Pembubaran Jamaah Islamiyah menyisakan banyak keraguan di benak sebagian masyarakat Indonesia. Keraguan ini beralasan. Walau bagaimanapun, Jamaah Islamiyah atau JI dikenal sebagai organisasi teroris dengan reputasi aksi teror paling mengerikan di Indonesia.
Pembubaran HTI misalnya, tidak serta merta meredam propaganda khilafah atau wacana penggantian sistem pemerintahan di Indonesia. Mereka mungkin tidak akan berhenti sampai Indonesia benar-benar menjadi negara khilafah. Iya memang, HTI dibubarkan secara sepihak oleh Pemerintah.
Lalu bagaimana dengan Jamaah Islamiyah? Apakah bubarnya JI bisa diartikan berhentinya narasi formalisasi syariat Islam hanya karena ia bubar secara organik dari dalam?
Dengan meminjam perangkat analisis wacana kritis dari Norman Fairclough, tulisan ini mencoba membedah enam poin deklarasi pembubaran Jamaah Islamiyah untuk menelisik, apakah ada sesuatu di balik tamatnya kelompok bentukan Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar ini.
Dalam critical discourse analysis ala Norman Fairclough, kita melihat bagaimana bahasa tidak hanya mencerminkan realitas tetapi juga membentuk dan mengubahnya (Fairclough, 1992).
Deklarasi ini adalah contoh sempurna bagaimana wacana dapat digunakan untuk merestrukturisasi identitas kelompok, membangun kembali hubungan kekuasaan, dan mengarahkan praktik sosial ke arah yang baru.
Pernyataan pembubaran ini bukan sekadar pengumuman administratif tetapi juga sebuah langkah simbolis yang kuat. Dalam konteks wacana, deklarasi ini berfungsi untuk menegaskan perubahan identitas dan loyalitas. Penggunaan frasa “kembali ke pangkuan” secara implisit mengakui adanya keterpisahan atau bahkan oposisi sebelumnya.
Fairclough akan melihat ini sebagai upaya untuk mendekonstruksi identitas lama yang terstigma negatif dan membangun kembali identitas yang lebih diterima oleh masyarakat luas dan negara. Ini adalah strategi untuk mengubah persepsi publik dan menciptakan narasi baru tentang Jamaah Islamiyah sebagai bagian dari NKRI.
Dekonstruksi atau saya sebut re-branding ini pernah dilakukan Majelis Ulama Indonesia ketika memutuskan menanggalkan statusnya sebagai “stempel Pemerintah” menjadi “khadimul ummah” atau pelayan umat.
Rekonstruksi identitas ini dimulai ketika MUI mulai merasa bahwa bergerak secara independen merupakan pilihan yang paling tepat ketimbang terus-terusan menjadi “kacung” rezim. MUI kemudian menjadi lebih percaya diri mencancapkan otoritasnya di Indonesia, termasuk meregulasi ‘mana haram mana halal’.
Berdasar kasus ini, transformasi identitas JI menjadi ‘pro NKRI’ dapat menjadi titik balik kembalinya kepercayaan diri pengikut JI setelah nyaris lumpuh pada tahun 2021 lalu. Upaya membangun kepercayaan diri ini adalah dengan menjamin terlebih dahulu pergerakan mereka menjadi semakin dinamis tanpa mengusung beban stigma masa lalu. Berbeda ketika mereka masih dianggap ‘kontra NKRI’ sehingga setiap pergerakannya selalu mendapat pengawasan.
Komitmen untuk mengubah kurikulum ini menunjukkan upaya serius untuk menghapus elemen ekstremisme dari pendidikan mereka. Menurut Fairclough, ini adalah contoh bagaimana wacana pendidikan dapat digunakan untuk mengarahkan ideologi dan kontrol sosial.
Tetapi perlu menjadi catatan, dengan merujuk paham ahlussunnah wal jamaah, apakah JI saat ini menjadi moderat atau sekedar menempatkan dirinya dalam kerangka ideologi yang diterima secara luas di Indonesia.
Keduanya tentu memiliki konsekuensi yang berbeda. Keduanya memiliki cara berbeda untuk meredefinisi identitas ideologis mereka dan melegitimasi posisi mereka dalam masyarakat yang lebih luas.
Pilihan pertama mengandaikan transformasi menyeluruh ideologi JI yang sebetulnya berseberangan dengan paham moderasi beragama di Indonesia. Asumsi kedua meniscayakan JI hanya cari aman dengan melebur dalam identitas mainstream yang ada di Indonesia.
Pembentukan tim pengkajian menunjukkan adanya proses formal dan terstruktur untuk mengimplementasikan perubahan. Dalam perspektif analisis wacana kritis (Fairclough, 1998), ini adalah contoh bagaimana praktik diskursif menghubungkan teks (deklarasi) dengan praktik sosial (reformasi pendidikan).
Ini juga menunjukkan bahwa perubahan yang diusulkan bukan sekadar retorika tetapi disertai dengan langkah konkret dan institusional untuk memastikan keberlanjutannya. Ini adalah upaya untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses transformasi ideologis.
Poin ketiga ini sebetulnya dapat menjadi pintu masuk stake holder terkait dalam mengevaluasi seluruh kurikulum pendidikan yang terafiliasi pada kelompok-kelompok radikal terorisme, tidak hanya Jamaah Islamiyah. Tetapi dalam konteks JI, pengkajian kurikulum ini bisa dilihat sebagai komitmen “pertobatan” nasional.
Kendati demikian, perlu diketahui bahwa diksi ‘kurikulum’ dan ‘bahan ajar’ mengacu pada proses belajar-mengajar formal. Noor Huda Ismail dalam tulisannya Menerka Metamorfosis Jamaah Islamiyah, mengatakan bahwa menurut salah satu petinggi Densus 88, paling tidak ada 63 sekolah yang hari ini diduga berafiliasi dengan JI. Bisa dikatakan, JI di era Para Wijayanto bertransformasi menjadi organisasi ”terbuka” dan ”modern”.
JI merangkul banyak elemen umat Islam, terutama di kalangan LSM. Pola pendekatan baru JI ini dipilih untuk menarik simpati masyarakat luas. Tak berlebihan jika kemudian Para Wijayanto menaksir anggota aktif JI yang tersebar di seluruh Indonesia bisa sampai 6.500 orang. Sampai di sini, saya rasa evaluasi kurikulum formal tidak terlalu berdampak pada penguatan dan kaderisasi militansi JI di akar rumput. Terang saja, toh ketika kurikulum mereka dievaluasi, kaderisasi non-formal juga masih tak terdeteksi.
Pernyataan ini mengartikulasikan aspirasi nasional dan partisipasi aktif dalam pembangunan negara. Strategi ini berguna untuk menempatkan eks anggota JI dalam wacana nasionalisme dan patriotisme. Dengan menyatakan kesediaan untuk berkontribusi terhadap kemerdekaan dan kemajuan bangsa, deklarasi ini mencoba mengasosiasikan dirinya dengan nilai-nilai positif yang diakui oleh masyarakat luas.
Ini adalah upaya untuk merestrukturisasi citra publik mereka dari kelompok yang mungkin sebelumnya dianggap sebagai ancaman menjadi bagian dari narasi nasional yang konstruktif dan positif.
Poin ini menurut saya adalah kelanjutan dari konsekuensi poin pertama deklarasi. Poin ini sebenarnya semacam pengakuan dosa. Dengan menyatakan kesiapan untuk “terlibat aktif mengisi kemerdekaan,” JI berusaha menunjukkan perubahan dari kelompok yang sebelumnya dianggap sebagai ancaman menjadi aktor yang konstruktif dalam pembangunan nasional.
Alih-alih memilih frase ‘menjaga perdamaian’, mereka lebih memilih corak kebangsaan dengan diksi ‘menjadi bangsa yang maju’ dengan implikasi yang lebih signifikan. Citra JI adalah ‘musuh’ yang head to head dengan negara. Poin ini adalah upaya merekonstruksi hubungan yang buruk itu.
Dengan menempatkan diri mereka sebagai aktor yang konstruktif dan patriotik, JI berusaha untuk merubah persepsi publik dan membangun kembali kepercayaan yang mungkin telah hilang. Ini juga merupakan upaya untuk menegosiasikan kembali posisi mereka dalam struktur sosial dan politik Indonesia.
Pernyataan kesediaan untuk mengikuti hukum negara ini menunjukkan komitmen terhadap legalitas dan aturan yang berlaku. Dalam kaca mata Fairclough, ini bisa dilihat sebagai upaya merekonstruksi hubungan kekuasaan melalui wacana hukum. Dengan menegaskan kesediaan untuk mengikuti peraturan hukum, deklarasi ini berusaha menunjukkan bahwa mereka tidak lagi berada di luar sistem hukum tetapi sebaliknya, berkomitmen untuk mematuhi dan mendukungnya.
Senior Advisor Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones dalam laporan berjudul “Is This the End of Jemaah Islamiyah?” yang dipublikasikan pada Kamis (4/7/2024), berpandangan, salah satu alasan pembubaran JI diperkirakan adalah terkait dengan aset. Menurunya, satu-satunya cara untuk melindungi aset JI yang kebanyakan merupakan lembaga pendidikan adalah dengan meninggalkan statusnya sebagai organisasi rahasia dan bekerja secara terbuka.
Jika boleh curiga, wacana ketaatan pada hukum ini salah satunya adalah dalam rangka agar pengelolaan aset JI tetap terjaga. Dalam hal ini, Densus 88, BNPT, dan stake holder terkait tidak boleh abai. Para senior JI, mengutip Al Chaidar, dinilai lebih memilih untuk mempertahankan berbagai aset ketimbang meneruskan tujuan JI sebagai organisasi rahasia.
Penyebutan Densus 88 Antiteror Mabes Polri menunjukkan kolaborasi langsung dengan otoritas anti-terorisme. Dalam analisis Fairclough, ini mencerminkan interaksi antara wacana dan struktur kekuasaan. Deklarasi ini menunjukkan bahwa Jamaah Islamiyah tidak hanya siap untuk berubah tetapi juga siap untuk bekerja sama secara terbuka dengan aparat penegak hukum. Ini adalah upaya untuk memperkuat legitimasi perubahan yang diusulkan dan menunjukkan keterbukaan serta kesediaan untuk terlibat dalam dialog dengan otoritas yang berwenang.
Walakhir, tulisan di atas memang sarat dengan buruk sangka. Tetapi, kekacauan selalu terjadi jika kita selalu mengabaikan buruk sangka itu. Kita perlu kritis, apakah JI bubar secara ideologi atau hanya bubar organisasi.
Dalam sejarah aktivisme-nya, metamorfosis JI membuat kelompok ini kian dekat berinteraksi dengan masyarakat. Poin-poin di atas adalah langkah strategis untuk mendapatkan legitimasi dari otoritas negara dan mengurangi resistensi dari masyarakat. Dengan begitu, selain menjadi terbuka dan tunduk kepada hukum positif, publik menjadi penentu dukungan terhadap organisasi teroris ini.
Dalam perspektif Fairclough, identitas baru anggota JI ini akan bernegosiasi dengan identitas lamanya yang sudah kadung melekat di benak publik. Cara JI mengartikulasikan identitas barunya ini akan berdampak pada proses penerimaan publik di masa yang akan datang.
Karena itu, kontrol terhadap potensi munculnya neo-Jamaah Islamiyah tidak hanya dilakukan oleh Pemerintah. Masyarakat juga harus terliterasi secara baik perihal wawasan kebangsaan dan paham-paham moderat.
Bukan tidak mungkin ke depan akan muncul kelompok baru yang merupakan sempalan dari JI. Dan saat masa ini muncul (semoga tidak), masyarakat Indonesia sudah terimunisasi dengan baik dan tidak akan terpapar dengan narasi-narasi kebencian.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…