berada di balik layar aksi-aksi teroris.

Pada gilirannya, keluar masuk jeruji besi bukanlah hal yang asing bagi Ba’asyir, baik untuk kepentingan penyelidikan maupun hanya sebatas sangkaan terhadapnya. Untuk gambaran saja, pasca Orde Baru, Ba’asyir bahkan tidak pernah melewati lima tahun tanpa ada kasus hukum. Artinya, seberapapun hukuman dan dakwaan yang diterimanya, Ba’asyir tampak tidak akan menyerah mempertahankan ideologinya. Menariknya, kasus-kasus hukum Ba’asyir tidak serta merta merongrong reputasi MMI. Kondisi yang jelas mempertegas “keistimewaan” Ba’asyir.

Pada tanggal 19 Juli 2008, Abu Bakar Ba’asyir keluar dari MMI karena terlibat friksi internal dengan wakilnya, Muhammad Thalib. Tak lama, di tahun yang sama Ba’asyir mendeklarasikan ormas Islam baru bernama Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Garis besar haluan perjuangannya tentu masih serupa, yaitu misi penegakkan syariat Islam secara formal sebagai basis hukum positif di Indonesia. Pancasila, dengan demikian, merupakan sesuatu yang syirik.

Dalam pandangan Bourdieu, habitus (world view) tidak bergerak otonom. Habitus harus berkelindan dengan kapital, yaitu modal yang memungkinkan seseorang mengeksternalisasikan habitus itu. Modal ini beragam, bisa modal ekonomi, modal kultural, modal intelektual, modal sosial, dan modal simbolik. Habitus dan kapital juga tidak akan berguna tanpa arena. Dalam prinsip Bourdieu, arena diartikan sebagai ruang khusus di tengah masyarakat,  seperti arena politik, arena pendidikan, arena bisnis, arena keagamaan, dan sebagainya.

Arena berfungsi untuk mengartikulasikan habitus dan kapital secara dinamis. Akhirnya praktik sosial yang dilakukan seseorang adalah manifestasi dari ketiga elemen prinsipil tersebut. Siapa yang habitus-nya paling sesuai, kapital-nya paling masif, dan arena-nya paling cocok, dia lah yang menang di dunia sosial. Praktik sosial ini juga beririsan dengan apa yang disebut Bourdieu sebagai dominasi simbolik, yaitu sebuah “penindasan” yang tidak dianggap sebagai penindasan, tetapi sebagai sesuatu yang secara normal perlu dilakukan. Justru jika keluar dari “hegemoni” ini, seseorang akan dianggap mengkhianati praktik sosial.

Dalam kerangka ini, subjektivitas kognitif Ba’asyir dengan wacana keislaman konservatif terbentuk secara konsisten sejak ia masih remaja hingga menjadi teroris paling dicari di Amerika. Kiprah Ba’asyir dari HMI hingga JAT saling berdialektika sehingga membentuk habitus Ba’asyir sebagai sosok yang keras, eksklusif, dan militan. Bermodalkan sosok karismatik, intelektualitas keagamaan, dan simbol-simbol perjuangan Islam, Ba’asyir bertarung dalam arena sosial-keagamaan untuk merealisasikan visi teologisnya.

Jika dilihat dalam kerangka Bourdieu, Ba’asyir sebetulnya sedang terjerat oleh sebuah hegemoni simbolik, bernama khilafah. Dominasi simbolik ini akhirnya melahirkan doxa yaitu jika bukan “khilafah”, maka sistem pemerintahan apa pun tidak akan mencapai maslahat ketuhanan dan berstatus sebagai sistem kafir.

Selanjutnya, afirmasi politik Ba’asyir bisa dilihat sebagai sebuah migrasi dari dominasi simbolik lama ke dominasi simbolik baru, yaitu dari khilafah menuju demokrasi. Jika menggunakan perspektif Bourdieu, banyak yang hilang pada status baru Ba’asyir ini. Keputusannya untuk pro-demokrasi bisa dianggap prematur karena tidak ditunjang dengan habitus, arena, dan kapital yang relevan.

Dalam beberapa kesempatan pasca “pertobatannya”, Ba’asyir secara tidak langsung masih menampilkan beberapa habitus lamanya seperti keharusan penegakkan hukum Islam, urgensi pemimpin Muslim, dan pentingnya sistem berlandaskan syariat Tuhan. Hal ini wajar mengingat kiprah megah Ba’asyir di arena Islam salafis-jihadis yang membesarkan reputasi kapital-nya.

Terkait bagaimana sikap Abu Bakar Ba’asyir pasca Pemilu selesai, Pemerintah masih memegang peran penting. Artinya, meskipun Ba’asyir sudah sepakat dengan sistem demokrasi, Pemerintah masih harus melakukan pengawasan perihal sikap-sikap yang akan diambil Ba’asyir selanjutnya dalam upaya menanggulangi potensi terorisme. Hal ini mengingat sosok Ba’asyir yang masih “laku” menjadi alat jual bagi jaringan teroris lain yang masih bersarang di Indonesia. Superioritas nama Ba’asyir menjadi sarana legitimasi mereka untuk semakin mengembangkan jaringannya di Indonesia.

Terlepas dari teori Bourdieu, afirmasi politik Ba’asyir bisa dilihat sebagai produk sukses program deradikalisasi yang dicanangkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Tak lama setelah Ba’asyir bebas, Direktur Penegakan Hukum BNPT, Brigjen Pol Eddy Hartono, sebagaimana dikutip oleh CNN Indonesia (8/1/21), menyebut bahwa deradikalisasi akan dilakukan terhadap Ba’asyir seperti yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Peraturan Pemerintah Nomor 77/2019. Program ini bisa ditopang dengan karakter mayoritas umat Islam Indonesia yang moderat untuk membentuk habitus Ba’asyir yang baru, atau paling tidak menutup ruang bagi ideologi kekerasan pada Ba’asyir yang mungkin bisa muncul kembali.

Praktik Islam moderat dapat menjadi strategi yang efektif untuk mempromosikan pemahaman yang lebih luas tentang Islam yang inklusif dan toleran, serta sebagai imunitas terhadap paham radikal terorisme.

This post was last modified on 23 Januari 2024 11:35 AM

Haris Fatwa

Pegiat Kontra Narasi dan Moderasi Beragama

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

8 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

8 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

8 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

8 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago