Pernah suatu ketika saya menulis tentang info link resmi pemerintah daerah yang bisa digunakan untuk menditeksi keberadaan orang-orang yang positif corona di grup facebook daerah saya yang anggotanya sudah sangat banyak. Tapi, respon para aggota grup ternyata biasa saja. Status saya hanya dapat kurang lebih 9 like dan sekitar 5 komentar saja.
Besoknya saya coba kirim lagi postingan di grup yang sama dengan tema sama, tapi sambil saya imbuhi gambar hasil pelacakan aplikasi resmi itu. Saya tambahi juga sedikit kata yang sedikit menakut-nakuti bahwa daerah saya sudah termasuk zona merah, sembari kemudian mengenalkan aplikasi yang sebelumnya sempat saya posting. Berbanding terbalik dengan postingan sebelumnya, postingan saya kali ini nyaris viral. Dalam waktu kurang dari satu jam sudah ada ratusan like dan ratusan komentar. Banyak yang tanya tentang akurasinya, tentang apa aplikasinya, dan bahkan ada juga yang dengan tegas meminta postingan saya itu dihapus dan akhirnya saya hapus untuk menghormati mereka.
Ternyata dengan postingan yang sedikit menakutkan, postingan saya berhasil menuai banyak perhatian publik. Secara subtansif sebenarnya maksud dari dua postingan saya dalam grup facebook itu adalah sama, yaitu mengenalkan aplikasi resmi pemerintah daerah saya yang bisa digunakan untuk melacak keberadaan pasien COVID-19. Bedanya, yang pertama saya hanya menggunakan bahasa datar, sedangkan yang kedua meskipun sebenarnya kontennya sama tapi bahasanya saya buat sedikit menakutkan.
Itulah realitas yang terjadi di media sosial kita. Yang penting bagi jagat media sosial itu adalah bombastisitas, kelucuan, ketakutan, cinta, dan sensitivitas lainnya, sementara yang benar betapapun ia sebenarnya penting, ia tetaplah menjadi kurang menarik. Mungkin inilah yang kemudian membuat Indonesia akhir-akhir ini dilanda polusi informasi yang berusaha memanfaatkan momentum pandemi COVID-19 untuk menarasikan pehamanan-pemahaman Islam radikal.
Baca Juga : Moderasi, Antibodi dari Radikalisme Saat Pandemi
Di tengah kesibukan pemerintah dan ormas-ormas Islam moderat melawan pandemi COVID-19, kelompok-kelompok Islam radikal ternyata memanfaatkan momentum untuk mencari simpati. Beberapa kali saya amati kelompok-kelompok radikal ini sukses melambungkan tagar-tagar yang mereka buat di twitter. Mulai dari tagar yang menyatakan pandemi COVID-19 yang terjadi akibat tidak menegakkan khilafah di Indonesia hingga tagar Islam solusi atasi pandemi, sempat naik menjadi trending topik dan didukung tingga ratusan ribu twit.
Di tengah maraknya kekecewaan masyarakat atas kinerja pemerintah menangani pandemi COVID-19, bukan tidak mungkin isu-isu Khilafah dapat mengatasi segala macam masalah seperti itu akan mendapat gayung sambut di tengah masyarakat. Bagaimanapun, dalam suasana penuh kecemanasan, kekecewaan, dan ketidakpuasan, publik akan menjadi mudah percaya, emosional, mudah panik dan mudah dimanipulasi. Di titik ini komunikasi provokatif akan menjadi lebih menarik daripada komunikasi argumentatif. Menerima komunikasi argumentatif itu membutuhkan daya nalar yang tinggi dan ini hanya mungkin diambil dalam suasana tenang, tetapi menerima komunikasi provokatif dapat dilakukan walaupun dengan nalar yang sangat primitif. Komunikasi provokatif juga akan semakin efektif meracuni nalar seseorang yang tengah cemas. Itulah mengapa meskipun komunikasi provokatif itu sangat dangkal dan hampa logika, ia memiliki fungsi mobilisasi massa yang tengah kecewa untuk patuh.
Realitas ini jelas mesti diwaspadai bersama dan harus segera diantisipasi. Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mengantisipasi ini adalah dengan cara menguatkan tradisi kajian Islam online ala pesantren. Awal ketika pandemi COVID-19 ini diumumkan menjadi bencana nasional, banyak pesantren kemudian bergerak memulangkan para santri dan mengubah sistem pengajaran pesantren menjadi pengajaran online (ngaji online). Meski bermodal fasilitas dan kemampuan teknologi yang sekedarnya, pesantren berupaya secara masif menggelar praktik-praktik ngaji online. Wajah ngaji online yang biasanya didominasi oleh kajian Islam yang dikemas receh dan banal bahkan terkadang diselingi cacian di sana-sini, di bulan Ramadhan kemarin terpaksa tersingkir oleh bermunculannya banyak kajian Islam online khas pesantren yang serius, mendalam, dan moderat.
Memaraknya ngaji online khas pesantren selama masa pandemi COVID-19 jelas merupakan kabar baik. Lewat ngaji online khas pesantren publik Indonesia menjadi kenal dengan tradisi ngaji khas pesantren yang serius, mendalam, dan moderat. Dengan sering-sering mengikuti kajian ini, publik akan terbiasa dengan tradisi berpikir serius, mendalam, dan moderat, sehingga tidak mudah tergelincir pada narasi-narasi Islam provokatif yang mencoba merong-rong kesatuan bangsa dengan tawaran khilafah.
Berpijak pada hal itu, maka meskipun saat ini sudah ada lampu hijau dari pemerintah untuk menerapkan new normal di pesantren, alangkah baiknya jika tradisi ngaji online pesantren ini tetap terus digalakkan. Bahkan kalau perlu teruslah perkuat tradisi ngaji online pesantren ini.
Tidak dapat dimungkiri bahwa tradisi ngaji online ala pesantren ini baru memarak, sehingga masih ada banyak hal yang harus senantiasa diperbaiki. Fasilitas dan kemampuan teknologi penyelenggara kajian online khas pesantren ini kebanyakan masih ala kadarnya dan masih jauh dari kata profesional. Oleh karena itu, sambil lalu mempersiapkan new normal di pesantren, pemerintah dan seluruh elemen pesantren (santri, kiyai/nyai, alumni, wali santri, dan organisasi pesantren) harus memperkuat kajian Islam online khas pesantren. Tunjangan kuota internet bagi para santri, ustadz/ustadzah, dan kiyai/nyai bisa menjadi opsi. Apresiasi bagi penyelenggara kajian Islam online pesantren juga harus dilakukan. Metode ngaji online juga harus senantiasa dikembangkan dan dikontekstualisasikan. Dengan demikian, besar kemungkinan ke depan kajian Islam online pesantren akan semakin baik dan profesional, sehingga betul-betul efektif membentuk kekebalan masyarakat dari narasi-narasi provokatif Islam garis keras.
This post was last modified on 17 Juni 2020 12:58 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…