Narasi

Membangun Resiliensi Beragama di Masa Pandemi

Pemberlakukan PPKM Darurat se-Jawa-Bali mengharuskan sarana ibadah ditutup sementara. Kebijakan ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Sebagian masyarakat mendukung langkah ini sebagai bentuk intervensi langsung pemerintah dalam melandaikan kurva penularan Covid-19. Namun, sebagian lainnya justru membingkai kebijakan PPKM Darurat ini ke dalam narasi sentimen keagamaan. Muncul tudingan miring terhadap pemerintah ihwal penutupan tempat ibadah dan peniadaan acara keagamaan selama PPKM Darurat.

Pandemi harus diakui menghadirkan tantangan tidak ringan. Tidak hanya dalam konteks kesehatan, namun juga dalam konteks ekonomi, sosial-budaya dan agama. Di bidang ekonomi, pandemi kian memvalidasi era disrupsi dari ekonomi konvensional ke ekonomi berbasis digital. Demikian pula dalam konteks sosial-budaya, dimana terjadi semacam proses penyesuaian dari normalitas lama ke normalitas baru.

Selain dimensi ekonomi, sosial dan budaya, pandemi juga menghadirkan tantangan berat pada dimensi agama. Namun, berbeda dengan dimensi ekonomi, sosial dan budaya yang nisbi mudah melakukan adaptasi dengan normalitas baru, agama tampaknya masih kesulitan dalam mencari bentuk baru demi menyesuaikan diri dengan kehidupan di masa pandemi.

Tantangan Pandemi

Terlebih jika kita bicara dalam konteks Islam. Harus diakui bahwa di sebagian masyarakat muslim masih ada semacam nalar resistensi dalam menghadapi pandemi. Nalar resistensi ini bisa dilihat dari setidaknya dua fenomena. Pertama, masih banyaknya umat Islam yang menyangkal fakta pandemi dan menganggap penyebaran Covid-19 sebagai rekayasa pemerintah, tenaga kesehatan dan media massa. Narasi yang demikian ini ironisnya juga disokong oleh sejumlah kiai, ulama ataupun ustad.

Kedua, masih kuatnya pola pikir fatalistik di sebagian umat Islam. Mereka beranggapan, penyakit dan ajal datang dari Allah sehingga manusia tidak memiliki kuasa menolaknya. Argumen itu yang membuat sebagian umat Islam abai pada prokes dengan memaksakan diri beribadah di masjid, bahkan menggelar acara keagamaan yang menimbulkan kerumunan.

Nalar resistensi menyebabkan umat Islam gagal beradaptasi dengan pandemi. Buktinya, banyak kegiatan keagamaan yang menjadi kluster penularan Covid-19. Tidak sedikit pula ulama dan kiai wafat terpapar Corona. Wasekjen MUI Abdul Ghaffar Rozin, dalam keterangan persnya menyebutkan bahwa selama pandemi Covid-19 ada 584 ulama dan kiai wafat terinfeksi Corona. Sebagian besar terpapar di acara keagamaan yang tidak menerapkan protokol kesehatan. Ini artinya, nalar resistensi dalam menghadapi pandemi justru merugikan umat Islam sendiri.

Membangun Resiliensi

Menghadapi pandemi Covid-19 yang kian parah ini, umat Islam tidak bisa mempertahankan nalar resistensi dalam beragama. Sebaliknya, umat Islam harus membangun budaya resiliensi. Resiliensi ialah daya lentur (fleksibilitas), ketahanan dan kemampuan individu, kelompok atau masyarakat yang memungkinkannya menghadapi, mencegah dan meminimalkan atau bahkan menghilangkah dampak merugikan atau tidak menyenangkan dari kondisi yang berubah dan tidak diprediksikan sebelumnya.

Budaya resiliensi ini kiranya bisa diadaptasi ke dalam praktik kebergamaan di masa pandemi. Yakni bagaimana aktivitas keagamaan dan peribadatan bisa berjalan tanpa menimbulkan risiko penularan Covid-19. Resiliensi beragama dibutuhkan agar kepentingan untuk beribadah dan mengekspresikan keimanan bisa sejalan dengan kepentingan untuk menjaga jiwa (nyawa) masyarakat.  

Dalam sejarahnya, Islam ialah agama yang fleksibel dalam menghadapi perubahan dan dinamika zaman. Baik yang diakibatkan gejolak sosial, politik maupun bencana alam. Terbukti, hingga saat ini Islam tetap eksis dan menjadi salah satu agama yang paling berpengaruh di dunia modern. Kuncinya ada pada kemampuan Islam membangun nalar resiliensi. Yakni mencari celah agar bisa mempertahankan eksistensinya di tengah keterbatasan yang ditimbulkan faktor internal atau eksternal. Saat ini Islam tengah menghadapi tantangan dari luar (eksternal), yakni penyebaran wabah penyakit. Di titik inilah, label Islam sebagai agama yang adaptif dan fleksibel itu diuji.

Kita tentu berharap di masa pemberlakuan PPKM Darurat ini, umat Islam mampu mengembangkan budaya resiliensi dalam beragama. Penutupan tempat ibadah idealnya tidak dibingkai ke dalam sentimen keagamaan. Penutupan tempat ibadah seharusnya dipahami sebagai bagian dari mekanisme resiliensi beragama. Yakni upaya meminimalisasi dampak negatif dari situasi darurat yang tengah dihadapi.  

This post was last modified on 7 Juli 2021 6:59 PM

Nurrochman

Recent Posts

Agama Sumbu Pendek; Habitus Keagamaan yang Harus Diperangi!

Indonesia dikenal sebagai negara religius. Mayoritas penduduknya mengaku beragama dan menjalankan ajaran agama dalam kehidupan…

2 hari ago

Evaluasi Kebebasan Beragama di Indonesia 2025

Kebijakan presiden Joko Widodo dalam memerangi aksi ekstremisme dan ideologi radikal terorisme pada 2020 pernah…

2 hari ago

Jangan Membenturkan Kesadaran Nasional dengan Kesadaran Beragama

Dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, narasi yang mencoba membenturkan antara kesadaran nasional dan kesadaran…

2 hari ago

Dialektika dan Titik Temu Nasionalisme dan Ukhuwah

Indonesia, sebuah panggung peradaban yang tak henti menyuguhkan lakon dialektis antara partikularitas dan universalitas, adalah…

2 hari ago

Nasionalisme, Ukhuwah Islamiah, dan Cacat Pikir Kelompok Radikal-Teror

Tanggal 20 Mei berlalu begitu saja dan siapa yang ingat ihwal Hari Kebangkitan Nasional? Saya…

3 hari ago

Ironi Masyarakat Paling Religius: Menimbang Ulang Makna Religiusitas di Indonesia

Indonesia kembali dinobatkan sebagai negara paling religius di dunia menurut dua lembaga besar seperti CEOWORLD…

3 hari ago