Banjir di Sumatera dan Aceh adalah bukti bagaimana pendekatan dalam memanfaatkan alam dan lingkungan yang selama ini kita pakai itu kurang tepat. Zee Sejumlah pihak menyalahkan korporasi besar yang membuka hutan untuk lahan pertanian dan industri.
Namun, jangan lupa masyarakat lokal pun juga ikut andil menyumbang kerusakan alam. Model pertanian dengan membuka lahan baru dengan membabat hutan nyatanya juga dilakukan oleh masyarakat umum.
Pola itu menandai lunturnya kearifan lokal dalam memanfaatkan alam dan lingkungan. Padahal, nenek moyang kita sejak berabad lampau telah mengembangkan metode memanfaatkan alam tanpa merusaknya. Disinilah pentingnya kita mengingat kembali kearifan lokal dalam membentuk kesalehan ekologis.
Indonesia yang dikenal sebagai negara kepulauan dengan ratusan suku di dalamnya memiliki kearifan lokal yang kaya dalam hal konservasi ekologi. Dalam leksikon antroplogi, kita mengenal istilah ekologi budaya yakni pengetahuan tentang alam dan lingkungan yang dikembangkan oleh masyarakat lokal dengan berbasis pada ajaran kearifan nenek moyang.
Kerap kali, budaya ekologi berbasis kearifan lokal ini berkelindan dengan keyakinan teologis bahkan mistis. Namun, efektifitasnya dalam merawat alam dan mencegahnya dari kerusakan susah terbukti.
Misalnya, mitos di sebagian masyarakat adat Nusantara yang menganggap hutan sebagai bapak dan sungai sebagai ibu terbukti ampuh menjaga ekosistem alam. Mitos bahwa sungai adalah ibu dan hutan sebagai ayah membuat masyarakat begitu menghormati keduanya, sehingga tidak berani merusak kelestarian hutan maupun sungai. Merusak hutan atau sungai dianggap sebagai bentuk kedurhakaan terhadap orang tua.
Di Maluku misalnya, ada kearifan lokal, Sasi, yakni mekanisme pengaturan waktu kapan masyarakat bisa memanen hasil hutan dan laut. Kearifan lokal Sasi memungkinkan masyarakat mengambil manfaat dari hutan dan laut di waktu yang telah ditentukan sehingga keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem lingkungan tetap terjaga.
Berkembangnya nalar modern perlahan menggerus ekologi budaya berbasis kearifan lokal tersebut. Masyarakat mulai meninggalkan mitos lama dan memakai pendekatan modern dalam berhubungan dengan alam. Pendekatan modern ini melahirkan praktik eksploitasi dan ekstraksi alam yang berlebihan.
Masyarakat menjadi dikendalikan oleh kehendak untuk mengeruk kekayaan alam tanpa berpikir dampaknya dalam jangka pendek maupun panjang. Konsekuensinya, alam semakin rusak, manusia semakin kehilangan rasa memiliki terhadap alam. Relasi manusia dan alam pun didominasi kepentingan pragmatis terutama ekonomi.
Di tengah krisis ekologi akibat pendekatan modern yang eksploitatif, kita perlu kembali ke paradigma kearifan lokal dalam memanfaatkan alam. Kearifan lokal dapat diadaptasi sebagai startegi untuk konservasi ekologi.
Kita sebenarnya tidak pernah kekurangan referensi dalam hal ini. Indonesia sangat kaya akan kearifan lokal ekologis. Selain tradisi Sasi di Maluku, masih banyak kearifan lokal lain yang relevan untuk mencegah krisis ekologi.
Antara lain, Mantari Bodar di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, yakni pemilihan penjaga mata air yang ditentukan oleh rapat adat. Penjaga air ini memiliki tanggung jawab menjaga mata air sebagai sumber kehidupan warga dan pengairan pertanian.
Di lereng Sumbing dan Merbabu, terdapat tradisi Nyabuk Gunung, yakni mendesain kontur sawah atau lahan pertanian secara berundak dengan tujuan mencegah longsor. Nyabuk berasal dari kata sabuk yang artinya adalah ikat pinggang. Kearifan lokal ini efektif mencegah longsor akibat hujan deras dan masih bertahan sebagai tradisi selama ratusan tahun.
Kesalehan ekologis sangat penting dikembangkan di tengah masyarakat Indonesia yang hidup berdampingan dengan alam, baik itu hutan, laut, gunung, sungai, dataran tinggi, dan sebagainya. Potensi bencana alam Indonesia terbilang tinggi. Belum lagi faktor perubahan iklim yang memicu anomali cuaca ekstrem. Maka, kita patut belajar dari kearifan lokal dalam hal ekologi, termasuk mitigasi bencana alam.
Kearifan lokal dan modernitas tidak harus diposisikan bertentangan atau berlawanan. Keduanya bisa seiring sejalan tanpa harus menafikan satu sama lain. Pendekatan modern dalam memanfaatkan kekayaan alam melalui teknologi canggih tentu bukan hal yang sepenuhnya haram. Alam memang diciptakan untuk dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Nenek moyang kita dulu pun tidak lantas anti pada eksplorasi alam.
Namun, nenek moyang kita memiliki kebijaksanaan dan kearifan dalam memperlakukan alam dan lingkungan. Mereka, para pendahulu itu memahami alam dengan pendekatan holistik, bukan hanya berbasis pada kepentingan ekonomi, namun juga sosiologi, bahkan teologi. Alam ditempatkan sebagai mahluk yang setara dengan manusia.
Kearifan lokal ekologis penting untuk menjaga kelestarian alam Nusantara yang kaya akan potensi. Krisis Lingkungan adalah alarm bahwa cara pandang yang pragmatis dan materialistis terhadap alam itu cenerung destruktif. Itu artinya, kita harus kembali ke kearifan lokal Nusantara yang diwariskan nenek moyang terdahulu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi dua persoalan besar yang sama-sama mendesak: kerusakan lingkungan dan…
Banjir di Sumatera dan Aceh sudah mulai menunjukkan surut di sejumlah wilayah. Namun, banjir yang…
Di tengah serangkaian bencana alam yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, muncul satu…
Pernahkah Anda merenung sejenak di tengah keheningan malam? Ada sebuah ironi besar yang luput dari…
Diskursus keagamaan kontemporer di Indonesia sering kali mengalami stagnasi pada ranah simbolisme politik. Energi kolektif…
Hari ini, 2 Desember, masyarakat Indonesia menyaksikan kembali perbincangan yang kian mengemuka mengenai ‘Islam politik’…